Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4

Di depan kami terbentang tangga udara yang tidak terbuat dari batu atau logam, melainkan dari lembaran-lembaran ingatan. Setiap pijakan berbunyi seperti bisikan, seolah setiap kenangan yang pernah kami tolak kini memanggil.

“Apa kastil itu nyata?” tanyaku pelan.

Kael menatap ke atas. "Ia nyata selama kita masih percaya pada apa yang pernah ditulis."

Langkah pertama terasa ringan. Tapi langkah kedua mulai menarik sesuatu dari pikiranku. Sebuah bayangan masa lalu, Kael berdiri dalam ruang gelap, membiarkan dunia terbakar agar Elvara kecil tidak dilukai.

“Apa kau lihat itu?” bisikku.

Kael mengangguk. "Tangga ini bukan hanya jalur masuk. Ini pengakuan. Jika kita tidak siap menerima luka kita, kita akan jatuh."

Tangga ketiga membawaku pada kenangan saat aku kehilangan penglihatan. Cahaya terakhir yang kulihat adalah tubuh ibu terangkat oleh semburan sihir. Setelah itu, hanya gelap. Tapi dalam gelap itu aku bertemu Kael. Dan dari gelap itu, aku belajar melihat tanpa mata.

Kami terus berjalan. Di belakang, Luvien membentuk mantra pelindung, membacakan doa dalam bahasa tak dikenal.

Tangga keempat memperlihatkan masa depan yang belum terjadi. Kael, duduk di singgasana tinta, matanya kosong, tubuhku membatu di sampingnya. Dunia di sekelilingnya bisu.

Aku hampir terhenti.

Namun Kael menggenggam tanganku, erat.

"Itu hanya kemungkinan. Bukan kebenaran."

Tangga terakhir berakhir di depan pintu yang tidak terkunci. Sebab pintu itu tak pernah dibuat untuk dikunci. Ia hanya terbuka untuk mereka yang sudah melepaskan ilusi tentang siapa yang benar.

Di baliknya, Perpustakaan Takdir.

Ruang itu bukan ruangan. Ia lebih seperti langit yang dibuat dari rak-rak tanpa dasar, terbuat dari kertas berlapis tinta cair yang hidup. Ribuan pena melayang di udara, menulis sendiri di atas halaman kosong. Dan di tengahnya, duduk Viseran. Wajahnya tetap tersembunyi di balik helm tak bermata, tapi aura kekal itu membuat tubuhku gemetar.

“Selamat datang di tempat di mana masa lalu tidak lagi bisa bersembunyi.”

Kael melangkah maju. “Katakan padaku apa yang kau inginkan.”

“Aku tidak ingin. Aku hanya menjalankan. Dunia ini terlalu penuh dengan pilihan, dan terlalu sedikit kesadaran. Maka aku hadir... untuk menghapus kelebihan itu.”

Aku melangkah di samping Kael. “Jika pilihan adalah kelebihan, maka cinta adalah kesalahan menurutmu?”

Viseran bangkit. Pena-pena melayang mendekat padanya, seperti tombak yang menunggu aba-aba.

“Cinta adalah suara paling keras dalam sejarah. Tapi bukan yang paling benar.”

“Bukan yang paling benar bagimu. Tapi bagi kami, cinta adalah alasan dunia ini belum selesai.” Kael meletakkan tangannya di dadaku. Detaknya tetap.

Viseran mengangkat satu jari. Langit perpustakaan berubah menjadi tinta. Pena-pena terangkat. Satu kalimat muncul di udara, dibentuk dari ribuan huruf menyala:

> "Detak Kael berakhir di halaman ini."

Kael berteriak, tubuhnya seperti ditarik ke dalam huruf-huruf itu.

Aku menjerit, menggenggamnya, tapi kekuatan itu terlalu kuat.

Luvien muncul dari balik pilar rak sejarah, membentuk segel di udara. “Aku buta akan cinta kalian. Tapi aku bisa melihat waktu.” Dengan satu mantra, ia memperlambat aliran huruf di sekitar Kael.

“Aku tak bisa menghentikannya lama,” katanya, wajahnya menegang.

Kael menatapku. “Jika aku lenyap… jangan ikut. Tulis halaman baru. Tanpa aku.”

Aku menggeleng. “Kau salah. Dunia tak pernah membutuhkan pahlawan yang mati. Dunia hanya butuh seseorang yang memilih untuk tetap bertahan... meski terasa tidak cukup.”

Tiba-tiba, dari dalam dadaku, cahaya muncul. Bukan sihir. Tapi sesuatu yang lebih dalam.

Liontin kecil milik ibuku, yang dulu hancur saat perang, kini menyala kembali.

Viseran membeku. “Itu…”

“Elvara,” bisik Kael. “Kau bukan hanya bagian dari Concordia Lux. Kau… Penjaga Makna.”

Dengan satu teriakan, aku menancapkan liontin itu ke tanah. Cahaya meledak ke seluruh perpustakaan.

Pena-pena terjatuh. Huruf-huruf terhapus.

Kael jatuh ke tanah, terengah. Tapi ia utuh.

Aku mendekapnya. “Selama aku masih bisa merasa… tidak ada yang bisa menghapusmu.”

Viseran berlutut. Tinta dari tubuhnya menetes seperti darah hitam.

“Kalian menolak naskah yang telah ditentukan. Maka tulislah sendiri... dan tanggung jawabnya.”

Kami berdiri. Di tangan Kael, sebuah pena baru muncul. Di tanganku, halaman putih terbuka.

Dan di halaman itu, kami menulis kalimat pertama.

Bukan tentang takdir.

Tapi tentang keinginan.

Tentang cinta.

Tentang seseorang yang buta, dan seseorang yang tak terlihat… tapi saling mengenal dalam gelap yang sama.

Pena itu tidak terbuat dari logam, kayu, atau sihir. Tapi dari sesuatu yang tak bisa direplikasi oleh mantra mana pun: kesadaran. Setiap ujungnya berdenyut pelan seperti detak jantung. Dan ketika Kael menggenggamnya, ia menggenggam lebih dari sekadar alat menulis. Ia menggenggam pilihan.

“Apa yang akan kau tulis?” bisikku.

Kael diam sejenak. Di sekeliling kami, lembaran-lembaran yang dulu ditulis oleh pena Viseran menggantung membeku di udara, seolah menunggu untuk ditantang.

“Aku tidak akan menulis akhir,” katanya akhirnya. “Karena dunia tak butuh akhir. Ia butuh kelanjutan.”

Tanganku menyentuh halaman putih di depanku. Lembut. Hangat. Seperti kulit dunia yang masih bayi.

“Aku akan menulis tentang pagi,” ujarku. “Tentang matahari yang tak semua orang bisa lihat, tapi semua orang bisa rasakan.”

Kael tersenyum. “Dan aku akan menulis tentang suara. Yang bisa memberi rasa pada senyap.”

Pena bergerak.

Kalimat pertama mengalir di atas halaman seperti aliran air di atas pasir yang belum disentuh jejak siapa pun.

> “Kami menolak menjadi tokoh dalam naskah orang lain.”

> “Kami memilih menjadi narator bagi takdir kami sendiri.”

Cahaya dari pena menyebar ke rak-rak takdir. Satu per satu, lembaran yang dulu hanya bisa dibaca kini mulai bisa dihapus, direvisi, atau dibakar sepenuhnya.

Viseran berlutut, helmnya retak. Untuk pertama kalinya, dari balik topengnya, keluar suara yang bukan ancaman—tapi nyaris menyerupai tawa kecil. Lelah. Menerima.

“Kalian menang… untuk sekarang.”

“Bukan tentang menang,” jawab Kael. “Tapi tentang tahu kapan berhenti menjadi korban dari cerita orang lain.”

Viseran menghilang perlahan, larut menjadi kabut hitam yang mengendap di antara halaman. Tidak mati. Tapi tak lagi jadi penjaga.

Kami berjalan keluar dari Perpustakaan Takdir.

Langkah kami ringan. Tapi dunia di luar terasa berbeda. Pohon-pohon tak lagi hanya diam, mereka berdesir dengan puisi. Sungai mengalir seperti syair, dan langit... tidak hanya biru. Tapi berlapis dengan warna-warna yang tidak pernah didefinisikan oleh manusia.

Luvien menunggu di gerbang.

“Jadi... dunia sudah ditulis ulang?”

Aku menggeleng. “Bukan ditulis ulang. Hanya... dibuka.”

Ia mengangguk, lalu menghilang ke dalam portal. “Kalau begitu, aku akan kembali ke wilayahku. Menjaga waktu agar tak jadi penguasa.”

Kael dan aku berdiri di ambang dunia yang belum pernah ada sebelumnya.

“Kau tahu,” katanya, “mungkin ini bukan akhir kita.”

“Bukan,” balasku. “Ini awal yang tidak pernah ditentukan siapa pun selain kita sendiri.”

Ia meraih tanganku.

Dan kami pun melangkah, bukan ke matahari terbit, bukan ke kejayaan, bukan ke legenda.

Tapi ke hidup. Sederhana. Tak sempurna. Tapi milik kami sendiri.

Dan pada malam yang sama, di antara taman-taman yang dulu hancur, kami tanam satu benih.

Bukan sihir.

Bukan simbol.

Tapi pohon kecil yang akan tumbuh seiring halaman-halaman baru kami isi.

Karena kadang, kisah terindah… tidak dimulai dari peperangan, atau ramalan.

Tapi dari seseorang yang buta, dan seseorang yang tak terlihat.

Yang saling menemukan… dalam gelap yang sama.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel