Bab 3
Hari-hari setelah fajar berdarah itu terasa seperti sisa nafas terakhir sebelum badai baru. Tidak ada ancaman langsung, tidak ada surat misterius, tidak ada langkah senyap dari pemburu.
Tapi kami tahu… diam bisa berarti dua hal: akhir, atau awal yang lebih dalam.
Kael duduk di balkon tertinggi istana, membenamkan belati kembarnya ke dalam tong sarung ritual. Ia tak mengatakan apa-apa pagi itu. Tapi aku tahu, detaknya masih ada. Teratur. Lembut. Kadang memburu saat aku mendekat. Seperti jiwa yang baru belajar bernapas.
"Apa kau mendengar mereka?" bisikku saat duduk di sampingnya.
Kael tidak menoleh. "Suara langkah? Tidak."
"Bukan. Mereka. Suara yang hanya bisa kau dengar... setelah kau berhenti bersembunyi dari dirimu sendiri."
Kael menghela napas. “Aku mendengar semuanya sekarang. Bahkan yang seharusnya sudah lama hilang.”
Aku menggenggam tangannya. Dingin. Tapi tak lagi kosong.
“Aku ingin kau tahu,” lanjutku, “bahwa meskipun aku buta… aku bisa melihatmu dengan cara yang tak pernah orang lain lakukan.”
Ia menoleh padaku. Mata kelamnya bukan sekadar tempat gelap kini, tapi ruang dalam yang menyimpan cahaya kecil—lambat tumbuh, tapi nyata.
"Aku tahu," katanya.
Sementara itu, di reruntuhan timur jauh dari istana...
Seseorang membuka kembali perpustakaan kuno. Dindingnya terbuat dari tulang naga, dan lantainya—cermin sejarah yang merekam dosa masa lalu.
Ia mengenakan jubah emas retak, wajahnya ditutup oleh helm tanpa mata. Tapi dari tubuhnya menyembur aura yang lebih tua dari semua kematian.
Namanya, hanya satu yang tahu: Viseran, Arbiter Takdir yang Hilang.
Ia membaca naskah berdarah dari zaman Purba:
> "Jika satu dari Concordia Lux bangkit dalam wujud yang dicintai dunia kegelapan... maka takdir tidak bisa diam. Ia akan bernapas. Ia akan menolak penjara sejarah. Dan dunia akan berubah, bukan karena ditakdirkan… tapi karena dipilih."
Viseran mencelupkan jari ke naskah itu, lalu menunjuk ke peta langit.
"Kael... kau bukan anomali. Kau adalah sumbu."
Dan dengan satu gerakan tangannya, ia mengirimkan serpihan nasib—makhluk kecil seperti burung api yang terbuat dari takdir yang belum ditulis—menuju ke langit, menuju istana Kael.
"Jika dunia ingin bernapas, maka mari kita lihat... apakah jantung barunya cukup kuat untuk bertahan dari kehendak lama."
Kembali ke istana
Hari itu, saat kami sedang menyusun ulang taman, suara keras terdengar dari langit. Burung-burung nasib—bukan makhluk biasa—jatuh satu per satu, lalu terbakar menjadi simbol di tanah.
Kael berdiri cepat. Ia membaca bentuk itu.
Satu huruf.
Satu nama.
> Viseran.
Wajahnya menegang. "Ia seharusnya sudah hilang. Sudah dilupakan."
"Apa dia Dewa?"
Kael menggeleng. “Lebih buruk. Ia adalah Penjaga Salinan Dunia. Makhluk yang menulis ulang semua kenyataan saat dunia gagal menjaga arah.”
Aku tak paham seutuhnya, tapi aku tahu itu berarti satu hal: kita belum selesai.
“Apa yang akan dia lakukan?”
“Menawarkan pilihan—atau membakar semua yang telah kita pilih.”
Dan kali ini, aku menggenggam tangannya lebih erat. “Lalu kita pilih... bersama.”
Kael menoleh, lalu tersenyum. Satu sisi. Masih kaku. Tapi senyum tetaplah awal dari kepercayaan.
"Kita lawan takdir dengan detak."
Dan malam itu, kami mulai menulis pesan pada bintang-bintang—bahwa bahkan dunia yang lama pun harus belajar... untuk memberi ruang pada cinta.
Langit memucat saat fajar datang tanpa warna.
Tidak ada cahaya jingga. Tidak ada burung berkicau. Hanya embusan angin yang membawa aroma logam, seolah dunia sedang menahan napasnya sendiri.
Kael duduk di ujung tempat tidur, belati kembar tergeletak di meja. Tapi bukan senjata yang membuat matanya tak bisa terpejam—melainkan kata-kata Viseran, penjaga takdir yang seharusnya sudah lama lenyap dari dunia.
“Jika dunia ingin bernapas, maka kita uji seberapa dalam paru-parunya,” begitu katanya.
Dan Kael tahu, itu bukan sekadar ancaman. Itu tantangan terhadap keberadaan.
“Kael?” Suaraku membuyarkan lamunannya.
Ia menoleh. Rambutnya kusut, matanya merah, tapi detaknya… tetap.
“Aku takut padanya,” katanya perlahan.
“Padaku?” tanyaku, separuh bercanda, separuh cemas.
“Bukan. Takut pada kemungkinan… bahwa aku akan kembali menjadi apa yang dulu. Bukan karena dipaksa. Tapi karena aku memilihnya.”
Aku duduk di sampingnya, menyentuh dadanya yang kini berdetak. “Kael. Jika kau memilih kehancuran, aku akan ikut hancur. Tapi jika kau memilih berdiri… aku akan berjalan di sisimu. Bahkan di atas dunia yang tak lagi mengizinkan cinta.”
Ia menatapku.
Dalam.
Seolah mencari alasan untuk tetap menjadi dirinya.
Lalu ia tersenyum kecil. “Kalau begitu, mari kita berdiri bersama.”
Di pelataran sihir belakang istana
Luvien—penasihat sihir keluarga kami—muncul dari portal ungu gelap. Tubuhnya dibalut jubah penuh tanda bintang yang tak ada dalam peta mana pun.
“Aku sudah mempelajari pola burung nasib yang dikirim Viseran,” katanya tanpa basa-basi. “Setiap satu membawa satu fragmen dari naskah yang belum ditulis. Tapi jika dikumpulkan… mereka bisa menciptakan kenyataan baru.”
Kael menyipit. “Berapa yang harus dikumpulkan sebelum itu terjadi?”
“Enam.”
“Dan berapa yang sudah dikirim?”
“Lima.”
Aku menggenggam lengan Kael erat.
“Ada satu lagi,” bisikku.
Luvien mengangguk. “Dan serpihan terakhir itu… akan menuju padamu, Elvara.”
Aku membeku. “Kenapa aku?”
“Karena kau adalah bagian dari Concordia Lux. Tapi lebih dari itu—kau adalah jantungnya. Yang menyatu denganmu bukan hanya pecahan. Tapi kehendak.”
Kael berdiri cepat. “Kau bilang kehendak?”
Luvien mengangguk. “Viseran tidak ingin menghancurkanmu, Kael. Ia ingin memakainya—menggunakanmu sebagai pena terakhir untuk menulis ulang dunia, dengan Elvara sebagai tintanya.”
Darahku mengalir dingin.
Kael mendekat. “Tidak. Tidak akan terjadi. Tidak selagi aku bisa berdetak.”
Malamnya
Di taman belakang, cahaya sihir mulai membentuk pola di udara. Enam garis membentuk mata terbuka—simbol kuno milik Viseran. Dari tengah pola itu, serpihan takdir terakhir turun.
Tapi tidak dalam bentuk burung.
Melainkan dalam bentuk bayi.
Bayi yang menangis tanpa suara, dengan rambut perak dan mata hitam kosong—seperti cermin Kael dan aku.
Kael segera melangkah, tapi aku menahannya.
“Tunggu. Ini... bukan hanya ancaman. Ini... undangan.”
Dari langit, suara Viseran turun perlahan. Tidak menggema, tapi meresap.
> “Inilah dunia yang bisa kau miliki, Kael. Jika kau memilihnya. Dunia tanpa perang. Tanpa rasa takut. Tanpa sejarah. Kau, Elvara, dan anak itu… bisa hidup dalam halaman baru yang tak memiliki masa lalu. Tapi… hanya jika kau menyerahkan semua detakmu. Kembalikan hatimu pada diam.”
Kael membeku.
Aku menatapnya. “Jangan dengarkan.”
“Tapi Elvara…”
“Aku di sini. Aku nyata. Dunia tanpa masa lalu bukan dunia. Itu... penjara emas.”
Kael menunduk, menggenggam belati.
Lalu ia menatap langit.
“Viseran,” katanya tegas. “Jika kau ingin menulis ulang dunia, tulislah dengan tanganmu sendiri. Jangan pakai tubuhku. Dan jangan sentuh wanita yang membuatku ingin hidup.”
Langit bergetar.
Serpihan bayi di tanah mulai meleleh, berubah kembali menjadi fragmen sihir.
Dan suara itu mengeras.
> “Maka kau telah menolak kemurahan satu-satunya. Selamat datang... di perlawanan terakhir.”
Langit robek.
Dan dari celah itu, perpustakaan takdir—tempat Viseran tinggal—turun dari langit seperti kastil terbalik. Tangga-tangga melayang, pena-pena raksasa terhunus seperti tombak, dan ribuan lembar sejarah beterbangan seperti debu perang.
Kael menggenggam tanganku.
“Kau siap?” bisiknya.
Aku mengangguk. “Takdir hanya menulis. Tapi kita… yang memberi makna.”
Dan malam itu, kami melangkah maju.
Menuju kastil terakhir.
Untuk menantang pena yang menganggap cinta tak lebih dari kesalahan tulis.
