Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6

Sudah satu jam Dibyo duduk di kursi kebanggaannya. Kedatangannya ke kantor desa disambut dengan diam oleh perangkat desa lainnya karena lelaki itu pun hanya diam tidak menyapa. Muncul di tengah pintu, kemudian langsung mencari meja kerjanya sendiri.

Kebiasaan perilakunya menunjukkan rasa yang sedang menyelimuti hati. Jika hatinya sedang bahagia, maka wajahnya juga terlihat bersinar. Tapi kali ini suasana hati Dibyo sedang tidak enak sejak pagi tadi. Maka dari itu jangankan senyum, menyapa pun tidak.

Namun jangan salah, Dibyo juga bisa berubah wujud menjadi tokoh terkenal pewayangan jawa yang bernama sengkuni. Dia sangat pandai bersilat lidah dan mengadu domba. Sifatnya yang licik terdengar manis di lidah tapi busuk dalam hati. Karenanya, Dibyo bisa menjadi super baik di depan orang yang dibencinya, bahkan bisa menjadi musuh dalam selimut.

Istilahnya Dibyo ini bak seperi bunglon yang suka berpindah dari pohon satu ke pohon lainnya. Asal menguntungkan bagi dirinya, maka lelaki itu tidak masalah jika harus berubah-ubah warna. Yang penting bisa memberi keuntungan bagi diri sendiri. Tapi sifat ini diperuntukkan hanya bagi sesama jenis.

Lain lagi untuk lawan jenis, semuanya masuk asalkan punya lubang kecuali anak dibawah umur. Bahkan dia tidak memandang usia dan rupa. Sudah uzur pun asalkan Dibyo butuh, tetap dilahapnya juga. Yang penting hasrat birahinya tersalurkan sehingga tidak membuat pegal nan tersiksa pada bagian kemaluannya karena dia mempunyai kelainan hiperseks. Tak ayal, sifat ini lah yang bisa membuat seorang istri sakit hati.

"Ayo kita bersih-bersih area kantor balai desa. Sepertinya para bapak-bapak juga sudah siap. Mereka sudah datang dengan peralatan masing-masing," ajak bapak kepala desa kepada perangkat desa lainnya untuk memberikan pengumuman.

Semua perangkat desa pun berdiri, kemudian keluar kantor. Mereka siap menghambur pada warga masyarakat lainnya, khususnya bapak-bapak untuk bekerja sama dalam urusan kebersihan lingkungan.

Setiap hari jumat memang diagendakan bersih desa bagi bapak-bapak warga masyarakat desa. Tidak terkecuali untuk semua perangkat desa. Mereka semua wajib mengikuti kegiatan tersebut. Himbauan bapak kepala desa ini bertujuan untuk menciptakan desa yang bersih dan rapi sehingga nyaman untuk dihuni serta enak dipandang.

"Husstt," senggol Ikbal dengan lengannya setelah keluar ke halaman kantor balai desa. Perangkat desa satu ini sengaja menyenggol lengan Panji dengan menaik turunkan alisnya diikuti dengan bahasa tubuh yang berbeda.

"Apaan sih, Bal," jawab Panji berbisik sambil menoleh ke arah Ikbal dengan menyebut nama seperti biasa.

Antara Panji dan Ikbal memang teman akrab. Selain itu usia mereka hanya terpaut dua tahun. Jadi hubungan keduanya sedikit kental karena seringnya bercanda di antara keduanya. Meskipun masih dalam area kantor.

"Itu kenapa sih, Tuan Prabu? Yang lain keluar kebersihan kok dia hanya di dalam? Emang benar-benar raja, dia," sindir Ikbal dengan bibir manyun.

Tuan Prabu atau Pak Prabu, memang biasa digunakan Ikbal yang suka bercanda untuk menyebut nama lain seseorang yang ditujukan kepada Dibyo. Sebutan nama yang disematkan tersebut, bagi Ikbal adalah nama yang pantas karena melihat sifat Dibyo yang suka memerintah dan mau menang sendiri seperti seorang raja.

"Mana aku tahu, Bal. Dari pada kamu uring-uringan kepo begitu,mending tanya ke orangnya langsung deh," jawab Panji cuek. Lelaki itu malah fokus dengan sapu yang sedang dipegangnya. Selain itu, dia masih sakit hati kala mengingat ternyata Dibyo lah yang menjadi dalang dibalik kasus yang menimpa dirinya setahun lalu.

"Ogah banget aku nanya ke dia. Bisa-bisa kena semprot, ntar." Ikbal menjadi kesal sendiri mengingat kebiasaan yang dilakukan oleh Dibyo. Setiap harinya selalu main perintah bak seorang raja, dari jaman pemerintahan lurah periode lalu sampai periode sekarang ini. Tentunya, dirinya lah yang selalu menjadi bahan bulanan oleh carik angkuh itu.

"Ngomong-ngomong ... penampilan Pak Prabu kali ini sangat berbeda dari biasanya ya, Ji? Tertutup banget. Pakai baju koko, sarung tangan, pakai masker, lagi."

"Kali aja lagi nggak enak badan, Bal. Makanya pakai tertutup seperti itu," sahut Ikbal sembari menyapu halaman.

"Jangan-jangan sudah tobat, Ji."

"Tobat gimana maksudnya, Bal? Kamu itu kalau ngomong asal njeplak saja. Kalau pak carik dengar, bisa dicincang kamu nanti."

"Tobat main perempuan, Ji. Gitu aja pakai nanya."

"Kamu itu, Bal. Su'udzon terus kerjaannya. Perkataan buruk itu akan kembali pada diri sendiri nantinya. Kalau sifat itu berbalik nempel di kamu, tau rasa deh. Siapa tahu nanti Pak Carik mau ada acara, sekalian mau sholat jum'atan. Jadi nggak perlu ganti pakaian."

"Tau ah. Ngomong sama kamu nggak ada benarnya terus."

Panji ini selalu menolak jika Ikbal memberi penilaian negatif terhadap Dibyo. Padahal dia sudah mengerti kalau Dibyo lah yang membuat dia hampir kehilangan jabatannya.

Tapi begitulah sifat Panji. Selalu menerima dan mengalah. Tak ayal, dulu selalu dimanfaatkan Dibyo karena kebaikannya.

Pikiran Panji hanya satu, siapa yang menanam pasti akan menuai. Kalau dia tidak sanggup membalas perbuatan keji Dibyo, pasti suatu saat nanti akan ada tangan jahat yang membalaskan kejahatannya.

Untungnya masyarakat masih percaya terhadap kinerja Panji dalam masyarakat yang terkenal jujur serta anti korupsi. Karena kelicikan dan kelihaian Dibyo, Panji sempat mendapat tuduhan serta fitnah keji dan masuk dalam perangkap Dibyo.

"Oh ya, Ji. Kemarin kenapa tuh si Pak Prabu nggak masuk? Padahal kamu dan Pak Lurah masuk seperti biasa," tanya Ikbal selanjutnya.

"Aku juga nggak tahu, Bal. Sepulang dari penataran di kota kemarin, Pak Carik langsung pergi. Pamitnya pulang aja gitu. Aku hanya satu mobil dengan Pak Lurah."

"Siapa tahu mampir ke rumah istri mudanya, Ji. Denger-denger, Pak Carik punya istri baru, lho," sambar Ikbal langsung.

"Kamu tuh ya, Bal. Baru aja dibilangin, mulai lagi. Sudah kayak emak-emak saja. Jangan-jangan ... kamu ikutan ghibah bareng emak-emak, ya? Ikbal ... Ikbal." Panji kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya, heran terhadap Ikbal. Sesudahnya tertawa kecil karena mimik muka Ikbal sudah menyerupai emak-emak yang suka bergosip di pelataran rumah.

"Sembarangan kamu, Ji. Aku tuh nggak sengaja dengar dari kerumunan ibu-ibu yang sedang menggosip di tukang sayur tadi pagi. Pas banget waktu aku mau berangkat. Katanya Pak Carik punya istri baru."

"Ikbal ... Ikbal. Omongan ibu-ibu kamu percaya. Mereka itu memang senang bergosip. Tapi kalau ditanya buktinya, pasti mereka jawab katanya. Iya 'kan?"

"Siapa tahu benar, Ji. Nggak akan ada asap kalau nggak ada api," sanggah Ikbal.

"Sudahlah. Kenapa kita malah bergosip kayak emak-emak. Bisa-bisa kita nanti ketularan. Ayo kerja, nanti ditegur lho sama pak lurah. Tuh, pak lurah sedang jalan ke sini."

Ikbal seketika menghentikan pembicaraannya pagi ini tentang gosip yang sedang ramai dibicarakan oleh ibu-ibu mengenai pak carik, setelah Panji menghentikan dikarenakan pak lurah menghampiri keduanya.

"Pak Panji, Pak Ikbal, Pak Carik tidak ikut bersih-bersih?" tanya Pak Lurah setelah berada di hadapan keduanya.

"Kami tidak tahu, Pak," jawab Ikbal dan Panji bersamaan.

"Siapa tahu masih di dalam, Pak. Mungkin sedang tidak enak badan," lanjut Panji mengarang cerita karena dia memang benar-benar tidak tahu apa yang terjadi dengan Dibyo.

"Kalau begitu saya lihat dulu ke dalam."

"Monggo, Pak," jawab Panji dengan senyuman.

Sepeninggal Pak Lurah, keduanya langsung melanjutkan pekerjaan bersih desa tersebut agar cepat selesai karena kurang lebih satu jam lagi masuk waktu shalat jumat. Tanpa membahas lagi apa yang tadi Ikbal sampaikan.

Ikbal pun langsung mengikuti Panji yang sudah membawa sapu dan berpindah tempat. Tak lupa dia membawa korek api untuk membakar sampah yang sulit diuraikan.

Sementara itu, Pak Lurah benar-benar menghampiri Dibyo ke dalam kantor yang ternyata benar masih berada di meja kerjanya.

"Sibuk ya, Pak Carik?"

Pak Lurah tiba-tiba mengajukan pertanyaan tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu karena mengira jika Dibyo telah melihat kedatangannya.

Namun, ternyata Pak Lurah salah. Dibyo sungguh kaget karena sedang fokus. Juga, kedatangan pak lurah yang menurutnya sangat tiba-tiba.

"Eh, iya, Pak Lurah," jawab Dibyo sedikit kaget.

Sebelum Pak Lurah bertanya lebih lanjut, Dibyo berinisiatif untuk menerangkan alasan kenapa dia tidak mengikuti agenda bersih desa.

"Maaf, Pak Lurah. Saya tidak bisa mengikuti bersih desa seperti yang lainnya karena pekerjaan saya menumpuk. Semua berhubungan dengan penataran tiga hari kemarin, Pak Lurah," jelas Dibyo memberi alasan.

Padahal alasan sebenarnya dari Dibyo adalah karena masalah penyakit yang sedang dideritanya. Dia tidak mau kalau semua perangkat desa dan masyarakat lainnya menjadi tahu tentang penyakitnya. Tentunya mereka akan mengajukan banyak pertanyaan mengapa pakaian dirinya hari ini sangat tertutup.

"Kalau begitu tidak apa-apa, Pak Carik. Lanjutkan saja pekerjaannya," jawab Pak Lurah mengerti. Pemimpin desa itu sangat paham karena tiga hari Dibyo meninggalkan pekerjaannya dikarenakan dinas ke luar kota demi kemajuan administrasi desa.

"Maaf, Pak Carik. Apa Pak Carik sedang tidak enak badan?" tanyanya kemudian karena melihat pakaian tertutup yang dikenakan Dibyo.

"Oh iya, Pak Lurah," jawab Dibyo agak gelagapan. Ditambah lagi wajahnya yang langsung memerah dibalik masker yang menutupi sebagian wajahnya.

"Saya agak masuk angin, Pak Lurah. Karena itu sampai memakai sarung tangan dan masker segala," tambah Dibyo agar pak lurah tidak menanyakan pertanyaan selanjutnya.

"Oh, begitu. Jadi Pak Carik sakit, makanya kemarin tidak masuk? Sebenarnya hari ini tidak usah masuk juga tidak apa-apa, Pak Carik, kalau masih sakit."

"Tidak apa-apa, Pak. Ini sudah mendingan kok," bohong Dibyo untuk menutupi. Yang sebenarnya terjadi adalah sehari kemarin ia gunakan untuk acara lain.

"Kalau begitu saya tinggal dulu, Pak Carik. Silahkan lanjutkan. Saya mau keluar melihat keadaan," pamit Pak Lurah.

"Monggo, Pak Lurah." Dibyo menganggukkan kepala tanda hormat. Barulah lelaki itu merasa lega kala pak lurah sudah berjalan keluar.

Dibyo langsung meletakkan pekerjaannya. Sebenarnya pekerjaannya itu tidak membuatnya sibuk jika harus dikerjakan sedikit demi sedikit. Tapi demi menutupi agar dia tidak ikut acara kebersihan, Dibyo rela bersibuk ria agar tidak ada pertanyaan lebih lanjut dari pak lurah.

Setelah menyingkirkan laptop yang dia pegang tadi, diambil lah gawai yang sejak tadi berisik. Sepertinya ada beberapa notif pesan yang masuk dari aplikasi hijau.

Dibukanya aplikasi tersebut. Sempat matanya berbinar karena mendapat pesan dari seseorang. Akan tetapi mata itu teduh kembali saat melihat dirinya sedang dalam keadaan mendapat penyakit aneh.

Namun, rasa penasaran tetap menghantui jika Dibyo tidak membuka pesan tersebut. Hingga akhirnya lelaki itu membuka pesan dari orang-orang yang menurutnya spesial di hati satu persatu.

Pertama kali Dibyo membuka pesan dari Riyanti, sang guru TK yang super seksi dan bahenol.

[Pak, mana oleh-olehnya dari kota? Saya tunggu hari ini.]

[Pokonya kita ketemu hari ini! Aku sudah kangen lho sama Bapak, sudah empat hari tidak ketemu.]

Dua pesan telah dibuka dari satu pengirim. Pesan terakhir bahkan diikuti dengan emoji wajah tersenyum sok imut yang disertai dua bongkah hati. Pesan ini juga sempat membuat hati Dibyo melayang disertai dengan pikiran kotor.

Pesan selanjutnya yang dibuka oleh Dibyo adalah pesan dari profil wanita cantik berhijab. Dia adalah seorang kepala sekolah PAUD di desanya.

Wanita ini yang membuat hati Dibyo bercabang dua meskipun sudah berumah tangga dengan Retno. Selain itu Dibyo juga mempunyai kenangan indah yang tak bisa dilupakan.

[Jangan lupa oleh-olehnya lho, Pak. Saya tunggu.]

[Kapan kita check in lagi?]

Ah, hati Dibyo langsung berdesir aneh. Seakan sedang merasakan jatuh cinta pada pertama kalinya. Memikirkan kenangan bersama Kinanti, membuat dia seketika lupa kalau dia sedang dilanda penyakit yang datang secara tiba-tiba.

Secara, Kinanti adalah mantan terindah bagi Dibyo. Meskipun bukan cinta pertamanya, tapi kenangan bersama Kinanti ingin dia ulang kembali.

Pesan yang ke tiga masih tentang seorang wanita dengan foto profil yang cantik pula. Namun, kali ini cantiknya seakan dibuat-buat agar terlihat fotogenik.

[Oleh-olehnya dong, Pak. He he ....]

Dibyo hanya dibuat tersenyum kecil oleh wanita yang suaminya satu kantor dengan dia. Pasalnya antara Dibyo dan suami dari Winda ini adalah partner dalam berbisnis.

Dari cara bicara pada saat berhadapan dengan Dibyo, sepertinya Winda ingin menjadi wanita spesial di hati seorang Dibyo.

Sedangkan pesan terakhir yang akan dia buka adalah dari wanita yang setiap minggunya selalu bisa membuat Dibyo enggan pulang ke rumah. Padahal di istananya sudah ada Retno yang selalu menunggu kedatangannya.

Namanya Kumala. Dia adalah cinta pertama Dibyo yang terhalang restu orang tua hanya karena status sosial.

Antara Kumala dan Retno, keduanya sama-sama lihai dalam hal masak-memasak. Bedanya jika Retno hanya menjadi koki untuk dihidangkan di keluarga kecilnya, sedangkan Kumala memiliki warung kecil yang ia gunakan sebagai usaha untuk menjadi mata pencahariannya.

[Mas, kemarin Ayu memberi kabar. Kapan Mas akan menemui Ayu di pesantren?]

Memang hanya satu pesan, tapi kalimat itu serasa menohok dan membuat Dibyo kelimpungan. Dia tidak mungkin menemui Ayu di pesantren karena selama ini Dibyo belum siap berhadapan dengan wajah gadis belia tersebut jika harus bertatap muka dengannya.

Memikirkan Ayu, seketika Dibyo menjadi benci terhadap Kumala. Mengapa wanita itu tidak bisa memegang janjinya.

"Kumala!" gertak Dibyo dengan mengepalkan tangan kuat. Setelah itu dia sempat meremas kertas kosong di depannya sebagai pelampiasan.

"Ah! Dari pada aku harus pusing dan tegang soal Ayu dan Kumala, lebih baik aku cari jalan lain."

Masalah penyakit aneh yang begitu cepat menyebar, ditambah soal Ayu, ternyata menjadikan hipotalamus dalam otak menjadi tegang. Karena itu Dibyo akhirnya mencari jalan pintas dengan mengirim pesan pada Riyanti.

[Kita ketemu setelah jam kantor bubar. Aku akan menjemputmu di parkiran seperti biasa.]

Pesan terkirim tapi masih centang dua abu-abu. Kini Dibyo tinggal menunggu waktu menuju jam 11.00. Rasa kesal yang menyebabkan tegang dalam dirinya, rasanya ingin segera mendapat pelampiasan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel