Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

RUMAH

Mobil jenis sedan warna dark grey itu berhenti di lampu merah. Bersaman dengan itu mendadak Anggraeni seperti teringat sesuatu. “O, iya, Bu!” spontan kedua telapak tangannya menepuk. “Hampir saja saya lupa,” ia menoleh kea rah Padmarini.

“Ada apa, Mbak?” Padmarini ikut terkejut. Pikiran overthingking nya seketika telah menjelajah kemana-mana.

Lampu lalu lintas berubah hijau, membuat wanita berambut ikal sebahu dengan blouse motif bunga-bunga dan rok span di atas lutut itu tak langsung menjawab. Ia memutar stir kemudi terlebih dahulu sembari membiarkan kendaraan-kendaraan lain mendahuluinya, sehingga lalu lintas di sekitarnya lebih santai.

“Apa, Mbak?” tanya Padmarini sudah tak sabar, karena mobil sudah melaju cukup jauh dari lampu merah tadi, tapi Anggraeni tak kunjung menjabarkan.

Karyawan suaminya yang setahu dirinya menjabat sebagai Manager itu melihat ke arahnya sambil tersenyum tipis. Dan entah kenapa, Padmarini merasa seolah tengah di permainkan. Ia beristigfar dalam hati, seraya membuang dugaan jelek tersebut. Mbak Anggraeni terbukti karyawan yang royal. Jahat sekali aku sampai berpikir demikian. Begitu ia berkata dalam hati.

“Maaf, Bu. Saya kalau sedang menyetir seperti ini biasanya harus konsentrasi penuh dengan melihat depan. Makanya tadi saya sempat lupa hendak bilang apa ke Bu Padma.” Anggraeni beralasan.

Padmarini malah jadi tak enak.

“Bukan sesuatu yang begitu penting sih, Bu.” Kata Anggraeni sambil tetap melihat kea rah depan.

Padmarini yang duduk di sebelahnya menyimak.

“Jadi.., tadi ada telpon dari Polrestabes.” Ia mengawali pemberitahuan.

Seketika ritme jantung Padmarini meningkat. Jujur ia trauma dengan nama itu. Sebab di tempat itulah awal mimpi buruknya terjadi. Masih sangat ia ingat, saat itu mereka sekeluarga baru saja pulang liburan. Dirinya, Abhipraya, Asa dan Aga. Suaminya tak memberitahukan terlebih dahulu, tentang kenapa mereka tak langsung pulang dan malah mampir ke Polrestabes. Dia hanya memberitahu, bahwa ada urusan sebentar dan malas bolak-balik keluar. Makanya ingin sekalian saja, biar nanti begitu sampai rumah bisa istirahat.

Namun, di tunggu sampai hampir satu jam Abhipraya tak kunjung keluar dari ruangan. Ia bersama anak-anak yang waktu itu menunggu di dalam mobil mulai gelisah. Sampai akhirnya, suaminya itu keluar di temani seorang Penyidik Kepolisian dan memberitahu soal penangkapan dirinya.

Sejak itu, Abhipraya tak pernah pulang ke rumah. Pria itu di gelandang ke Lembaga Permasyarakatan Kota Semarang yang terletak di perbatasan kota. Lalu secara bertubi-tubi Padmarini di hadapkan pada kepahitan-kepahitan hidup, yang di mulai dari seluruh tabungan ternyata telah di gunakan suami untuk menutup hutang Perusahaan, dan sayangnya sampai uang habis tak bisa menutupi. Kemudian seluruh aset yang di jaminkan di Bank di sita karena kredit mancet, para pembeli yang di rugikan menyerang medsosnya dan menyerbu kediamannya. Di tambah para kontraktor dan pemilik tanah yang belum selesai pembayarannya meminta hak mereka. Semua itu menyerang Padmarini yang sebetulnya tak tahu-menahu, sebab memang Abhipraya tak pernah terbuka padanya.

“Nama Penyidiknya Pak Rodra dan Pak Wira.” Anggraeni memberitahu.

Padmarini bergeming sembari memandang wanita yang tengah menyetir itu. Langit dari keca jendelanya terlihat orange. Persis kulit jeruk. Hal yang sedikit janggal, menggingat langit seperti itu biasanya terjadi di waktu peralihan sore ke malam, sedangkan saat ini masihlah siang. Karena hal tersebut juga, Padmarini tak begitu jelas melihat ekspresi wajah Anggraeni karena efek back light.

“Bu Padma tenang saja…” Wanita itu menoleh ke arahnya sambil tersenyum sesaat, dan Kembali berkonsentrasi lagi ke arah depan. “Mereka orang yang baik.” Ia melanjutkan. “Lebih-lebih Pak Rodra, beliau teman Pak Abhipraya juga. Jadi Bu Padma tak perlu khawatir.” Anggraeni Kembali menipiskan bibir.

Awalnya Padmarini hanya diam, sebab masih tersisa trauma mendalam soal penangkapan suaminya. Tetapi, akhirnya ia berjanji besok akan menemui para Penyididk itu.

Beberapa menit kemudian, ia meminta Anggraeni berhenti di sebuah Indomart yang terletak persis di depan gang tempat tinggalnya. Karyawan Abhipraya itu sempat bersikukuh ingin mengantar sampai rumah, Ketika Padmarini mengatakan tinggal jalan kaki sedikit. Tapi, ibu dua anak itu tetap tak mengijinkan.

“Baiklah kalau Bu Padma tetap menolak.” Kata Anggraeni yang masih di dalam mobil dengan kaca jendela yang terbuka.

Padmarini bisa melihat raut kecewa wanita itu. Dan sebenarnya ia tak enak hati, seba sudah di antar pulang. Akan tetapi, pengalaman memberinya pelajaran untuk selalu berhati-hati. Aku tak mau siapapun tahu tempat tinggal kami. Aku tak mau lagi anak-anakku mendengar bentakan, cacian dan sumpah serapah dari para pembeli yang mencari-cari kami. Begitu ia meneguhkan di dalam hati.

Selesai mengucapakan terima kasih dan berpamitan. Padmarini tak langsung berjalan ke arah rumah, melainkan masuk ke dalam Indomart untuk membelikan jajan Asa dan Aga, serta untuk memastikan bahwa Anggraeni sudah pergi.

Setelah memastikan semuanaya aman, barulah wanita berkerudung jenis pasmina berwarna hitam tersebut pulang menuju rumahnya yang terletak di perkampungan belakang toko serba ada ini.

Kepulangan Padmarini di sambut pelukan anak lelaki terkecilnya, yang langsung bertambah gembira Ketika melihat es krim dan snack. Ia segera menyambar kantong kain berwarna biru berisi jajan tersebut dan berlari-lari menuju ruang tengah.

“Jangan di makan semua lo, Dek!” seru Asa yang masih berdiri di depan pintu sembari mencium punggung tangan ibunya.

Padmarini geli melihat kehebohan anak-anaknya. Tak lama, kedua anak itu sudah duduk di ruang tengah sambil menonton televisi dan memakan jajanan. Padmarini keluar dari kamar dan sudah berganti baju daster serta rambut yang di gelung sembarangan, ikut duduk bersama mereka.

“Lihat, Mah!” tunjuk Aga begitu ibunya duduk di sampingnya. Padmarini melihat ke arah yang di tunjuk. “Ada Boboboi Windara!” ia memberitahu dengan kehebohan khas anak kecil.

“Waahh… hebat ya, Boboiboy berubah lagi.” Padmarini menanggapi dengan gestur sangat tetarik dengan film dari Negeri Jiran tersebut.

“Iya, kan, kan Boboiboy bisa berubah jadi macam-macam.” Bocah lelaki tujuh tahun dengan kaos singlet tanpa lengan dan celana dalam gambar boboiboy itu menerangkan. Lalu memasukan sisa remahan potato bee ke mulutnya.

Padmarini geli melihat bibirnya yang belepotan remah snack rasa rumput laut tersebut, “iya, iya… Boboiboy nya di bersihkan dulu ya mulutnya, baru bisa menang melawan Adudu.” Ia berkata sambil membersihkan sekitar bibir Aga dengan tisu basah.

Asa yang juga duduk di sofa tertawa melihat adegan si ibu dan adiknya. “Boboiboy kok masih bocah.” Celetuknya seraya menikmati es krim miliknya yang tinggal sedikit.

Aga yang merasa di ejek langsung berteriak dan memukul kakaknya.

“Boboiboy kalau makan minta di suapin, kalau pup nggak bisa bersiin sendiri, Sukanya berantakin mainan.” Bukannya berhenti, Asa malah semakin semangat menggangu saudaranya.

Aga semakin banyak memukul, tetapi bukannya kesakitan, Asa malah tertawa semakin kencang. Padmarini antara melerai pertikaian kedua anaknya yang sudah menjadi rutinitas tersebut. Tapi, ia juga merasa lucu dan hampir tak bisa menahan tawa. Biasa gawat kalau ikut tertawa, bisa-bisa Aga menganggapnya membela Asa. Dan akhibatnya, anak kecil itu bisa ngamuk gulung-gulung di lantai.

“Hei, sudah kalian.” Ia berkata tanpa benar-benar melarang. Kemudian mengulum senyum melihat Aga yang mempraktekan Boboiboy menghajar musuh. Tentu saja, dengan kepalan tangan kecilnya hanya membuat si Kakak bertambah menjahilinya.

Mungkin, inilah yang di maksud anak adalah pelipur lara. Yang menguatkan dan membuat Padmarini tetap tegar dalam menghadapi cobaan yang bak gunung meletus.

Bab 4. Rumah

Bersambung

Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa tap love dan tinggalkan komentar ya!
Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel