Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Kebenaran yang Terungkap

Sejak rahasia itu terungkap, dunia Zahra dan Nadine tidak lagi sama.

Nadine menatap cermin di kamarnya. Wajah yang setiap hari ia lihat kini terasa asing. Ia tak tahu siapa dirinya lagi. Sejak kecil ia dibesarkan dengan segala kemewahan, sekolah di tempat terbaik, diberi fasilitas dan cinta. Tapi sekarang... semua itu bukan miliknya.

“Aku ini siapa, sebenarnya?” bisiknya lirih.

Tiara mencoba menjelaskan. Raka lebih diam. Nadine merasakan retakan itu merayap ke dalam hatinya, perlahan namun pasti. Ia tidak merasa marah tapi lebih dari itu, ia merasa kehilangan arah.

Di sisi lain, Zahra duduk di bangku taman belakang rumah kecilnya. Matanya menatap lurus ke depan, kosong. Anita masih memanggilnya dengan penuh cinta, masih mengusap rambutnya setiap malam, masih menyuapkan sarapan seperti biasa. Tapi sekarang, Zahra tidak tahu harus menjawab dengan panggilan “Bu” atau hanya diam.

Mereka berdua mencoba tetap tegar. Tapi tak ada yang bisa mengajari bagaimana rasanya mengetahui bahwa hidup yang dijalani selama ini bukan milikmu.

***

Hari itu, Tiara mengajak Zahra makan siang. Ia berharap bisa mengenal lebih dalam darah dagingnya yang sebenarnya. Di restoran mewah itu, Zahra tampak kikuk. Ini bukan dunianya. Ia terbiasa duduk di warung mie ayam, bukan restoran Prancis berlampu gantung kristal.

Tiara mencoba tersenyum. “Kamu suka tempat ini?”

Zahra menatap sekeliling. “Sebenarnya aku lebih nyaman di rumah, Bu… eh… Ma.”

Tiara menahan napas. Satu kata itu—"Ma"—menyentuh relung hatinya. Tapi sekaligus terasa kaku.

Mereka berbicara banyak hal. Tentang sekolah. Tentang mimpi Zahra menjadi jurnalis. Tentang hal-hal remeh seperti makanan favorit dan warna kesukaan. Tapi tetap terasa... ganjil. Seperti dua orang asing yang dipaksa menjadi dekat.

Di waktu yang hampir bersamaan, Anita bertemu Nadine di sebuah kedai kopi kecil. Nadine datang sendiri, setelah mendapat pesan singkat dari Zahra.

“Kamu yang ngajak aku ke sini?” tanya Nadine, duduk berhadapan dengan Anita.

Anita tersenyum kecil. “Ibu cuma... ingin kenal kamu. Itu aja.”

Nadine menggigit bibir bawahnya. “Aku nggak tahu harus bersikap bagaimana. Aku menghargai semuanya… tapi aku bingung, Bu. Semua ini aneh.”

Anita mengangguk. “Nadine... kamu mungkin bukan anak yang Ibu besarkan, tapi Ibu tahu rasanya kehilangan. Ibu nggak minta kamu jadi anak Ibu sekarang. Ibu cuma pengin kamu tahu... kalau kamu juga berarti buat Ibu.”

Air mata Nadine menetes tanpa bisa dicegah. Di sana, ia merasa... hangat. Meski asing, pelukan Anita terasa seperti rumah yang lama ia cari.

***

Beberapa hari kemudian, Zahra dan Nadine akhirnya bertemu di taman kota tempat mereka dulu berteman saat masih menjadi dua gadis tanpa beban masa lalu.

Tak ada yang berbicara selama beberapa saat. Hanya angin sore yang mengisi ruang di antara mereka.

“Kamu... baik-baik aja?” tanya Zahra, memecah keheningan.

Nadine tertawa hambar. “Pertanyaan itu lebih cocok aku balikin ke kamu.”

Zahra menarik napas panjang. “Aku merasa... kehilangan semuanya. Rumah, keluarga, bahkan identitas.”

“Aku juga,” sahut Nadine cepat. “Yang anehnya, meskipun semuanya berubah... ada satu hal yang masih sama.”

“Apa?”

Nadine menatap Zahra lekat-lekat. “Kita.”

Zahra terdiam. Matanya basah. Ia tahu apa yang dimaksud Nadine. Rasa itu. Koneksi itu. Sejak pertama kali mereka bertemu, ada sesuatu yang tumbuh di antara mereka. Bukan hanya persahabatan. Tapi sesuatu yang lebih dalam. Lebih... rumit.

“Apa kamu pernah ngerasa... kita ini sebenarnya saling menemukan apa yang hilang dari diri kita?” bisik Zahra.

Nadine mengangguk perlahan. “Mungkin... karena kita memang saling memiliki, tapi dunia membesarkan kita terbalik.”

Dan di detik itu, untuk pertama kalinya sejak kebenaran terungkap, mereka saling meraih tangan. Dalam genggaman itu, ada luka, ada cinta, ada kesedihan, dan ada harapan.

***

Yang tidak mereka tahu, dari kejauhan, Rayhan melihat mereka.

Rayhan adalah adik kandung Nadine, dan saudara biologis Zahra.

Wajahnya menegang. Ia telah lama menaruh perasaan pada Zahra. Tapi sekarang, ia tahu… perasaan itu tak bisa dilanjutkan. Karena darah mereka berasal dari orang tua yang sama.

Ia berjalan menjauh, diam-diam, membawa perasaan yang patah dan perih di dadanya.

Rayhan tak pulang malam itu.

Ia mengendarai motornya tanpa arah, membiarkan angin malam menampar wajahnya. Ia tak tahu perasaannya lebih didominasi oleh marah, kecewa, atau patah hati.

Sejak pertama kali bertemu Zahra, Rayhan tahu ada sesuatu dalam diri gadis itu yang membuatnya merasa hidup. Zahra tak seperti gadis-gadis di lingkaran sosialnya yang semua bicara soal merek jam tangan atau pesta ulang tahun di luar negeri. Zahra berbicara tentang keadilan, tentang hidup, tentang kebenaran. Tentang hal-hal yang membuat Rayhan, untuk pertama kalinya, merasa terdengar.

Dan sekarang, setelah tahu Zahra adalah kakak kandungnya, segalanya runtuh.

"Kamu bukan siapa-siapa buatku, Rayhan. Kita bukan saudara. Dan aku nggak akan pernah bisa melihat kamu lebih dari itu..."

Ucapan Zahra saat tahu hubungan darah mereka terus terngiang di kepalanya. Bukan karena Zahra jahat. Tapi karena Zahra sedang menyelamatkan dirinya sendiri.

***

Tiara mulai mengatur segala kebutuhan Zahra untuk masuk ke rumah mereka. Raka meski semula keberatan tapi akhirnya mengalah demi keutuhan keluarga. Nadine, di sisi lain, merasa makin terpinggirkan. Zahra kini tidur di kamar tamu, yang secara diam-diam sedang direnovasi menjadi kamar Zahra ‘yang sebenarnya’.

Nadine merasa canggung. Bukan karena Zahra. Tapi karena perlakuan orang tuanya mulai berubah.

Bunda mulai sering menyebut “Anak Mama, Zahra tuh pintar ya...”

Ayah mulai mengajak Zahra ikut ke acara-acara bisnis keluarga.

Dan Nadine...?

Seolah pelan-pelan digeser dari tempat yang selama ini ia duduki.

“Gimana rasanya tinggal di rumah besar?” tanya Nadine saat mereka duduk berdua di tepi kolam renang malam itu.

Zahra tertawa kecil. “Kayak masuk dunia yang bukan milikku. Aku lebih nyaman di rumah kecilku, jujur.”

“Kamu tahu kan... mereka sayang kamu.”

Zahra menoleh. “Mereka juga sayang kamu, Nadine. Meskipun... mungkin sekarang mereka sedang bingung cara membaginya.”

Keduanya diam.

Zahra memeluk lututnya. “Aku nggak pernah minta dilahirkan dari orang kaya. Aku juga nggak minta ditukar. Tapi sekarang aku takut semua berubah. Termasuk kita.”

Nadine menatap Zahra. “Kita... nggak akan berubah. Kamu mungkin anak kandung Mama, tapi kamu juga temanku. Dan kamu... seperti bagian dari diriku.”

Zahra menahan air mata. Di dunia yang sekarang serba tak pasti, hanya Nadine yang membuatnya merasa aman.

***

Rayhan akhirnya memberanikan diri menemui Zahra.

Ia menunggu di luar sekolah tempat Zahra belajar, memegang sebotol air mineral dan kertas kecil yang bertuliskan:

"Terima kasih pernah hadir sebagai cahaya. Meski cahaya itu harus padam demi tidak membakar kita."

Saat Zahra keluar gerbang, Rayhan berdiri gugup. Zahra terkejut melihatnya.

“Kamu ngapain di sini?” tanyanya pelan.

Rayhan tersenyum pahit. “Mau pamit.”

Zahra mengerutkan dahi. “Pamit?”

“Aku tahu, perasaan ini nggak bisa aku terusin. Tapi aku nggak bisa pura-pura biasa. Aku sayang kamu, Zahra. Dan itu nggak berubah, meskipun kenyataannya pahit.”

Zahra menunduk. Air mata mengalir begitu saja.

“Kamu bukan salah. Kita... cuma salah tempat,” bisik Zahra.

Rayhan menyerahkan kertas kecil itu, lalu pergi tanpa menoleh. Zahra berdiri lama di situ, membaca tulisan tangan yang kini akan ia simpan di dalam hati, entah sampai kapan.

***

Suatu sore, Zahra berdiri di ambang pintu rumah kecil yang dulu ia tinggali. Di sana ada Anita, menatapnya dengan senyum penuh rindu. Zahra memeluk ibu yang telah membesarkannya, menangis dalam dekapan itu.

“Bu... aku kangen rumah ini.”

Anita mengelus rambutnya. “Rumah ini juga kangen kamu.”

“Aku nggak tahu harus tinggal di mana. Di rumah Bu Tiara... aku merasa bukan siapa-siapa. Tapi di sini... aku merasa berdosa karena aku bukan darahmu.”

Anita menarik wajah Zahra, menatap dalam-dalam. “Nak... aku memang nggak melahirkan kamu. Tapi aku mencintaimu seperti anak kandungku sendiri. Kamu nggak harus memilih salah satu. Dunia kamu memang terbagi dua sekarang. Tapi hatimu bisa tetap utuh.”

Zahra menangis lagi. Di pelukan Anita, ia merasa... pulang.

***

Hari itu, cahaya matahari terasa berbeda.

Langit biru cerah, tapi hati dua gadis itu diselimuti awan abu-abu.

Pagi di meja makan keluarga Wibisono terasa senyap. Zahra duduk berhadapan dengan Nadine. Tiara menyajikan sarapan seperti biasa, tapi raut wajahnya menunjukkan kegelisahan. Raka hanya membaca koran, sesekali melirik ke arah kedua putrinya yang satu biologis, satu emosional.

Hari ini adalah hari pengumuman penerimaan mahasiswa baru. Zahra dan Nadine sama-sama mendaftar ke jurusan seni dan komunikasi di universitas impian mereka yaitu Universitas Mahardika, kampus paling bergengsi se-Asia Tenggara dalam bidang seni dan media.

Namun hanya satu dari mereka yang akan diterima.

“Semoga kamu keterima ya, Zahra,” ucap Nadine pelan sambil meneguk teh hangatnya.

Zahra tersenyum kecil. “Kamu juga. Kamu yang lebih cocok masuk sana. Gaya lukisan kamu... beda dari yang lain.”

Mereka tahu, ini bukan sekadar soal universitas. Tapi soal arah hidup.

Sore harinya, kedua gadis itu duduk bersebelahan di sofa, membuka email dari universitas secara bersamaan.

Klik.

Mata mereka menyapu layar.

Napas mereka tercekat.

Zahra diterima.

Nadine... tidak.

Hening.

Tak ada tangis. Tak ada sorak. Hanya sepi yang panjang, menyesakkan.

Tiara, yang ikut melihat dari belakang, sontak berseru, “Alhamdulillah! Zahra keterima! Selamat, Sayang!” Ia memeluk Zahra erat. Senyum bahagia mekar di wajahnya.

Tapi Nadine... tetap diam. Ia tersenyum, tapi senyum itu tak sampai ke matanya. “Keren. Kamu keterima,” katanya pelan.

Zahra menoleh cepat. “Kamu... nggak keterima?”

Nadine mengangguk sekali. “Nggak papa kok. Mungkin memang bukan jalanku.”

Tapi Zahra tahu. Nadine pasti kecewa. Ini kampus impian mereka. Ini tempat di mana Nadine ingin menemukan jati dirinya yaitu dunia seni yang selama ini menjadi satu-satunya tempat ia merasa bernilai.

Malamnya, Zahra duduk sendirian di balkon rumah. Di tangannya, surat penerimaan dari kampus itu. Ia merasa... bersalah.

Bersalah karena keterima. Bersalah karena itu bukan hanya impian dia tapi juga milik Nadine. Dan lebih dari itu, Zahra merasa ia telah mengambil tempat di dunia yang seharusnya bukan miliknya.

Tiara mendekat perlahan. “Kenapa kamu kelihatan nggak bahagia, Sayang?”

Zahra menatapnya. “Aku bahagia, Ma. Tapi... aku juga sedih. Nadine lebih layak dapat ini. Dia seniman sejati.”

Tiara duduk di sebelahnya. “Kamu juga layak. Kamu anak kami, dan kamu harus mengambil kesempatan yang ada.”

“Tapi bagaimana dengan Nadine? Dia merasa makin tergeser, Ma...”

Tiara menghela napas. “Kami tetap menyayanginya. Tapi kami juga ingin melihat kamu berkembang. Ini bukan soal mengganti siapa dengan siapa, Zahra. Ini soal menebus tahun-tahun yang hilang.”

Zahra tahu maksud ibunya. Tapi benaknya tak bisa berhenti berpikir, benarkah ini adil?

***

Esoknya, Zahra memanggil Nadine ke taman belakang rumah.

“Aku... nggak jadi ambil kursi di Mahardika,” ucap Zahra mantap.

Nadine menatapnya, terkejut. “Kamu gila? Itu kampus terbaik!”

“Aku tahu. Tapi kamu lebih layak.”

Nadine menggeleng. “Zahra, ini bukan soal siapa lebih layak. Ini soal kesempatan. Kamu keterima, aku tidak. Kamu nggak harus menyerahkan hidupmu demi aku.”

Zahra tersenyum. “Bukan menyerahkan. Aku cuma nggak mau mengejar sesuatu yang harusnya bisa kita bagi bersama.”

Tiba-tiba Nadine memeluk Zahra erat. “Kita ini... aneh ya. Aku sayang kamu, tapi aku juga cemburu. Aku ingin dekat, tapi kadang ingin menjauh. Aku takut... kamu pelan-pelan gantiin aku di rumah ini.”

Zahra membalas pelukan itu. “Aku juga takut. Takut jadi alasan kamu merasa nggak cukup.”

Dalam pelukan itu, mereka menangis. Bukan karena benci. Tapi karena mereka terlalu menyayangi satu sama lain.

***

Beberapa minggu kemudian, Universitas Mahardika membuka jalur khusus “Program Alternatif” untuk satu kursi tambahan. Nadine mencoba mendaftar ulang. Kali ini dengan lukisan bertema “Identitas yang Terbelah”.

Lukisan itu menggambarkan dua wajah perempuan yang terbelah oleh cermin, tapi saling menyentuh di bayangannya. Wajah Zahra dan Nadine. Dua hati. Dua dunia. Satu cerita.

Dan Nadine diterima.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel