LARA HATI
Begitu sampai kamar tidurnya sendiri, air mata Padmarini tak terbendung. Ia duduk di pinggir ranjang sembari terunduk dan menutupi mulutnya dengan tangan agar suara tangisnya tak keluar. Hatinya sakit setiap anak-anaknya yang tanpa dosa menanyakan soal ayah mereka.
Bagimana jika Asa sampai tahu kalau Papanya di penjara…? Tanyanya dalam hati. Membayangkan raut terluka anakanya membuat dadanya serasa sesak. Anak pertamanya itu sangat mengidolakan Abipraya. Begitupun Abhipraya yang sangat menyayangi Asa, bahkan mungkin lebih di banding rasa sayangnya kepada Aga. Maklum saja, Asa adalah buah hati yang di tunggu-tunggu. Dahulu awal pernikahan mereka hidup susah pun dengan Asa. Asa juga anak yang baik, sejak kecil tak pernah rewel. Dulu ketika Asa lahir, suaminya berjanji, bahwa tak akan membiarkan Asa kekurangan seperti masa lalunya. Karena itu pula, Abhipraya bekerja mati-matian hingga mampu membangun Perusahaan besar yang bergerak di bidang property perumahaan.
Akan tetapi, sekarang itu semua hanya kenangan belakang. Abhipraya tak mampu memenuhi janjinya. Pria itu terlalu terlena dengan kesuksesaan, hingga di matanya hanya ada uang dan kehormatan. Waktu main bersama anak-anakpun nyaris tak ada. Sebab saat weekend, suaminya itu juga masih saja sibuk dengan ponsel dan urusan kerja.
Padmarini mengusap air matanya. Terkadang ia begitu marah kepada Abhipraya, sebab suaminya itu egonya begitu tinggi. Pendapatnya sebagai istri hanya di anggap angin lalu. Abhipraya selalu merasa paling benar. Mungkin bagi pria itu, dirinya tak ubah seperti karyawan yang juga harus tunduk dan patuh atas titahnya. Pernah di tahun-tahun terakhir sebelum semua ini meledak, ia menuntut cerai karena tidak tahan dengan sikap Abhipraya yang hanya terforsir di pekerjaan.Nyaris taka da waktu untuk keluarga. Untuk sekedar mengobrol sebelum tidurpun, Padmarini tak pernah ada kesempatan. Keterlaluan kalau di pikir, tapi begitulah suaminya yang workaholic. Atau jangan-jangan, Abhipraya bersikap seperti itu karena Perusahaan yang di ambang kehancuran, tetapi memilih menyembnyikan semua darinya?
Wanita itu tertunduk sembari memegangi kepalanya yang terasa berat. Sebenarnya di anggap aku oleh Mas Abhi? Hanya teman tidur yang jika butuh datang, dan jika sudah selesai pergi? Kemana Mas Abhi yang dulu hangat? Tempatnya berkeluh kesah, yang mampu berperan sebagai suami, ayah dan juga kakak baginya. Batin Padamrini berkecambuk.
Tiba-tiba ponsel yang ia letakkan di atas nakas bergetar. Padmarini mengamati benda dengan layarnya yang bersinar itu dari kejauhan, lalu bangkit untuk mengambilnya. Nomor asing yang taka da dalam phone book nya. Kening wanita itu berkerut, sembari menduga-duga bahwa bisa saja itu adalah pembeli rumah, kontraktor atau pemilik tanah yang belum lunas.
Tidak. Batinnya menampik sendiri pemikirannya. Ini nomor baru. Dan hanya sedikit orang yang tahu. Lanjutnya dalam hati. Ia Kembali memperhatikan layer ponselnya dengan nomor asing yang sudah dua kali melakukan dua kali paanggilan.
Mendadak jantung Padmarini berdegub lebih kencang, saat menyadari bisa saja di grub orang tua siswa ternyata ada kerabat atau kenalan dari orang-orang yang mencarinya.
“Bagaimana ini…?” tanyanya sambil mengigit bibir bawah. Apalagi nomor asing tersebut tak berhenti menghubungi walau sudah tak di angkat sampai tiga kali.
Padmarini terduduk di pinggir tempat tidur. Hatinya resah, karena jika dugaanya itu benar, maka anak-anaknya harus pindah sekolah lagi. Dan bisa juga pindah rumah lagi. Hal yang melelahkan. Anak-anaknya juga harus adaptasi lagi. Terutama Asa, ia pasti tak akan mau berpindah sekolah lagi. Anak itu paling susah berinteraksi dengan orang baru di kenal. Masih Padmarini ingat, bagaimana di sekolah yang sekarang, dahulu Asa di bulli sampai uang sakunya di ambil. Asa bercerita padanya sampai nangis-nangis dan mengatakan tak mau sekolah di situ. Untungnya pembullian itu berhenti ketika ia melaporkan kepada wali kelas, dan sekolah bertindak tegas dengan pengancaman di keluarkan dari sekolah jika sampai terulang.
Bunyi whatsapp membuat Padmarini kembali melihat ke layar ponsel. Nomor asing itu mengiriminya sebuah pesan.
Selamat malam.
Maaf menganggu. Saya Rodra, Penyidik yang menanggani kasus suami ibu.
Besok jam sepuluh ibu di minta datang ke Polres.
Demikian bunyi pesan dari nomor asing tersebut.
Padmarini langsung menghela nafas lega. Ia pegangi dadanya yang masih bergemuruh. Sejak kapan ia jadi orang yang gampang overthingking seperti ini? Ia mengeluhkan diri sendiri.
Wanita itu segera mengirim balasan pesan dengan bahasa baku, yang intinya dia sudah di beritahu karyawan suami dan akan datang ke Polrestabes sesuai jam yang di tentukan.
Tak berapa lama tanda centang dua di sudut berubah warna menjadi biru, tanda bawa pesannya telah di baca oleh orang yang mengaku bernama Rodra tersebut. Padmarini mengamati layer ponselnya tersebut dengan seksama. Ia was-was dengan balasan pesan dari Penyidik tersebut. Akan tetapi, hingga dua menit berlalu tak ada pesan apapun lagi yang masuk.
“Sepertinya overthingkingku semakin parah…” Ia bergumam seorang diri, kemudian meletakkan kembali ponselnya ke tempat semula. Lalu berjalan ke meja rias, dan memandangi wajahnya yang pucat tanpa make up.
Padmarini meraba bawah matanya yang kini terdapat kerutan dan berwarna lebih gelap. Ekspresinya perlahan berubah sedih. Hebatnya tekanan yang di hadapi, membuat dirinya terlihat lebih tua hanya dalam tempo kurang dari lima bulan.
Sebenarnya jika boleh jujur, Padmarini sudah sangat telah menghadapi semua ini. Bertemu banyak orang yang memaki dan menyumpahi buruk kepada diri dan keluarganya. Kekhawatiran tak lazim yang sampai membuat perut mual saat bertandang ke Kantor Polisi dan menerima pertanyaan-pertanyaan yang ia sendiri tak tahu jawabnnya. Belum ketika harus hadir di Persidangan dan bertemu dengan perangkat hukumnya yang baginya seperti terror.
Padahal semala ini, ia hanya seorang wanita yang berkutat antara rumah-sekolah dan kadang kala tempat wisata. Raut Padmarini semakin berkerut membayangkan apa yang menunggunya besok di Polrestabes.
“Apa aku akan di pertemukan dengan Pembeli lagi…?” tanyanya pada diri sendiri. Kali terakhir ia di pertemukan dengan para Pembeli rumah itu di Polda. Mereka menyebutnya mediasi, agar laporan untuk suaminya bisa di cabut, yang otomatis hukumannya tak di perpanjang.
Waktu itu Padmarini masih awam. Ia masih syok dengan semua kejadian yang menimpangnya. Yang perlu di garis bawahi, Abhipraya tak pernah menceritakan apapun perihal Perusahaan. Ia polos dan menjawab apa adanya yang memang sudah tak punya apa-apa. Bahkan rumahpun sudah di ambil pihak Bank.
Namun, para Pembeli yang bertatus korban-korban penipuan suaminya itu tak percaya. Mereka terus menuntut uang mereka Kembali atau rumah di bangun sesuai perjanjian. Padmarini tentu saja tak bisa menyanggupi. Ia cuma bisa minta maaf dan menangis. Akan tetapi, para pembeli rumah yang terlanjur sakit hati tak menaruh kasihan terhadapnya.
Padamarini di maki-maki dengan kalimat paling kasar, serta membawa nama hewan, dan dari mereka ada yang menyarankan dirinya untuk jual diri supaya bisa mengembalikan uang mereka. Salah seorang istri Pembeli bahkan ada yang hendak menampar dirinya saking marahnya. Tapi, untungnya hal tersebut dapat di cegah.
Wanita itu menekan dadanya yang bergemuruh, agar lebih tenang sembari memejamkan kedua mata. Selang beberapa detik, ia menghela nafas panjang. Ia pandangi lagi wajahnya di cermin. “Aku ikut menikmati uang mereka. Jadi mau apapun yang terjadi, aku juga harus ikut bertanggung jawab.” Ia berkata seorang diri dengan kedua mata yang masih berkaca-kaca.
Bab 6. Lara Hati
Bersambung.
Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa tap love dan tinggalkan komentar ya!