PADMARINI DEVI
“Permisi, Bu Padmarini Devi.” Tepukan pelan di pundak kanan membangunkannya dari lamunan. Ia menoleh ke belakang. Di situ telah sepi, dan tinggal ia seorang yang masih duduk di bangku ruang sidang. “Bu, maaf, saya terlambat datang.” Wanita berpakaian kantoran dan berkacamata itu Kembali berkata. Lalu tanpa di perintah duduk di sampingnya.
Padmarini bergeming, sembari mengingat-ingat siapa wanita yang kini tersenyum prihatin ke arahnya.
“Saya Anggraeni. Staf Pak Abhipraya. Dulu kita pernah bertemu. Bu Padma lupa ya dengan saya…?” ia Kembali tersenyum, tapi kali ini dengan kedua tangan yang menangkup telapak tangan Padmarini yang dingin.
Wajah wanita berhijab hitam itu langsung cerah. “Ooohh… Mbak Anggraeni, iya, saya ingat Mbak. Maaf, tadi saya kurang focus.” ujar Padmarini tak enak hati.
“Ah, tidak apa-apa, Bu.” Anggraeni menepuk-nepuk punggung tangan istri Bos nya untuk menenangkan. “Tadi sidangnya bagaimana, Bu? Maaf, tadi di jalan ada demo, jadi saya terlambat mendampingi Bu Padma. Saat saya sudah sampai sini, persidangan sudah di mulai dan saya tidak di ijinkan masuk oleh Petugas.” Ia menerangkan dengan raut menyesal.
Padmarini menipiskan bibir, “tidak apa-apa, Mbak.” Ucapnya penuh pemakluman.
Anggraeni menatap sedih, kemudian melepaskan genggaman tangannya dan menghela nafas Panjang. “Coba Pak Abhipraya mau sedikit mendengar masukan dari kami…” ia berkata seperti keluhan.
“Maksudnya, Mbak…?” tanya Padmarini tak mengerti.
Wanita berkacamata bulat dengan list berwarna cokelat itu menoleh ke arah Padmarini. “Perusahaan merugi bukan karena covid,Bu.” Raut wajahnya Nampak serius.
Kedua mata Padmarini membulat.
“Sewaktu covid, penjualan masih stabil walau ada penurunan. Tetapi…, yang membuat semua goyah adalah management keuangan perusahaan yang tidak bagus, Bu.” Ia memberitahu.
Padmarini terdiam dengan pikiran yang seketika di penuhi banyak hal.
“Pak Abhipraya juga terlalu terburu-buru di setiap pengambilan keputusan. Proyek yang satu belum selesai, tapi beliu sudah membuka proyek lain lagi. Dalam skala besar lagi.” Anggraeni bercerita. “Tapi… yang membuat penasaran itu, uang sebanyak itu di gunakan apa oleh beliu? Sampai banyak rumah yang belum di bangun dan tanah belum terlunasi.”
Jantung Padmarini langsung berdetak lebih kencang. “Sa, saya tidak tahu apa-apa tentang perusahaan, Mbak.” Ia menanggapi apa adanya. Tapi, hatinya gelisah karena memikirkan berbagai dugaan yang tak baik.
“Saya tahu itu, Bu.” Anggraeni menggeser duduknya menghadap lawan bicara. “Saya hanya ingin berbagi keluh kesah saja soal perusahaan dan Pak Abhipraya. Karena sangat di sayangkan, perusahaan sebesar itu harus jatuh. Dan lebih-lebih sampai membuat Pak Abhipraya di penjara.”
Mendengarnya Padmarini hanya tertunduk. Benar, kemana semua uang yang harusnya untuk pembangunan proyek? Tanyanya dalam hati. Perusahaan suaminya tergolong besar dengan dua kantor cabang di luar kota. Ia pun sebagai istri tak pernah neko-neko dengan meminta ini dan itu. Lalu, kemana perginya uang-uang itu?
Padmarini meneguk ludah dalam-dalam. Hatinya mulai kalut. Ia seperti baru menyadari bahwa hidupnya bagai burung dalam sangkar emas. Abhipraya memang memberinya apapun yang di inginkan wanita. Tetapi, tak satu kalipun suaminya itu berbagi cerita tentang apa yang di lakukannya di luar rumah. Ia sendiri seperti memang di fokuskan hanya boleh berkutat di rumah, sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi anak dan rumah. Tiap kali ia meminta di buatkan bisnis aeperti restoran atau butikpun, Abhipraya tak pernah mengijinkan dengan dalih semua kebutuhan sudah terpenuhi.
Apa Mas Abhi sengaja berbuat begitu supaya aku tak tahu apa-apa…? Karena dia punya rahasia di luaran sana? Padmarini terkejut oleh pemikirannya sendiri. Lalu beristigfar dalam hati sembari menghela nafas. Mas Abhi baru saja di vonis dua tahun penjara, tapi aku malah menduga-duga hal jelek seperti ini. Ia semakin tertunduk sambil memjamkan kedua mata untuk menenangkan perasaan.
“Bu, maaf, saya malah bicara yang menambahi beban pikiran Bu Padma.” Kalimat Aggraeni membuat Padmarini mengangkat muka. “Saya hanya sangat menyesali dengan apa yang terjadi dengan Perusahaan tempat saya mencari rejeki. Kini saya bingung, di mana saya harus mencari tempat senyaman perusahaan Pak Abhipraya.”
Padmarini tak tega melihat Anggraeni bersedih. Ia gantian menguatkan wanita itu dengan mengenggam kedua tangannya. “Mbak Anggaeni adalah karyawan terbaik yang di miliki Perusahaan. Di saat karyawan-karyawan lain pergi, Mbak Anggraeni tetap di sini untuk membantu suami saya, untuk membantu saya dan keluarga. Padahal saya yakin, di luar sana pasti banyak Perusahaan yang akan menerima Mbak Anggraeni dengan gaji yang jauh lebih layak dari gaji yang mampu kami beri saat ini.”
“Tidak, Bu. Saya bukan tipe orang yang seperti itu.” Wanita berambut ikal sebahu itu tersenyum sambil mengenggam lembut tangan Padmarini. “Saya orang yang tahu berterima kasih, dan Pak Abhipraya sudah banyak menolong saya di saat sulit.” Ia menjelaskan. “Yaahh… mau bagimanapun salah langkahnya Pak Abhi dalam mengelola Perusahaan. Tapi, tidak bisa di pungkiri kalua Pak Abhi adalah orang yang baik.” Anggraeni menatap Padmarini sembari tersenyum.
Mendengarnya, istri Abhipraya itu ikut tersenyum. Iya, suaminya orang baik. Malah sangatlah baik. Setiap bulan pria itu tak lupa menyantuni panti asuhan. Mengirim sembako sampai perlengkapan belajar. Suaminya juga gemar merenovasi masjid. Dia akan mencari info masjid atau mushola yang rusak, lalu memperbaiki dengan dana pribadi. Dia juga tak lima waktu dan kadang kala tahajud serta dhuha. Jadi, tidak mungkin orang seperti itu berbuat nista seperti yang terbesit dalam pikirannya tadi. Yang jelas, ini adalah cobaan dari Yang Maha Kuasa agar dirinya dan suami lebih mendekat pada Nya.
“Duuhh, kita malah ngobrol di sini ya, Bu.” Kata Anggraeni beberapa saat kemudian.
Padmarini hanya menggapi dengan senyum. Ia mengecek isi tasnya sebentar, lalu mencangklongkan di pundak. Sesaat ia melihat sekitar, ruang persidangan itu telah benar-benar sepi. Bahkan cleaning service yang tadi membersihkan ruangan sudah tak tampak. Sebenarnya dalam hati ia masih belum bisa menerima, tetapi bisa apa dirinya selain menunggu intruksi dari Abhipraya.
“Oya, Bu. Saya hampir lupa.” Kata Anggraeni Ketika mereka sama-sama bangkit dari duduk.
“Ada apa, Mbak?” tanya Padmarini.
“Penyidik yang menanggani kasus Pak Abhipraya meminta bertemu, Bu.” Anggraeni menjawab.
Wanita berhijab dengan setelan rok plisket hijau botol dan blouse abu-abu itu tertegun. “Penyidik…?” tanpa sadar Padmarini mengulang.
“Iya,” Anggraeni mengangguk sambil mereka berjalan beriringan menuju pintu keluar. “mereka meminta hari ini. Tapi, tadi saya sudah wa supaya mundur jadi besok.” Ia menambahkan.
Padmarini belum menanggapi.
Mereka sudah sampai di halaman Gedung Pengadilan Negeri. Hawa yang tadinya dingin karena berada di ruangan ber ac, kini berubah panas dengan matahari siang yang terik. Anggraeni sampai memayungi kepalanya dengan berkas sangking tidak tahannya. Namun, Padmarini yang berjalan di sisinya sama sekali tak terganggu dengan panas. Padahal selama ini hidupnya selalu nyaman dengan berada di dalam mobil mewah jika keluar ruangan.
Tiba-tiba ponsel yang ia taruh di dalam tas berbunyi, membuat dirinya dan Anggraeni reflek saling pandang.
Part 2. Padmarini Devi
Bersambung
Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa tap love dan tinggalkan komentar ya!