
Ringkasan
Zia, Seorang gadis remaja kelas 2 sekolah menengah atas yang mengalami tindak asusila yang dilakukan oleh temannya sendiri hingga membuatnya hamil.
Hancurnya Masa Depan
Kau Hancurkan Hidupku
Bab 1
Andrean melangkah cepat menuju ke dalam sebuah ruangan untuk mencari keberadaan temannya. Begitu tiba di sana, Andrean nampak kaget melihat keadaan Zia. Ia segera mendekat dan membangunkannya.
"Zia, bangun, Zi .…!" seru Andrean atau yang biasa disapa Dean, sambil menepuk-nepuk pipi seorang wanita yang dipanggilnya dengan sebutan Zia.
Keadaan Zia sungguh sangat menyedihkan, dengan badan hampir tak tertutup apapun, rambut acak-acakan dan beberapa luka memar di pipi dan kaki. Zia baru saja mendapatkan tindak asusila yang membuatnya kehilangan mahkotanya.
"Dimana aku, Dean? Kenapa rasanya sakit sekali?" tanya Zia, sambil mengerjap dengan kepala yang masih terasa sangat berat, dirasakannya pula badan yang seperti remuk.
"Kamu udah sadar, Zi?" tanya Dean lalu menyangga tubuhnya untuk duduk.
Sementara jaketnya ia gunakan untuk menutupi dada Zia, karena kancing bajunya terlepas dan menampilkan hal yang tidak semestinya ia lihat. Zia merasakan sakit di beberapa bagian badannya, termasuk bagian rahasia tubuhnya.
"Dean, apa yang terjadi denganku, katakan, Dean?" tanya Zia sambil mengguncang tangan Dean, berharap mendapatkan jawaban. Namun Dean hanya diam saja dengan wajah yang sulit diartikan.
Tiba-tiba bayangan Leon melintas di kepala Zia, Bukankah lelaki itu yang membawa dirinya saat kepalanya terasa pusing, setelah terakhir meminum jus yang diberikan temannya yang lain. Zia sebenarnya sudah berusaha melawan, namun malah pukulan dan tamparan yang Zlia terima. Itulah saat terakhir yang Zia ingat, setelahnya gelap tak mengingat apapun.
Huhuhu…!
Zia menangis histeris, merasa harga dirinya sudah jatuh ditangan orang yang tak bertanggung jawab.
"Dean, Aku tak akan memaafkan orang itu. Aku bersumpah!" seru Zia dengan tangisnya. Dean yang merasa ikut prihatin membawa Zia ke dalam pelukannya.
"Zia, kamu yang sabar, ya," hibur Dean, seraya mengusap lembut kepala Zia. Dean merasa kasihan pada Zia yang keadaanya nampak kacau saat ini, namun ia juga mengerti dengan perasaan Zia saat ini, setelah apa yang terjadi pasti hati wanita di sampingnya ini hancur.
Dengan kendaraan roda dua miliknya, Dean bermaksud mengantarkan Zia ke rumahnya. Sepanjang jalan Zia hanya menangis dan menyandarkan kepalanya di punggung Dean. Dean menarik tangan Zia agar memeluk perutnya, takut wanita yang diboncengnya akan melakukan hal yang tidak diinginkan, loncat dari motor misalnya.
"Dean, aku gak mau pulang," rengek Zia.
Keduanya saat ini sudah sampai di depan rumah Zia, rumah yang besar dengan pagar setinggi dua meter.
"Jadi kamu mau kemana? Ini sudah tengah malam, nanti mama kamu khawatir," ujar Dean, ia mengusap air mata yang mengalir di wajah gadis cantik ini.
Meski iba dan kasihan, namun Dean tak mau mengambil resiko dengan membawa Zia ke rumahnya, bisa-bisa ibu dan bapaknya menghajarnya dan Dean tak ingin itu terjadi, apalagi melihat keadaan Zia saat ini sudah pasti timbul banyak pertanyaan di benak orang tuanya.
"Dean ...," rajuk Zia, tampak bergeming di tempatnya, sementara tangisnya semakin menjadi.
"Sudahlah, Zi, Besok kita akan bicara lagi, sekarang masuk ya," pinta Dean yang dibalas anggukan oleh Zia.
Dean pergi setelah memastikan Zia masuk ke halaman rumahnya.
*****
Dengan langkah gontai, Zia memasuki rumahnya. Ia pikir mungkin keluarganya sudah tidur, jadi tak ada orang yang akan marah padanya. Karena saat ini Zia sedang tak ingin bicara dengan siapapun.
Saat memasuki kamarnya, Zia dikejutkan dengan kehadiran Sang Mama yang tengah duduk dan menatap tajam ke arahnya.
"Dari mana kamu? Kenapa tengah malam begini baru pulang?" tanya Sang Mama, ia menatap Zia dari atas sampai bawah. Kemudian menatap tajam pada jaket laki-laki yang anaknya kenakan. Amarahnya langsung memuncak seketika.
"Zia, jawab mama!" bentaknya pada saat gadis kelas dua SMA itu tak memberi jawaban.
"Ma, aku capek, Ma. Tolong biarkan Zia sendiri," mohon Zia pelan, yang masih didengar oleh Sang Mama.
"Zia!" teriak Sang Mama. Zia yang saat ini tak siap dengan omelan mamanya, memilih pergi ke kamar mandi yang masih di ruangan yang sama. Di sana ia meraung dan menangis histeris. Tak peduli meski mamanya Lina masih berada di sana. Karena Zia merasa selama ini Sang Mama tak pernah menyayangi dirinya.
"Ah …," teriak Zia, ia melemparkan sembarang alat-alat mandi yang berjajar rapi di atas nakas. Hatinya hancur, masa depannya juga, semua karena ulah Leon.
"Kenapa, Tuhan? Kenapa harus begini, kenapa harus aku, apa salahku ….," racau Zia, berkali-kali ia memukul-mukul dadanya yang terasa nyeri. Hatinya bertambah sakit dan isakannya semakin pelan.
Hingga beberapa saat ia merasa lelah karena terus menangis. Ia memejamkan matanya yang terasa lelah, sampai akhirnya duduk dan terlelap.
Di luar kamar mandi, Sang Mama merasa geram saat mendengar teriakan dan tangisan kencang dari Zia. Tangannya bahkan sampai mengepal.
"Dasar anak itu, makin hari makin kurang ajar dan sulit diatur!" Seru Lina, lalu pergi meninggalkan kamar anaknya dan menutup pintu itu kencang.
Sampai-sampai Zena keluar dari kamarnya dan menghampiri Sang Mama.
"Kenapa, Ma? Sepertinya mama kesal sekali?" tanya Zena, anak pertama Lina yang menatap heran ke arah mamanya.
"Gimana nggak kesal coba, makin hari Zia makin nakal dan susah diatur. Entah mau jadi apa nantinya anak itu," keluh Lina sambil menahan kesal.
"Sabar, Ma. Mungkin remaja emang gitu sifatnya," sahut Zena, berusaha meredam emosi mamanya. Padahal dalam hatinya ia tersenyum senang karena sangat membenci adiknya.
"Tapi waktu kamu remaja nggak gitu-gitu amat, kok. Ini malah sebaliknya. Bikin mama naik darah," sungut Lina berapi-api.
"Ya udah, mending sekarang Mama istirahat dan lupakan semuanya." saran Zena lalu merangkul mamanya.
"Iya, sayang, untung ada kamu. Makasih ya, selalu ada buat Mama," ucap Lina lembut.
Zena mengelus punggung tangan Lina, lalu tersenyum penuh kepalsuan.
