Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

SEORANG IBU

“Diangkat saja, Bu.” Tanpa di minta Anggraeni menyarankan.

Sebetulnya Padmarini tak butuh di suruh seperti itu. Toh, pasti ia akan langsung berbuat seperti itu saat melihat siapa yang menelpon. Wanita itu segera menjauh sambil mengeser layer ponsel.

“Halo, asalamualikum, Kak?” ia merendahkan nada bicara, sebab yang menelpon adalah anak lelaki sulungnya.

“Mama kapan pulang?” tanya suara dari dalam speaker ponsel. Suara polos yang selalu membuat hati Padmarini bergetar karena merasa bersalah.

“Sebentar lagi. Kenapa, Kak? Adek rewel?” ia menebak.

“Iya… Cariin Mama.”

Raut Padmarini berubah keruh. Selama ini ia memang tak pernah meninggalkan anak-anaknya. Dan kalaupun mereka di tinggal di rumah, akan ada asisten rumah tangga dan babysitter yang membantu. Namun, kini mereka bukanlah orang berada. Keadaan memaksa Padmarini memberhentikan semua pegawai di di rumahnya. Termasuk Satpam yang biasa menjaga. Hal tersebut jujur membuat wanita itu was-was, takut kalau rumah mereka di datangi para pembeli rumah, kontraktor, atau pemilik tanah yang belum lunas. Akan tetapi, ia segera tersadar, bahwa itu hanya kekhawatiran masa lalu yang masih di bawa-bawa sampai sekarang.

Sempat terlintas di pikiran untuk membawa serta anak-anak. Tapi, jalanan di siang hari sangat panas, mereka tak terbiasa. Lalu, ia akan beralasan apa jika ada yang bertanya soal persidangan dan kantor polisi? Belum jika bertemu ayah mereka yang sudah lama tak pulang, tetapi bisa muncul di depan mata mereka. Itu semua membuat kening Padmarini berdenyut nyeri.

“Mama cepat pulang ya. Aku takut sendirian di rumah.” Nada memelas dari seorang anak usia sepuluh tahun itu membuat kedua mata Padmarini berkaca-kaca. Ia bisa membayangkan gelisahnya anak-anaknya itu yang baru beberapa minggu pindah ke lingkungan asing, yang dulu mereka tinggal di lingkungan perumahaan mewah, kini harus di perkampungan dengan keadaan rumah yang sangat jauh berbeda dengan yang selama ini mereka huni.

Padmarini mengusap air matanya yang hamper mengalir. Kemudian membenarkan letak ponsel dan menyandarkan diri ke pohon. “Sabar ya.. Sebentar lagi Mama pulang kok.” Suaranya nyaris getar karena tak kuat menahan kesedihan.

“Mamah pulang kapan?” tiba-tiba suara lain terdengar. Lebih cempreng dan sedikit cadel.

Padmarini tersenyum. ”Asalamualikum Adek.” Sapanya lembut.

“Walalikumcalam…” Cadelnya membuat wanita yang sedang menelpon di bawah pohon rindang depan Pengadilan Negeri itu geli. “Mamah pulang, Aga mawu suappin Mamah.” Ia melanjutkan.

“Aga nggak mau aku suapin og, Mah.” Sebelum Padmarini menanggapi, anak sulungnya sudah bereaksi. “Nasinya malah di sebar-sebar di lantai. Keinjek kaki, lengket semua.” Dari cara penyampaiannya, Padmarini menduga pastilah si Kakak kesal kepada Adiknya.

“Suappin Mamah!” teriak anak bungsungnya yang berusia lima tahun.

Padmarini sampai menjauhkan ponsel dari telinga karena begitu nyaring.

“Tuh, dengar sendiri kan, Mah.”

Tak lama terdengar mereka adu mulut ala anak kecil. Ribut dan di sertai teriakan satu sama lain. Padmarini yang paham situasi di rumah ingin segera pulang saja.

“Sudah, sudah. Jangan bertengkar. Aga kalau tidak mau makan, tidak usah makan. Tunggu Mama sampai rumah, nanti suapin ya?” ia mencoba menengahi.

“Kapan Mama pulang…?” bocah usia lima tahun itu masih saja merengek.

“Mama kan bilang nanti Dek.” Si sulung yang menanggapi.

Padmarini termenung sembari mendengarkan perdebatan dua anaknya dari dalam speaker ponsel. Dahulu hal seperti ini membuatnya geli, karena menurutnya itu akan menambah ikatan persaudaraan mereka dan kelak bisa di gunakan untuk bahan gurauan. Akan tetapi, kali ini malah membuatnya semakin sakit kepala.

Setelah beberapa menit berlalu, barulah sekali lagi ia memberikan pengertian. Yang untungnya oleh kedua anaknya di terima dan telpon di tutup dengan ancaman dari Aga yang akan ngambek tak mau bicara jika dalam waktu satu jam ibunya tersebut tak sampai rumah.

Padmarini menghela nafas lelah, kemudian menyimpan ponselnya kembali ke dalam tas. Ia berbalik dan mendapati dari kejauhan Anggraeni masih menunggunya sembari duduk di dalam mobil. Di kacanya yang terbuka, ia melihat staf suaminya itu juga tengah menelpon.

Anggraeni menyudahi pembicaraan bersamaan dengan Padmarini yang sudah berada di dekatnya. “Mari, Bu. Silahkan masuk.” Ia mempersilahkan sambil menyalakan mesin mobil.

Padmarini menurut. “Permisi, Mbak.” ucapnya seraya duduk di jog samping.

“Silahkan, Bu.” Dengan sopan wanita itu Kembali berkata.

Mobil jenis sedan berwarna putih itu mulai berjalan pelan meninggalkan area parker Pengadilan Negeri Kota Semarang.

“Maaf ya, Mbak. Tadi menunggu saya lama.” Kata Padmarini begitu mobil sampai di jalan raya.

Anggaeni yang menyetir tersenyum mendengarnya. “Tidak lama kok, Bu.” Ia berkata ringan. “Ini saya antar ke rumah ya, Bu. Sekalian saya tahu rumah baru Bu Padma.” Lanjutnya.

Padmarini hendak menolak, sebab suaminya dan dirinya sudah ada kesepakatan untuk tak memberitahukan alamat yang baru kepada siapapun. Bukan tanpa alasan, tapi untuk menghindari kejadian seperti yang dulu. Dimana saat itu, rumah mereka di datangi rombongan pembeli rumah yang belum di bangun. Rombongan yang terdiri dari beberapa kepala keluarga yang membawa turut serta istri dan anak-anak mereka, menuntut penyelesaian pembanguan rumah mereka yang sudah bertahun-tahun mangkrak, atau pengembalian uang.

Dan kendati kejadian tersebut masih bisa di atasi sebab masih ada Abhipraya. Namun, menyisakan rasa malu kepada tetangga-tetangga sekitar yang turut serta mendengar omelan, umpatan, sampai teriakan yang membawa-bawa nama hewan yang di tunjukkan kepada suaminya.

Wanita berhijab itu kembali menghela nafas panjang sambil melihat keluar kaca jendela mobil. Terkadang ia masih tak percaya dengan keadaannya saat ini. Rasanya baru kemarin ia hidup berkecukupan dan tinggal di rumah yang megah. Anak-anaknya pun bersekolah di sekolah swasta terbaik, dengan mobil pribadi plus sopir yang siap sedia dengan tugasnya. Ia sendiri sehari-hari hanya duduk manis sambil memperhatikan anak-anak yang sudag ada pengasuh. Segala pekerjaan rumah juga telah di kerjakan asisten rumah tangga.

Tapi kini, raut Padmarini perlahan berubah muram. Lalu ia merunduk melihat telapak tangannya yang kulitnya terkelupas dan terasa perih karena mencuci baju tanpa mesin cuci. Wajahnya juga mulai kusam, dengan keriput di bawah mata yang entah kapa nada. Hal yang wajar sebenarnya, karena kini ia tak pernah perawatan lagi dan pikirannya di penuhi berbagai masalah yang berat.

“Bu,” panggil Anggraeni mengejutkan Padmarini yang sedang melamun. “Bu Padma tidak mau memberikan alamat rumah kepada saya?” ia menebak.

Padmarini langsung gugup. “Ma, maaf, Mbak. Tapi saya…”

“Saya mengerti Bu.” Potong Anggraeni masih dengan senyum khasnya. “Sebelum masuk, Pak Abhipraya sempat bercerita tentang para pembeli yang mendatangi rumah dan membuat kegaduan.” Ia berbicara sambil berkonsentrasi menyetir. “Saya paham, Bu.” Lanjutnya.

“Terima kasih, Mbak.” Hanya itu tanggapan Padmarini. Kemudian Kembali merunduk serta memainkan kedua jemari tanggannya yang berada di pangkuan.

“Nanti saya antar di depan gang nya saja ya, Bu. Atau Bu Padma saya turunkan di mana gitu yang dekat dengan rumah.” Anggraeni memberi solusi.

Padmarini berpikir sebentar, lalu mengiyakan usulan dari satu-satunya karyawan yang tersisa dari Perusahaan suaminya yang bangkrut.

Bab 3. Seorang Ibu

Bersambung

Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa tap love dan tinggalkan komentar ya!
Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel