Bab 2
Malam itu, aku kembali duduk di ruang latihan. Tapi bukan untuk menyembunyikan kekuatan. Melainkan untuk mendengarkan diriku sendiri.
Ada sesuatu yang berubah. Bukan di luar, tapi di dalam.
Biasanya, kesunyian adalah tempat ternyaman. Tapi sekarang... ia terasa seperti dinding yang menghalangi suara yang ingin kudengar. Suara Elvara. Suara yang terus menungguku untuk bicara dengan jujur, dengan hati, bukan hanya mulut.
Aku tak tahu apa yang lebih menyakitkan: menjadi monster yang tak dikenal, atau manusia yang tak bisa mencintai seperti seharusnya.
Pagi berikutnya, Elvara duduk di tepi jendela ruang makan, mendengarkan suara angin. Jemarinya bergerak perlahan di atas permukaan cangkir teh. Ia tahu aku di sana. Tapi tidak menoleh.
“Kau tidak tidur,” katanya lirih.
“Tidak,” jawabku.
“Kau memikirkan sesuatu?”
“Ya.”
“Lalu kenapa kau tidak mengatakannya?”
Aku menarik kursi dan duduk di seberangnya. Suara kayu menggesek lantai tua.
“Elvara… kalau aku bilang aku ingin kau takut padaku, kau akan percaya?”
Ia mengangguk pelan. “Ya.”
“Kalau aku bilang aku ingin melindungimu, kau akan percaya?”
Ia kembali mengangguk. Tapi kali ini… matanya berkaca.
“Masalahnya bukan apa yang kau katakan, Kael. Tapi bahwa aku tak bisa membedakan mana yang nyata. Karena kau… sunyi. Dan dalam kesunyianmu, aku tak bisa membaca kebenaran.”
Aku memandang meja, dan tanganku—tangan yang bisa mematahkan besi, membekukan api, menghancurkan segel dunia bawah—bergetar kecil.
“Aku ingin kau tahu,” bisikku, “bahwa jika aku bisa memilih suara yang pertama kali terdengar dari dalam diriku... aku ingin itu suaramu.”
Elvara menatap ke arahku. Bibirnya sedikit terbuka. “Kau... terdengar lebih manusia sekarang.”
Aku tertawa kecil. “Mungkin karena aku akhirnya ingin menjadi satu.”
Hari-hari setelah itu, perlahan-lahan kami mulai berbicara lebih sering. Tidak banyak. Tapi cukup untuk menciptakan jarak yang hangat, bukan dingin.
Setiap sore, aku menemani Elvara berjalan di taman. Tangannya menggenggam lengan bajuku, langkahnya selalu ringan. Kadang ia bernyanyi—lagu dari hutan nenek moyangnya. Dan aku, untuk pertama kalinya, menyimak lirik dengan hati, bukan sekadar telinga.
Aku tidak tahu sejak kapan ia mulai memanggilku “Kael-ku.” Tapi ketika ia melakukannya, tubuhku selalu diam. Karena sesuatu dalam diriku terlalu hancur untuk merespon, tapi terlalu hidup untuk menyangkal.
Tapi dunia luar tidak tidur.
Suatu malam, suara sayap terdengar dari atas istana. Burung hitam pembawa pesan mendarat di balkon. Surat tertulis dalam tinta sihir jatuh ke lantai.
Aku membacanya dalam diam. Satu kalimat saja:
> “Waktumu hampir habis. Kami akan datang untuknya.”
Darahku mendingin.
Siapa pun yang mengirim surat itu… tahu siapa Elvara sebenarnya.
Dan mungkin, tahu siapa aku.
Keesokan paginya, Elvara memecahkan keheningan di meja makan.
“Kau gelisah.”
“Kau mendengarnya?”
“Aku merasakannya. Setiap kali kau mencoba menyembunyikan kekhawatiranmu, ruangan ini ikut menahan napas.”
Aku menatapnya. Tak ada cara untuk terus menipu.
“Elvara. Jika kau tahu siapa aku sebenarnya... apa kau masih akan tinggal di sisiku?”
Ia diam lama. Lalu menjawab, “Aku buta, Kael. Tapi aku tahu bentuk luka. Dan aku tahu siapa yang mencoba menutupnya sendiri.”
Aku bangkit perlahan, berjalan ke sisi lain ruangan, menarik rak buku dan membukakan dinding rahasia. Di baliknya, terpampang lingkaran sihir, simbol-simbol kuno yang bergerak perlahan seperti mata yang terjaga.
“Ini,” kataku, “adalah segel yang menahan bentuk asliku. Aku... bukan hanya manusia. Dan aku bukan hanya makhluk gelap. Aku adalah hasil dari eksperimen kerajaan. Anak yang dicuri dari rahim ibunya... dijadikan media bagi kekuatan yang tak bisa dikendalikan.”
Elvara melangkah mendekat. Dengan tenang. Tanpa ragu. Ia menyentuh dinding sihir itu dan bergumam, “Aku mendengar derak dalam ruangan ini. Tapi juga sesuatu yang lebih dalam.”
“Apa itu?”
“Kesepian.”
Aku menahan napas.
“Kael,” katanya perlahan. “Aku tidak ingin menyelamatkanmu dari dirimu sendiri. Tapi jika kau membiarkanku… aku ingin berdiri di sisimu. Bahkan saat kau menjadi bentuk terburuk dari dirimu.”
Aku ingin menjawab.
Tapi tak ada kata yang cukup.
Jadi untuk pertama kalinya dalam hidupku... jantungku berdetak keras.
Dan Elvara menoleh cepat.
“Kau... berdetak,” bisiknya.
Aku menatapnya. “Untukmu.”
Air matanya jatuh tanpa suara. Ia memelukku pelan, dan untuk pertama kalinya, tubuhku tidak kaku dalam pelukan siapa pun.
Karena aku tahu...
Aku sudah tak perlu lagi bersembunyi.
Tapi kami tak bisa lama hidup dalam tenang.
Tiga hari kemudian, langit merah.
Pasukan pertama dari utara datang. Penyerbu dengan armor sihir dan mata kosong. Mereka tidak mencari perang. Mereka hanya ingin satu hal: Elvara.
Tapi aku berdiri di gerbang.
Dan kali ini... aku tidak tak terlihat.
Aku nyata.
Aku Kael.
Dan siapa pun yang ingin menyentuhnya, harus melangkahi jantungku yang kini... telah belajar berbunyi.
Langit seperti luka yang terbuka.
Merahnya tidak berasal dari senja biasa, melainkan dari energi sihir yang menyelimuti langit perbatasan. Gerbang istana tempat kami tinggal memancarkan cahaya pelindung, tapi itu tidak cukup untuk menghadang yang datang.
Aku berdiri di depan gerbang, mengenakan jubah perang tua yang tidak pernah dipakai siapa pun dalam seratus tahun terakhir—bukan karena usang, tapi karena milik seseorang yang telah dihapus dari sejarah: ibuku.
Tanganku menggenggam belati perak kembar. Tak ada satu pun dari mereka yang tahu, benda kecil itu bisa memutus kontrak sihir tingkat tinggi. Tapi malam ini... aku bukan hanya pewaris iblis. Aku adalah perisai satu-satunya antara Elvara dan dunia yang menginginkannya mati.
Dari balik kabut merah, mereka datang.
Pasukan hitam. Baju zirah seperti kulit naga, wajah-wajah tak bernama tersembunyi di balik topeng bulat. Mereka tidak berjalan. Mereka melayang. Seperti roh yang dipaksa tetap hidup.
Di belakang mereka, satu sosok tinggi berdiri di atas bayangan kuda berekor api. Tongkatnya menancap di udara, bukan tanah.
Aku mengenal simbol itu.
> Divisi Penjagal Jiwa – satuan rahasia kerajaan manusia yang bahkan bangsawan takut menyebut namanya.
Kenapa mereka datang untuk Elvara?
Aku tak perlu waktu lama untuk tahu.
"Aku tahu kalian mengincarnya," kataku, keras. Suaraku bergema dari pilar ke pilar. "Tapi kalian datang terlalu terlambat."
Pemimpin mereka, bertopeng putih dengan retakan hitam di pipi kiri, mengangkat tangannya.
"Serahkan Putri Elvara. Ia memiliki bagian dari Concordia Lux. Kami hanya mengambil apa yang harus dikembalikan."
"Apa yang kau maksud dengan ‘Concordia Lux’?"
"Jantung cahaya. Bagian dari kontrak tua yang menghubungkan kaum elf dan manusia. Ia menyimpan satu pecahannya dalam darah."
Aku mematung.
Mata Elvara. Telinga tajamnya. Sensitivitasnya terhadap kebenaran...
> Itu bukan hanya kemampuan lahiriah. Itu pecahan kontrak kuno. Sebuah kesepakatan berdarah yang dibuat ribuan tahun lalu, sebelum perang besar memisahkan dunia sihir dan dunia biasa.
Dan jika mereka berhasil membawanya...
Tidak hanya Elvara yang akan hancur.
> Kedamaian antara dua dunia akan runtuh.
Aku mencabut belati.
"Kalau kalian ingin menyentuhnya… kalian harus membuatku tak berdetak lebih dulu."
Pemimpin pasukan mengangkat tongkatnya. Simbol di ujungnya menyala, membentuk jaring sihir yang membungkus langit. Ratusan mantra mulai jatuh seperti hujan—bukan cahaya, tapi bilah energi yang bisa mencabik tanah dan jiwa sekaligus.
Tapi aku tak mundur.
Tanganku terangkat. Tubuhku menghangat. Dan di saat pertama hujan mantra menyentuh tanah...
Aku membuka segelku.
Udara terbelah. Cahaya hitam—ya, bukan bayangan, tapi cahaya hitam murni—muncul dari pori-pori tubuhku. Dunia seolah berhenti bernapas.
Satu langkah.
Dua langkah.
Dalam waktu setengah detik, aku melesat ke depan, dan ketika aku mengayunkan belati ke tanah, gelombang energi membelah jalan. Separuh pasukan langsung terhempas mundur.
Sisa mereka mencoba bertahan. Tapi aku tak memberi waktu.
Aku menari di tengah medan tempur.
Setiap goresan belatiku memotong mantra.
Setiap ayunan tubuhku membuyarkan formasi.
Dan setiap detak jantungku… menggema lebih keras dari sebelumnya.
Di balkon atas, Elvara berdiri.
Ia tak bisa melihat. Tapi ia bisa... mendengar.
Dan malam itu—untuk pertama kalinya—ia menangis. Bukan karena ketakutan. Tapi karena jantung yang selama ini tak pernah terdengar... akhirnya berdetak, hanya untuknya.
Kael.
Suaminya.
Yang selama ini bersembunyi di antara dua dunia.
Kini berdiri di tengah api dan darah, menjadi sesuatu yang tidak pernah berani ia harapkan:
> Pahlawan yang tak terlihat… menjadi terang itu sendiri.
Pertempuran berlangsung sepanjang malam.
Satu per satu pasukan pemburu Elvara tumbang. Bahkan pemimpin mereka akhirnya melepaskan topengnya dan berkata, “Kau bukan manusia.”
Dan aku menjawab, “Aku adalah hal yang kalian ciptakan… tapi tak pernah ingin lihat tumbuh.”
Lalu kutebas tongkatnya.
Dan dengan itu, seluruh langit sihir... padam.
Fajar datang perlahan.
Langit masih menyimpan sisa merah darah. Tapi bumi… tenang. Elvara turun ke halaman, berjalan perlahan menujuku. Tubuhku basah oleh luka dan debu.
Tapi aku masih berdiri.
Ia meraba dadaku. Tangan kecilnya menemukan detak itu. Masih keras. Masih nyata.
“Kau terluka.”
Aku mengangguk. “Tapi aku hidup.”
Ia tersenyum. “Dan aku... akhirnya mendengarmu.”
Kami berdiri dalam senyap.
Tak perlu banyak kata.
Karena kadang... satu detak cukup untuk menyampaikan cinta.
Dan pagi itu, untuk pertama kalinya, istana kami terasa seperti rumah. Bukan karena damai, tapi karena kami memilih satu sama lain… bahkan saat dunia tidak.
