Pustaka
Bahasa Indonesia

Kau Yang Buta, Aku Yang Tak Terlihat

17.0K · Ongoing
Ashurakai07
13
Bab
3
View
9.0
Rating

Ringkasan

Aku dijuluki pangeran bodoh. Tidak berbakat sihir, tidak ahli strategi, dan bahkan tak dianggap sebagai ancaman oleh siapa pun. Tapi mereka salah. Aku hanya menyembunyikan semuanya—termasuk jantungku yang tak berdetak seperti manusia lain. Lalu aku dinikahkan dengan putri elf yang buta. Katanya, ia bisa mendeteksi kebohongan hanya dari suara detak jantung. Semua orang berpikir aku akan ketahuan. Tapi saat ia menyentuh dadaku untuk pertama kalinya… ia justru terdiam. “Kenapa aku… tak bisa mendengarmu?” Sejak malam itu, ia terus mendekatiku. Bukan karena cinta, tapi karena rasa takut. Karena bagi putri yang bisa membaca kebenaran… aku adalah satu-satunya yang tak bisa dibaca. Dan mungkin… aku bukan manusia yang seharusnya ada di dunia ini.

actionFantasiPetualangan

Bab 1

Hari itu langit mendung. Tapi bukan karena hujan. Seolah awan pun menahan napas saat aku berdiri di altar, mengenakan pakaian upacara yang terlalu berat untuk orang sepertiku. Aku bukan siapa-siapa. Setidaknya, itulah yang selalu mereka bilang.

Pangeran Bodoh. Pangeran Tak Berguna. Pewaris yang tak bisa membaca, tak bisa sihir, tak bisa... apapun.

Tapi mereka salah.

Aku bisa satu hal. Menyembunyikan segalanya.

Bahkan dari seorang elf buta yang bisa mendeteksi kebohongan dari detak jantung.

Itulah sebabnya mereka memilihku. Mengirimku seperti hadiah beracun ke pernikahan diplomatik yang dirancang agar gagal.

Putri itu, katanya, tak bisa melihat. Tapi setiap orang yang berbohong di hadapannya akan terbakar dalam suara mereka sendiri. Ia bisa mendengar denyut, ritme, kecepatan — kebenaran dan kepalsuan tak bisa disembunyikan darinya.

Tapi aku?

Detak jantungku... tak pernah terdengar.

 

Ia datang dengan langkah pelan. Gaun putihnya menyapu lantai batu. Rambut keperakannya menjuntai lembut, dan mata itu... meskipun kosong, terasa seperti bisa melihat tembus ke dalam kepalaku.

"Namamu?" tanyanya pelan. Suaranya seperti kabut.

"Kael," jawabku. Suara yang kulatih agar tak goyah. Tetap datar. Tak bergetar.

Ia diam. Lalu mendekat.

Tangan kanannya terangkat, menyentuh dadaku. Tepat di atas jantung.

Senyap.

Aku bisa merasakan kebingungannya. Tapi ia tak menunjukkannya. Hanya menatap lurus ke arahku, seolah mencari sesuatu di ruang kosong.

"Aku tak bisa mendengar apa-apa darimu," ucapnya akhirnya.

"Itu biasa terjadi," jawabku. Lelucon kecil, bahkan kalau itu terasa getir.

Para bangsawan di sekitar mulai berbisik, tapi tak ada yang bisa membatalkan pernikahan ini. Ikrar telah ditetapkan. Alasan mereka sederhana: jika sang putri tidak bisa mendeteksiku, maka aku bukan ancaman.

Mereka benar dan salah dalam waktu yang bersamaan.

Karena aku adalah ancaman. Bukan untuk mereka. Tapi untuknya.

 

Malam pertama kami sepi.

Ia duduk di balkon, menatap angin. Aku duduk di lantai, membenamkan tangan ke perapian dingin, hanya agar tubuh terasa nyata.

"Kenapa kau tidak bicara?" tanyanya pelan.

"Aku tidak tahu harus bicara apa."

"Lelaki biasanya gugup saat malam pertama. Tapi detak jantung mereka tak bisa berbohong. Kau... sunyi sekali."

Aku menoleh. Ia tidak melihatku, tapi ia bisa merasakanku.

"Karena aku belajar hidup dalam diam," jawabku jujur.

Ia tertawa kecil. Suara itu... aneh. Bukan karena ia mengejekku, tapi karena aku tak tahu harus merasa apa saat mendengarnya.

"Diam kadang lebih jujur daripada kata-kata."

Kami tidak tidur di ranjang yang sama malam itu. Tapi keheningan kami terasa lebih padat dari ucapan manapun. Ia tak tahu siapa aku sebenarnya. Dan aku... tak tahu kenapa aku tak ingin menyakitinya.

Padahal itu tugasku.

 

Di luar, dunia menganggapku boneka.

Di dalam, aku menyembunyikan sesuatu yang bahkan tak bisa dimengerti oleh manusia atau elf.

Kekuatan yang tidur. Kekuatan yang tak bisa dideteksi. Kekuatan yang... jika bangkit, bisa menghancurkan kerajaan ini.

Dan kini, satu-satunya orang yang mungkin bisa membacaku... tidak bisa mendengarku.

Aku seharusnya merasa lega.

Tapi mengapa aku malah takut... kalau suatu hari nanti dia akan mendengarku juga?

Dan saat itu datang, akankah dia tetap memilih tinggal di sisiku?

Sudah seminggu sejak pernikahan kami. Istana tempat kami tinggal terletak di perbatasan barat, jauh dari pusat kerajaan manusia dan hutan leluhur kaum elf. Sebuah tempat netral — atau itulah yang dikatakan semua orang. Tapi tak ada yang benar-benar netral di dunia ini. Termasuk aku.

Setiap pagi, aku bangun lebih dulu, duduk di ruang latihan, memegang pedang yang tidak pernah kupakai di depan umum. Mereka bilang aku tak bisa bertarung. Aku membiarkan mereka percaya.

Di lantai atas, istriku — Elvara — sedang menyusun ramuan. Telinganya yang runcing menyimak udara, dan langkah kakinya selalu tepat, seolah ruangan telah ia hafal dalam satu kali sentuh.

Ia tidak pernah menanyakan asal-usulku. Tapi dia selalu mencoba membaca sesuatu dari suaraku. Aku tahu. Karena tiap kali aku bicara, ia akan mendekat... dan menunggu. Menunggu denyut jantung yang tak pernah datang.

 

Suatu pagi, ia turun membawa sebuah lonceng kecil dari logam elf. Dikatakan, logam itu beresonansi dengan emosi. Semakin dalam rasa seseorang, semakin keras ia berbunyi.

Ia meletakkannya di meja di hadapanku. "Aku ingin tahu... apakah kamu benar-benar hidup."

Aku terdiam. "Apa maksudmu?"

"Orang mati tidak berdetak. Tapi mereka juga tidak bernapas seperti kamu. Tidak bicara seperti kamu. Kau... berada di antara keduanya."

Tanganku refleks mengepal. Tapi aku tidak bisa marah. Karena ia tidak mengatakan itu dengan tuduhan. Ia benar-benar bertanya. Dengan ketulusan.

Aku mendekatkan tanganku ke lonceng itu. "Jika ini bisa membuktikan sesuatu, silakan."

Elvara tersenyum tipis. "Aku ingin percaya kau nyata, Kael. Tapi aku tidak bisa... mendengarmu."

Saat jemariku menyentuh logam itu, tak ada suara.

Tapi kemudian, Elvara mencondongkan tubuhnya. Tangannya menyentuh pinggangku, mencari arah napas, mengukur suhu kulitku. Ia membisik pelan,

"Aku tahu kau tidak bohong saat kau bilang tak tahu harus bicara apa. Tapi... hatimu seperti ruang kosong. Dan itu membuatku takut."

 

Malam itu, aku pergi ke menara belakang. Tempat yang jarang dimasuki siapa pun. Aku membuka lapisan tanah dengan telapak tangan, memperlihatkan lingkaran sihir yang telah kupasang sejak hari pertama datang ke sini.

Segel lama. Warisan dari ibuku — wanita yang dibakar karena melahirkan sesuatu seperti aku.

Di tengah lingkaran itu, kutaruh sebilah belati pendek. Benda itu menahan kekuatanku agar tidak meledak. Tapi malam ini... aku merasa rapuh.

"Kenapa aku tidak bisa membiarkan dia pergi?" bisikku sendiri.

Bayangan Elvara muncul di benakku. Wajahnya. Suaranya. Cara dia duduk tanpa ragu di sisiku. Cara dia tak pernah menyentuhku tanpa alasan. Semua begitu... lembut. Dan itu... menyakitkan.

Karena aku bukan orang yang bisa membalas kelembutan.

 

Keesokan harinya, saat aku turun ke halaman belakang, Elvara sudah di sana lebih dulu.

Tangannya menyentuh bunga liar yang baru tumbuh. Ia membelakangiku, tapi berkata, "Kau berdiri terlalu diam. Seperti... sesuatu yang pernah kutemui di masa lalu."

"Apa itu?"

"Bayangan. Yang hanya bergerak saat tak dilihat orang."

Aku mendekatinya. Tapi kali ini... aku tidak ingin diam. Aku ingin bicara.

"Aku... dilahirkan dari dua dunia. Manusia dan sesuatu yang tidak disebutkan di kerajaan. Mereka bilang aku kutukan. Tapi aku tidak pernah diminta untuk dilahirkan."

Elvara menoleh. Ia tidak tersenyum. Tapi tidak juga takut.

"Aku buta. Tapi aku tidak tuli. Dan aku tahu... detakmu mungkin sunyi, tapi rasa takutmu bergemuruh."

Aku menghela napas.

"Kau takut padaku?"

"Tidak. Tapi aku takut... jika suatu hari kau memilih pergi tanpa memberi suara."

Itulah pertama kalinya aku merasa... hening itu menyakitkan.

Aku menatap wajahnya yang selalu tenang. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku ingin jantungku berbunyi. Ingin dia mendengarnya. Agar dia tahu... aku benar-benar ada.

Agar dia tahu... aku mulai mencintainya.