Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Kehancuran Zia, Kebahagiaan Zena

Kau Hancurkan Hidupku

Bab 5

Zena memasuki ruangan tempat Zia dirawat. Ia mendekat ke arah ranjang dan membelai wajah Zia dengan ujung jari telunjuk. Sedikit menekan dari arah kening sampai dagu gadis yang selama ini ia benci, kemudian mendekat ke telinga Zia lalu berbisik.

"Kupikir dengan cara apa lagi aku harus membuatmu lebih hancur di depan mama, sekarang aku tak perlu bersusah payah, kamu hancur dengan sendirinya. Bahkan keadaanmu sekarang sangat mengenaskan, lebih buruk dari yang kubayangkan," ejek Zena dengan menyunggingkan senyumnya. Zia yang terlelap karena obat penenang tentu tak bisa mendengar. Berbeda dengan orang yang berdiri di balik pintu, meski Zena bicara pelan dan cenderung berbisik, namun suaranya masih bisa didengar oleh Adjie.

Ekhem!

Adjie berjalan memasuki ruangan, membuat Zena yang menunduk dekat telinga Zia, langsung terlonjak. Ia menatap ke arah belakang dan mendapati Adjie tengah berdiri dengan wajah yang sulit diartikan.

"Anda …," imbuh Zena. Raut kaget tercetak jelas dari wajahnya.

"Ah, ya, saya hanya mau mengambil minuman," Adjie beralasan sambil berjalan ke arah meja kecil di samping tempat tidur Zia. Mengambil minumannya, lalu berjalan menuju sofa.

"Saya akan menunggu Zia disini jika anda tidak keberatan," lanjutnya seraya duduk.

Zena yang sejak pertama melihat Adjie sedikit terpesona dengan wajah tampan Adjie pun langsung mengangguk dan mengukirkan senyum manisnya.

"Silahkan, Mas-"

"Panggil saja Adjie," sahutnya memotong ucapan Zena.

"Eh iya, Mas Adjie, maaf kalau merepotkan," ujar Zena yang masih menatap wajah tampan di depannya. Wajah yang membuat hatinya tiba-tiba berdebar. Wajah tampan dengan rahang kokoh, dihiasi sedikit jambang dan lesung pipit yang ketika Adjie tersenyum semakin menampakan aura ketampanannya.

'Jika saja aku belum menikah, tentu aku akan dengan senang hati mengejarmu Adjie. Kau pria yang sungguh menawan,' Zena membatin.

Tak terasa sebuah senyum terbit begitu saja dari bibirnya membuat kening Adjie berkerut.

'Sudah puluhan kali aku melihat wanita berhati ular, dan ternyata salah satunya ada dihadapanku.'

"Kenapa mama anda tidak menemani putrinya, bukankah seharusnya ia menemani Zia saat ini?" pancing Adjie yang belum melihat kehadiran Lina kembali.

"Oh, mama sedang sibuk di kantor mas," Zena memberi alasan, matanya tak berhenti memandang wajah tampan Adjie. "Mungkin sore nanti mama akan datang kesini," lanjutnya lagi. Adjie langsung mengangguk dan enggan bertanya lagi.

Tak lama kemudian, sebuah panggilan masuk ke ponsel Adjie, tertera nama 'Pak Budiman' disana.

'Pastikan Leon tidak kabur, saat ini saya akan bertemu ibu gadis itu di kantornya.' perintah Budiman tanpa basa-basi.

"Baik, Pak." jawab Adjie lalu menutup sambungan.

*****

"Sayang, berhenti menggangguku, aku sedang bekerja." Lina yang tengah memeriksa file terganggu dengan kehadiran Wibowo, lelaki yang menikahinya 3 tahun lalu.

Wibowo membelai rambut Lina dan memainkannya lembut.

"Sayang, please belikan apa yang aku mau, ya?" pintanya penuh harap. Lina kehabisan akal, ia tahu suami mudanya itu takkan berhenti mengganggu, hingga apa yang diinginkannya terlaksana.

"Baiklah, kamu boleh membeli apa yang kamu inginkan, aku akan siapkan uangnya," balas Lina yang langsung menekan nomor sekretarisnya, lalu memberi perintah, membuat Wibowo tersenyum senang.

"Thanks, darling, you're the best." Lelaki itu terlonjak senang. Ia melingkarkan kedua tangannya dipinggang Lina dan memeluknya erat. Baginya, apa yang dia inginkan harus terwujud. Memiliki mobil sport keluaran terbaru adalah impiannya saat ini. Pekerjaanya di bidang marketing dengan gaji kecil tentu tak akan cukup untuk membeli mobil sport yang mahal. Jadi, jalan terbaik baginya adalah dengan merayu sang istri yang bergelimang harta. Dan seperti biasa, usahanya selalu membuahkan hasil. Lina pun sangat memanjakannya, hingga apapun yang Wibowo mau, Lina akan berusaha memberikannya.

"Everything for you, Baby." Lina berbalik ke arah Wibowo, tersenyum memuja, berharap mendapat kecupan lebih. Namun wibowo dengan sifat aslinya, sebisa mungkin menghindar dan menghentikan harapan Lina.

"Sayang, kita lanjutkan nanti, bukankah seharusnya kamu lebih mengkhawatirkan Zia saat ini?" kilahnya lalu mengurai pelukan.

Lina menarik nafas panjang. Baginya Zia adalah anak yang nakal, sulit diatur dan pembangkang.

Keadaan Zia saat ini adalah buah dari kesalahan Zia sendiri, pikirnya.

Dulu, Zia adalah anak baik dan penurut, tidak pernah sekalipun membantahnya. Namun semenjak SMA sikap Zia berubah menjadi pembangkang dan tidak betah berada di rumah membuat Lina geram.

Tiba-tiba pintu diketuk dari luar. Wibowo memiliki alasan bagus untuk meninggalkan ruangan Lina secepatnya.

"Baiklah sayang, aku pergi dulu," pamitnya tanpa pelukan maupun kecupan di kening Sang Istri. Di depan pintu, Desi bergegas masuk menemui atasannya setelah melirik sekilas kearah Wibowo.

"Ada apa, Des?" tanya Lina langsung.

"Anu, Bu, ada Pak Adhyaksa Budiman ingin menemui ibu segera," tutur Sang Sekretaris hormat.

Kening Lina berkerut.

Adhyaksa Budiman? Bukankah itu pemilik Budiman Group yang terkenal itu. Apa yang membuat lelaki pengusaha tambang terbesar di dalam negeri itu datang ke kantornya. Bukankah bisa saja beliau mengirim asistennya hingga tak perlu repot-repot untuk datang ke tempatnya.

"Bu, ibu tidak apa-apa?" sergah Desi yang melihat atasannya itu melamun. Saat ini Desi mengira jika Sang Atasan sedang banyak masalah.

"Maaf, Bu Lina?" kembali Desi bertanya.

"Ah, ya Desi. Saya akan segera menemuinya di ruang meeting," jawab Lina segera.

Tak lama orang yang tengah dipikirkannya itu berdiri di depan pintu sebelum Lina berdiri.

"Hallo, Bu Lina. Maaf jika kedatangan Saya kemari mengganggu anda," sapa Budiman basa-basi.

"Oh, tentu saja tidak, Pak Budiman, mari kita bicara di ruang meeting," ajak Lina segera.

"Tak perlu, saya rasa kita bicara disini saja, lagipula ini di luar urusan kantor," sergah Budiman. Lina mengangguk Ialu berjalan menuju sofa diikuti Budiman dan Bayu, pria berusia 26 tahun itu, setia mengekor di belakang.

Setelah keduanya bersalaman, Budiman mulai berbicara dengan serius.

"Sebenarnya, saya datang kesini khusus untuk meminta maaf atas kesalahan yang sudah dilakukan oleh putra Saya, Leon." Budiman menarik nafas panjang berharap Lina akan memaafkan kesalahan Sang Putra.

"Leon?" tanya Lina, keningnya berkerut tanda tak mengerti.

"Ya, dia putra saya. Leon yang telah melakukan tindak asusila pada Zia, putri anda." Budiman berkata pelan di akhir ceritanya. Karena apa yang disampaikannya tentu akan membuat Lina marah besar, dan ia telah siap dengan segala konsekuensinya, termasuk kemungkinan terbesar dengan menikahkan keduanya atau justru memenjarakan Leon.

Saat melihat raut wajah Lina yang terkesan biasa, lelaki berusia hampir menginjak kepala enam itu, sedikit heran.

Setelah beberapa saat, Lina bersuara.

"Sebenarnya, saya tak heran jika Zia mengalami hal seperti ini. Anak itu ...." Lina menghembuskan napas panjang, merasakan sesak dalam dada atas kekecewaannya dengan kelakuan putrinya selama ini. Bagi Lina, Zia menyandang gelar buruk dalam ingatannya. Jadi sudah sepantasnya jika Zia mengalami pelecehan.

Tanpa Lina ketahui ada alasan dibalik kelakuan Zia dibelakangnya.

"Jadi, apa yang harus saya lakukan untuk mempertanggung jawabkan semua ini. Sejujurnya saya merasa bersalah, saya tidak becus mendidik anak itu, saya siap jika seandainya Leon harus menerima akibatnya, dan saya juga akan bertanggung jawab sepenuhnya dengan masa depan Zia anak anda." Panjang lebar Budiman bercerita. Ekspresi Lina masih saja datar seolah-olah itu bukan masalah yang besar, membuat Budiman sedikit heran dan tak percaya dengan apa yang disaksikannya.

"Anda tidak usah khawatir, saya akan mengurus Zia dengan baik," tukas Lina enteng.

"Baiklah kalau begitu, silahkan hubungi saya jika anda membutuhkan bantuan." Budiman mengakhiri obrolan, keduanya bersalaman hingga akhirnya Budiman pamit undur diri.

*****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel