Bab 4 Lagi-lagi menjadi yang tidak terpilih
Nadine akhirnya datang ke kampus Universitas Mahardika.
Hari pertamanya disambut langit mendung dan semilir angin pagi yang basah. Tapi baginya, ini bukan pertanda buruk. Justru seperti simbol permulaan bahwa perjuangan yang datang dari kesabaran dan keringat, akan terasa lebih berharga saat dicapai sendiri.
Zahra yang sedang duduk di pelataran fakultas, langsung berdiri begitu melihat Nadine dari kejauhan. Ia berlari menghampiri sahabat sekaligus bayangannya itu, lalu memeluk erat.
“Aku tahu kamu akan sampai juga,” ucap Zahra dengan mata berkaca-kaca.
Nadine tertawa pelan. “Aku juga tahu kamu akan tetap di sini, nungguin aku.”
Hari itu, dua hati yang sempat berjalan sendiri-sendiri kembali sejajar. Mereka masuk ruang kelas pertama bersama-sama, duduk bersebelahan seperti dulu, seolah tak ada yang pernah berubah.
Tapi kenyataan tak pernah membiarkan cerita berjalan semudah itu.
Di minggu ketiga kuliah, kampus mulai menggelar kegiatan lintas jurusan. Salah satunya adalah Media Project Camp, program kolaborasi antara mahasiswa jurusan seni dan komunikasi.
Zahra terpilih jadi salah satu koordinator tim jurnalistik, sedangkan Nadine masuk divisi ilustrasi dan dokumentasi visual. Semuanya terasa menyenangkan... sampai satu nama muncul dalam daftar peserta tambahan.
Revan Aryandika.
Revan adalah teman SMA Zahra. Lebih dari itu, Revan adalah orang pertama yang pernah membuat Zahra percaya pada cinta. Tapi cinta itu tak pernah sempat dijelaskan, karena Revan tiba-tiba menghilang di akhir kelas dua, tanpa pamit. Hanya kabar pindah kota. Hanya sepotong kenangan.
Kini, Revan kembali. Dengan senyum yang masih sama. Dengan tatapan yang masih tajam menusuk.
“Zahra? Nggak nyangka kita ketemu di sini,” ucap Revan sambil menyodorkan tangan.
Zahra hanya membalas senyum kikuk. “Iya... dunia memang kecil, ya.”
Nadine memperhatikan dari kejauhan. Dari raut Zahra, ia tahu bahwa ada bagian masa lalu yang belum selesai.
Hari-hari berikutnya, Revan semakin sering muncul. Kadang membawa teh dingin untuk Zahra. Kadang duduk di sebelahnya saat rapat. Kadang menunggu Zahra selesai kelas untuk ngobrol. Semuanya terlihat biasa... tapi tidak bagi Nadine.
Nadine mulai merasa terpinggirkan.
Bukan karena Zahra berubah. Tapi karena ruang antara mereka mulai diisi orang lain. Orang yang membawa sisi Zahra yang tak pernah Nadine kenal adalah versi Zahra yang gugup, yang senyum tanpa sadar, yang tertawa kecil sambil menyibak rambut.
Nadine mulai menarik diri. Ia lebih sering menggambar sendirian, menunda obrolan, dan pulang lebih cepat.
Zahra menyadarinya.
“Nadine, kamu kenapa?” tanya Zahra suatu malam usai kelas.
“Enggak. Aku cuma capek,” jawab Nadine cepat.
“Kamu marah aku deket sama Revan?”
Nadine menatap Zahra, lalu mengalihkan pandangannya. “Nggak. Cuma... mungkin sekarang kamu udah nemu seseorang yang bisa isi ruang kosong mu. Dan itu bagus. Aku seneng.”
“Tapi kenapa kedengarannya kamu nggak benar-benar seneng?”
Nadine tersenyum kecil, tipis dan nyaris menyakitkan. “Karena aku belum selesai belajar... caranya melepas.”
***
Beberapa hari kemudian, Zahra dan Revan ditugaskan untuk liputan luar kota selama dua hari. Saat Zahra pamit kepada Nadine, ia mencoba meredam rasa bersalah.
“Aku janji nggak akan berubah, Nadine. Kamu tetap orang terpenting buatku.”
Nadine mengangguk. Tapi dalam hatinya, ia tahu bahwa rasa ‘penting’ bisa berubah bentuk.
Dan di malam kedua kepergian Zahra, Nadine berdiri di balkon kamarnya di kos, menggenggam pensil sketsa dan selembar kertas. Ia mulai menggambar bukan wajah Zahra, bukan Revan, bukan ibunya, bukan rumah besar di Menteng. Tapi dirinya sendiri. Duduk sendirian. Dikelilingi bayangan dari dua dunia yang satu terang, satu gelap.
***
Malam menyelimuti kota Jakarta dengan sepinya yang pekat. Di dua tempat berbeda, dua hati yang dulunya berpadu kini saling menghindar dalam diam. Bukan karena benci, melainkan karena rasa yang tak berani disebutkan yaitu rasa yang mereka kira tak seharusnya tumbuh, terlebih saat arah hidup mereka masih dipertanyakan.
Di kamar kos sederhana, Nadine duduk di depan buku sketsanya. Di tangannya tergambar wajah seorang lelaki dengan tatapan tenang, senyum tipis yang tulus, dan bahu kokoh yang terasa... nyaman.
Wajah Revan.
Nadine tak tahu sejak kapan bayangan itu muncul setiap ia memejamkan mata. Ia tak tahu sejak kapan suara Revan lebih mudah ia ingat daripada suara Zahra. Yang ia tahu, ketika Revan duduk di dekat Zahra, ada bagian dalam dirinya yang pelan-pelan merasa... kalah.
"Kenapa harus dia?" batinnya.
Sementara itu Zahra menatap layar ponselnya. Jari-jarinya berulang kali ingin mengetik pesan kepada Nadine, tapi tak satu pun kata terkirim.
Revan baru saja mengantarnya pulang setelah dua hari liputan ke luar kota. Perjalanan itu bukan hanya memberi mereka waktu bersama, tapi membuka sesuatu yang lebih dalam. Revan mulai bercerita tentang masa lalunya, tentang keluarganya yang sempat hancur, tentang kepergiannya dari sekolah dulu, dan bagaimana ia kembali dengan luka yang belum sepenuhnya sembuh.
Dan Zahra, untuk pertama kalinya, merasakan... Revan memahami dirinya tanpa perlu menjelaskan siapa dia sebenarnya.
Zahra mengusap dada. Ada degup yang tak biasa setiap kali Revan menyebut namanya.
Tapi entah kenapa, setiap kali ia ingin tersenyum, bayangan Nadine selalu muncul.
Nadine, dengan tatapan yang belakangan ini dingin. Nadine, yang kini terasa seperti tembok, bukan bahu.
Di malam yang sama, dua hati itu menuliskan sesuatu di buku mereka masing-masing.
Zahra menulis:
“Mungkin aku mulai jatuh hati. Tapi kalau ternyata Nadine juga menyukai Revan… haruskah aku mundur?”
Nadine menulis:
“Apa salah kalau aku menyukai orang yang sama dengan Zahra? Tapi dia sahabatku. Bahkan lebih dari saudara. Apa aku sanggup kehilangan semuanya karena perasaan ini?”
Keduanya menulis dengan tangan yang gemetar. Dan keduanya tidak tahu… bahwa rasa itu sedang tumbuh di tempat yang sama. Untuk orang yang sama.
***
Keesokan harinya Revan berdiri di koridor fakultas sambil menunggu Zahra. Tapi yang muncul lebih dulu adalah Nadine. Mereka berdua saling menatap canggung.
“Hai,” sapa Revan, masih dengan senyum tenangnya.
“Hai,” jawab Nadine sambil memaksakan senyum.
“Zahra belum datang?”
Nadine menggeleng. Tapi di hatinya, ada harapan kecil bahwa Zahra… tidak akan datang saat ini.
Revan mengganti topik. “Kamu suka gambar, ya? Aku lihat sketsa kamu waktu di pameran kampus. Keren banget.”
Nadine mendongak, sedikit tersentak. “Kamu lihat?”
Revan tertawa kecil. “Aku suka karya yang jujur. Dan karya kamu... terasa banget.”
Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, Nadine merasa dirinya dilihat sebagai dirinya sendiri, bukan sebagai bayangan siapa pun.
Tapi sebelum ia sempat menjawab, Zahra datang. Dengan langkah ringan dan senyum cerah.
“Eh, kalian udah ketemu duluan?” sapa Zahra.
Revan menoleh dan mengangguk. “Baru aja.”
Dan di detik itu, Nadine melihat senyum Revan berubah. Lebih terang. Lebih hangat.
Senyum yang bukan untuknya.
Hujan turun sore itu. Deras, seakan langit ikut menahan sesuatu yang selama ini enggan jatuh. Zahra berdiri di bawah atap kecil halte kampus, memeluk tubuhnya sendiri sambil memandangi jalanan yang tergenang.
Nadine menyusul tak lama kemudian, langkahnya tergesa. Wajahnya kelelahan, rambutnya basah meski sudah dilindungi kerudung.
“Kamu belum pulang?” tanya Nadine, berdiri di sebelah Zahra.
Zahra menggeleng. “Nunggu reda. Males naik ojek kehujanan.”
Hening sejenak.
Nadine memandang ke arah hujan, lalu berbisik, “Zahra... kita boleh ngobrol jujur nggak?”
Zahra menoleh pelan, matanya menatap dalam. “Tentang Revan?”
Nadine terdiam. Hanya suara hujan yang terdengar di antara mereka.
“Aku tahu kamu suka dia,” lanjut Zahra, lembut tapi menusuk.
Nadine menunduk. “Aku... nggak bermaksud ngrebut siapa pun. Perasaan itu datang sendiri.”
“Aku juga nggak tahu sejak kapan aku suka dia,” balas Zahra, lirih. “Tapi waktu dia cerita tentang hidupnya di perjalanan ke luar kota, aku ngerasa... aku nyambung banget.”
“Aku juga ngerasa nyambung,” sela Nadine, cepat. “Waktu dia bilang dia suka gambaranku. Waktu dia nyebut nama aku... kayak aku berarti.”
Zahra menarik napas panjang. Jantungnya berdegup. “Jadi sekarang... kita berdua sama-sama menyukai dia?”
Nadine menatap Zahra, matanya mulai memerah. “Mungkin iya. Tapi kita juga nggak tahu siapa yang dia suka, ‘Ra. Mungkin bukan kita dua-duanya.”
“Tapi bagaimana kalau... ternyata salah satu dari kita yang dia pilih?”
Diam.
Tak ada yang bicara. Tapi di dalam hati mereka, ribuan tanya saling bertabrakan.
***
Malam itu, Zahra tidak bisa tidur. Ia menatap langit-langit kamar, memutar kembali semua momen bersama Nadine sejak masa sekolah, sejak tahu mereka tertukar, sejak kembali ke tempat semestinya. Mereka bukan sekadar sahabat. Mereka lebih dari saudara. Tapi mengapa kini, hanya karena satu pria... mereka bisa jadi saling menyakiti?
Sementara itu, Nadine duduk di depan meja belajar di kosnya, menggambar satu sketsa terakhir yaitu dua perempuan duduk saling membelakangi, tapi di antara mereka ada satu sosok laki-laki... yang menatap lurus ke depan, tak menyadari ada hati yang saling retak di belakangnya.
***
Keesokan harinya Zahra mengajak Revan bertemu di taman belakang kampus. Tempat yang biasanya sepi, dikelilingi pohon trembesi yang rimbun.
“Ada yang mau kamu omongin?” tanya Revan, santai.
Zahra menatapnya lekat. “Aku mau tanya... kamu tahu Nadine suka kamu?”
Revan mengerutkan dahi. “Dia... nggak pernah ngomong apa-apa.”
“Tapi kamu bisa lihat dari caranya dia menatapmu. Sama seperti aku.”
Revan tampak bingung. “Zahra...”
“Dengar dulu,” potong Zahra. “Aku dan Nadine... kami bukan sekadar sahabat. Kami hidup dalam cerita yang terbalik. Tapi sekarang kami menyukai orang yang sama. Dan itu kamu.”
Revan menunduk. Diam.
Zahra menarik napas berat. “Kalau kamu punya perasaan pada salah satu dari kami, aku harap kamu jujur. Karena diam kamu bisa menyakiti lebih dari sekadar penolakan.”
Revan mengangkat wajah. Matanya jernih.
“Aku menyukai kamu, Zahra. Sejak dulu.”
Zahra menahan napas. Ada perasaan bahagia di sana. Tapi bersamaan dengan itu, juga ada rasa bersalah... mendalam.
Nadine melihat dari kejauhan.
Ia tak sengaja lewat saat Revan memeluk Zahra singkat, dan Zahra meski terlihat kaku tapi tidak menolak. Nadine berdiri diam di balik tiang koridor kampus. Hujan gerimis turun pelan. Tapi dalam dirinya, hujan jauh lebih deras.
Ia tak menangis. Tapi matanya kosong.
Seolah seluruh dunia kembali memaksanya berada di posisi "yang tergantikan". Lagi-lagi bukan pilihan utama. Lagi-lagi hanya menjadi “yang tidak terpilih.”
