Sakit
Kau Hancurkan Hidupku
Bab 4
"Apa benar kamu pelakunya?" tanya Budiman dengan tatapan tajam. Tangannya terkepal sempurna hendak memukul untuk yang kedua kalinya namun urung karena Bayu dan Adjie menahannya.
"Pa…" Leon sendiri bingung dengan dirinya sendiri. Ia merutuki perbuatannya pada Zia yang dianggap keterlaluan hingga perbuatannya malam tadi membuat Zia terbaring tak berdaya. Ia memang Tak bisa mengontrol diri ketika melihat Zia tak berdaya dalam pelukannya hingga hal itu terjadi diluar kendali pikirannya.
"Papa tidak pernah mendidik kamu untuk menjadi orang bejat, Leon. Kamu harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu!" Seru Budiman.
Leon terdiam. Saat ini bukan waktunya untuk memberi pembelaan. Percuma. Budiman tak akan mendengar pembelaannya meski dia memohon sekalipun. Leon hapal watak papanya yang meski diam namun menyimpan amarah yang menakutkan seperti bara dalam sekam.
Budiman berlalu pergi diikuti Bayu dibelakangnya. Sedangkan Adjie mendapat perintah untuk berada disamping Zia hingga gadis yang belum genap sembilan belas tahun itu pulih.
"Leon, kenapa kamu tidak ikut pulang?" tanya Adjie. Ia masih berdiri menatap iba pada Zia, tak dihiraukannya pertanyaan Adjie. Dia berjalan menuju sofa dan mendudukan pantatnya. Ia mengusap pipi dan merasakan perih bekas tamparan Sang Papa. Lalu mengacak rambutnya asal. Ia bingung sekaligus menyesal dengan apa yang telah diperbuatnya semalam.
Dilorong rumah sakit Zena yang membawa perlengkapan untuk Zia berpapasan dengan Budiman. Lelaki itu tak mengenali Zena. Namun Zena tentu saja mengenal Budiman karena lelaki itu sering tampil dalam media dan berita di televisi.
'Itu kan pak Budiman, sedang apa beliau di rumah sakit ini?' gumamnya sambil menenteng paper bag lalu berbelok ke arah kantin rumah sakit untuk membeli minuman.
Zena lalu memasuki ruangan dimana Zia terbaring dan tertegun ketika ada seorang remaja seusia adiknya tengah duduk sambil menunduk di sofa dekat jendela. Ia menatap Leon sekilas lalu melirik kearah Adjie seolah meminta penjelasan.
"Dia Leon." Adjie berkata singkat. Zena hanya ber-oh ria tanpa berniat bertanya lebih jauh.
"Maaf kukira tadi tak ada tamu jadi aku hanya membeli dua minuman," tutur Zena sambil meletakkan satu cup minuman di meja.
"Tak masalah, berikan saja pada Leon," imbuh Adjie sambil tersenyum tipis. Zena meletakkan minuman di depan Leon, namun Leon mengabaikannya.
Zia mulai siuman. Ia membuka matanya pelan dan merasakan nyeri pada tiap inci badannya. Adjie, Zena dan Leon mendekat ke arah ranjang dan bertanya dengan khawatir, kecuali Zena tentunya. Perempuan dua puluh delapan tahun itu telah lama menyimpan kebencian pada Zia.
"Zia, kamu sudah sadar? Apa yang kamu rasakan?" tanya Adjie memastikan.
"Sakit .…" Zia terisak merasakan nyeri di seluruh badan.
"Aku akan panggil dokter." Adjie berdiri lalu melangkah keluar, sementara Zena yang berdiri di belakang Leon menyunggingkan senyum jahatnya dan merasa bahagia atas penderitaan yang Zia slami.
'Mam**s kamu, Zia," gumamnya lirih.
"Zia …" Leon berkata pelan. Perasaan bersalah memenuhi kepalanya. Namun demikian kata maaf yang seharusnya ia ucap malah tertahan di tenggorokan menyisakan beribu penyesalan.
"Pergi kamu, pergi! Puas kamu udah hancurin hidup aku, hah!" Zia menutup matanya tak sanggup menatap pada lelaki yang telah merenggut masa depannya.
"Maafkan aku, Zi," sesal Leon penuh arti.
Tak lama kemudian, Adjie masuk bersama perawat dan juga dokter yang langsung memeriksa keadaan Zia.
"Sebaiknya kalian semua tunggu di luar dan jangan membuat pasien tertekan." Sang Dokter memberi perintah yang dibalas anggukan oleh ketiganya.
Di luar ruangan, baik Adjie maupun Leon menunggu dengan gelisah kecuali Zena. Dari raut wajahnya saja ia nampak menikmati pesakitan yang dialami adiknya.
Tak lama dokter dan perawat keluar.
"Bagaimana keadaan Zia, Dok?" tanya Adjie dan Leon bersamaan.
"Pasien sudah diberi obat penenang sebaiknya hindari hal-hal yang bisa membuatnya tertekan." Adjie dan Leon menarik napas lega. Keduanya mengangguk setelah dokter memberi penjelasan.
"Kenapa Zia jadi begini, Om?" tanya Leon saat keduanya kembali duduk. Kembali ia menarik rambutnya kasar. Sementara Zena langsung masuk untuk menemui Zia. Bukan untuk menemani lebih tempatnya menikmati pesakitan gadis yang telah lama dibencinya itu.
"Kamu yang lebih tahu, kenapa malah bertanya!" sindir Adjie dengan wajah marahnya.
"Om, aku-"
"Puas kamu sudah menghancurkan seorang gadis yang tak berdosa, hm!" tukasnya. Meski Adjie baru saja mengenal Zia namun ia bisa merasakan bagaimana hidup Zia telah hancur akibat kebodohan Leon.
