Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

PERTANYAAN

Berkumpul dan bercanda Bersama anak-anak cukup membuat pikiran Padmarini yang di penuhi beragam masalah terasa lebih ringan. Ia paling senang melihat dua anaknya itu berselisih pendapat, lalu yang kecil akan menyerang Kakaknya. Tentu saja, pertengkaran mereka dalam taraf bercanda. Karena seperti Ibunya, Asa juga senang adiknya itu marah sampai mengomel dengan suara cadel dan melayangkan pukulan-pukulan kecilnya yang membuat geli.

Namun, ada kalanya mereka benar-benar berselisih pendapat. Biasanya karena Asa yang tak mau membereskan mainan atau mengambil jajanan Kakaknya tanpa ijin. Dan bila itu terjadi, maka seharaian Asa bisa mengomel tiada henti, serta mnegeluh capek, capek dan capek.

“Aku nggak mau jagain Aga lagi. Dia berantakin mainan dan coret-coret dinding. Di bilangin susah.”

Padmarini teringat keluhan Asa beberapa hari lalu. Ia paham, mesti terlihat dewasa. Tapi, Asa tetaplah anak berusia sepuluh tahun yang di paksa dewasa oleh keadaan. Padahal dia dahulu adalah kesayangan Abhipraya. Hampir semua yang Asa inginkan, selalu di turuti oleh sang Ayah. Awalnya Padamrini pikir, anak sulungnya itu akan susah beradapatasi dengan keadaan yang bedanya bagai bumi-langit ini. Tetapi, justru dia lah yang pertama menyeka air matanya serta mengingatkan dirinya untuk tetap tegar.

“Mama jangan nangis terus, nanti kalau Mama sakit, Aku sama Aga gimana…?” Ucapan Asa yang di barengi ekspresi sedih itu membayang. Saat itu, ia langsung tersadar, bahwa mereka hanya punya satu sama lain.

Padmarini yang seorang yatim sejak lahir dan tanpa saudara, dan ibu yang juga sudah meninggal lama. Lalu keluarga Abhipraya yang malah malu dengan keadaan Ahipraya yang dari Direktur Perusahaan besar menjadi Narapidana. Hingga mereka tak mau tahu soal menantu dan cucu mereka yang hidup serba pas-pasan, serta di kejar-kejar oleh para Pembeli rumah, Kontraktor, dan Pemilik tanah.

Wanita berdaster warna kuning dengan motif kupu-kupu itu tersenyum penih menggingat semuanya. Diam-diam ia bangga bisa melewati semua itu. Ia sudah bertekad, apapun yang terjadi di depan nanti, ia harus kuat. Karena sekarang ia lah tempat anak-anaknya bersandar. Anak-anaknya hanya punya dirinya. Anak-ankanya harus tetap Bahagia.

Malam semakin larut. Bulan di balik jendela kamar anak-anaknya nampak bulat bersinar di kegelapan saat Padmarini menutup kordengnya. Ia berdiam sesaat di depan jendela dengan model yang sudah ketinggalan jaman dan pinggiran kayunya yang sudah kropos, lalu balik badan dan memandang dua anaknya yang sudah tertidur.

Padmarini berjalan pelan sembari memperhatikan mereka, kemudian duduk di pinggir ranjang. Untungnya udara malam hari ini sedikit dingin, sehingga Asa maupun Aga tak mengeluh kepanasan dan tadi cepat pulas.

Ia usap kening Aga yang berkeringat. Terbesit perasaan nyeri di ulu hati melihat wajah polos anaknya yang tidur dengan hanya memakai baju dalam tanpa lengan dan celana pendek di atas lutut. Anak keduanya itu yang paling tersiksa pasca mereka pindah rumah. Dia tidak kuat panas. Hampir seluruh tubuhnya sampai ruam-ruam. Paling parah di bagian leher dan punggung, dan ia tak berhenti untuk tidak mengaruknya meski sudah di larang. Setiap berkeringat, anak itu akan menangis dan berteriak, meminta supaya Kembali ke rumah mereka yang lama.

“Mau pulang, mau pulaaangg..! Di sini panas, rumahnya jelek, nggak ada Ac!” Padmarini teringat Aga yang berteriak sambil gulung-gulung di lantai sembari menggaruki lehernya yang biang keringat parah.

Padamrini mengusap air matanya yang hampir mengalir. Lalu ia belai lagi kening anak bungsungnya yang masih tetap terlelap. Maaf ya, saat ini cuma ada kipas angin. Tapi, Mama janji akan segera membelikan AC. Supaya Aga dan Kakak tidak kepanasan. Kedua mata wanita itu terlihat berkaca-kaca di keremangan kamar tidur.

“Mah,” panggil Asa tiba-tiba.

Padmarini kaget dan reflek melihat ke sumber suara. Karena terlalu focus dengan Aga, ia tak memperhatikan Asa yang berbaring di samping adiknya.

“Mama kenapa nangis lagi? Kangen Papa, ya..?”

Pertanyaan yang membuat Padmarini segera tersenyum sambil diam-diam menyeka air matanya. “Asa kenapa belum tidur? Mama pikir Asa sudah tidur.” Ia bangkit berdiri dan gentian duduk di pinggir ranjang bagian Asa berbaring.

Anak laki-laki sepuluh tahun itu cuam termenung. Suara kipas angin yang di letakkan di sudut ruang terdengar keras. Mungkin karena malam sunyi, serta taka da yang bicara di antara mereka.

“Capek ya, seharian jagain adek.” Padmarini mengusap rambut Asa yang menutupi kening. “Besok kalau Mama dapat uang, Kakak mau apa?” tanyanya untuk mengalihkan pertanyaan anaknya tadi.

Asa menoleh ke arah ibunya. Ia pandangi wajah wanita yang telah melahirkannya itu dengan tatapan lembut tapi sedih. Tatapan yang sulit di ungkapan dengan kata, hanya hati yang bisa merasakannya. Seperti hati Padmarini yang serasa pilu di pandangi seperti itu.

“Kenapa, Kak? Kakak mau sesuatu?” ia mencoba bertanya dengan bibir menyunging senyum.

Asa masih diam, lalu tertunduk, kemudian melihat ke langit-langit kamar. Dan Kembali menoleh ke arah ibunya. “Papa kapan pulang…?” ucapnya perlahan.

Tanpa sadar Padmarini membulatkan kedua mata. Asa masih menatapnya, menunggu penjelasan darinya. Suasana seolah hening, padahal suara kipas angin itu sungguh berisik. “Bukannya Asa Sudah tahu kalau Papa kerja.” Ia berkata beberapa saat kemudian.

Asa tertunduk dengan raut lesu. “Kenapa kerjanya sampai berbulan-bulan nggak pulang? Apa Bos nya Papa galak…?” tanyanya tanya mengharap jawaban.

Padmarini meneguk ludah dalam-dalam. Jantungnya berdebar lebih kencang. Ia takut kebohongannya terbongkar. Memang, mau tak mau suatu saat anak-anaknya akan tahu akan keadaan Papa mereka yang di penjara. Tetapi, itu nanti dan bukan sekarang. Ia tak mau merusak mental mereka. Sebab yang mereka tahu Papanya adalah yang terbaik. Dan seorang yang masuk penjara adalah penjahat. Akan bagimana pemahaman mereka, jika tahu Papa kesayangannya masuk penjara?

Mendadak kepala Padmarini ikut pening.

“Mah?” Asa bangkit dari tidurnya karena si ibu memegangi kepalanya. Tapi, Padmarini segera menengkannya dan menyuruhnya Kembali berbaring.

“Mama tidak apa-apa.” Ia tersenyum.

Asa bergeming sembari memandangi dirinya.

“Pekerjaaan Papa hanyalah masih sangat banyak, makanya belum bisa pulang. Kalau sudah selesai, pasti nanti Papa pulang sendiri dan kita bisa berkumpul seperti dulu lagi.” Padmarini menjelaskan sambil tersenyum lembut.

“Karena Perusahaan Papa bangkrut itu ya?” tanya Asa polos. Dan segera di iyakan oleh ibunya.

“Sudah, sekarang sudah malam, Kakak tidur ya..” Padmarini berkata seraya mengecup kening Asa. “Ingat, Kakak tugasnya hanya sekolah yang pinter, dan jagain adek kalau Mama ada urusan. Jangan memikirkan hal yang tidak perlu. Yang penting, kita selalu berdoa kepada Gusti Allah supaya tugas Papa cepat selesai dan bisa pulang.” Ia kembali tersenyum.

Asa mengiyakan sambil mengangguk. Lalu memejamkan kedua mata, saat ibunya menyuruh tidur. Kemudian wanita yang selalu nampak cantik di matanya itu keluar kamar dan menutup pintu.

Semoga Papa cepat pulang Ya Allah... Aku janji, akan dapat nilai seratus dan sholat nggak bolong-bolong. Asa memohon dalam hati.

Bab 5. Pertanyaan

Bersambung

Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa tap love dan tinggalkan komentar!
Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel