Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5

Semua yang sedang berkerumun pun menoleh ke arah Surti. Tak terkecuali abang tukang sayur. Setelah mimik wajah semuanya kaget sebentar, wajah mereka kembali ke setelan awal. Tidak ada rasa sungkan sama sekali. Bagi mereka, berbicara asalkan fakta, tentu boleh saja.

Seakan-akan menggunjing suami dari Retno ini adalah hal biasa karena selama ini hal yang terdengar di telinga tetangganya tak lepas dari skandal. Jadi, mereka semua tidak merasa sedang kepergok. Apalagi omongan mereka masuk ke telinga Surti, mungkin berbeda lagi kalau Retno sendiri yang mendengarnya langsung.

Hanya abang tukang sayur yang diam. Selain dia tidak enak karena buka lapak di halaman rumah Retno, sebagai lelaki mungkin tidak mau ikut campur urusan dunia perghibahan emak-emak. Meskipun kesehariannya bercampur dengan ibu-ibu, tapi bukan ranahnya menjadi bagian dari ras terkuat di bumi, yang selalu menang dan tidak mau disalahkan.

"Asyik banget kalian ghibahnya, ya. Saya dengar dari tadi kok kayaknya kalian semua sedang ngomongin Pak Carik," sindir Surti dengan wajah yang tidak suka. Terlihat sekali dari ucapannya yang sangat ketus.

Entah kenapa, Surti sangat tidak suka jika ada yang bicara sembarangan mengenai majikannya. Apalagi mereka asal nyablak saja tanpa ada bukti yang jelas. Meskipun semua yang dibicarakan nyata, perempuan terdekat dengan Retno ini seperti tak mau menerima.

Bukannya saking tunduknya terhadap Dibyo, tapi lebih dikarenakan kasihan terhadap Retno. Padahal wanita kalem itu hanya menjadi korban dari suaminya sendiri.

"Eh, Mbak Surti. Saya ini bicara fakta. Bukan sembarangan." Bu Rodiyah membela diri. Dia tak mau dituduh sebagai tukang fitnah.

"Iya, benar." Yang lain menambahi.

"Iya ih, Mbak Surti. Apa yang kami bicarakan itu emang kenyataan. Bukan rahasia umum lagi kalau Pak Carik memang begitu. Kayaknya nggak mungkin kalau Mbak Surti nggak pernah dengar beritanya?" Bu Yati ikut menimpali dan mencoba memancing Surti. Bibirnya sengaja dimajukan agar Surti tidak berkilah lagi.

Surti tambah panas karena semua orang disitu memojokkan dirinya dan majikannya. Kalau saja dia tidak butuh sayur, mungkin tidak akan ikut berkerumun dengan mereka. Bagi Surti, mereka semua adalah racun yang siap menebarkan bisanya kepada siapapun.

Surti ketakutan kalau bisa racun itu menyebar mengenai Retno kembali.

"Maaf ya, ibu-ibu semua. Kalau kalian menuduh tanpa bukti itu jatuhnya jadi fitnah." Surti tidak mau kalah.

"Lebih baik Mbak Surti buka mata dan buka telinga. Yang namanya Pak Carik itu memang selingkuhannya ada di mana-mana. Dia 'kan seorang pemain handal. Benar nggak, ibu-ibu? Bu Retno saja yang nggak peka." Bu Rodiyah sengaja menambahi nyinyirannya untuk memperkuat ucapan Bu Yati.

"Bukannya nggak peka, Bu Rodiyah. Tapi Bu Retno itu orangnya sabar kebangetan," sela Bu Samirah sambil menutup mulutnya. Entah dia membela atau sedang memojokkan Retno dengan sindiran.

"Aduh, Bu Samirah. Sabar dan bodoh itu bedanya tipis. Apalagi berusaha menutup telinga. Kalau saya jadi Bu Retno, biarpun Pak Carik kaya, bakal saya tinggal. Ogah lah saya diinjak terus harga dirinya," sahut Bu Rodiyah lagi sambil matanya melirik ke arah Surti.

"Iya lah, Bu Rodiyah. Masa suami dijadikan piala bergilir teman-temannya," tambah Bu Yati mengikuti Bu Rodiyah.

"Hati-hati kalau ngomong, Bu Rodiyah, Bu Yati. Kalau berita ini sampai ke telinga Pak Carik, bisa berabe kalian semua." Surti geram mendengar semuanya saling menyudutkan Retno.

Dengan nada mengancam, Surti membela majikannya. Tujuannya cuma satu, agar mereka semua diam dan tidak berani lagi bicara sembarangan.

Kalau soal Pak Carik, mungkin Surti agak sedikit tidak peduli. Yang dia pedulikan hanya perasaan Retno yang sudah dianggap Surti sebagai kakak. Surti takut kalau Retno sampai jatuh mental lagi seperti dulu.

Dalam pikiran Surti, bagaimana kalau ternyata Retno mendengar percakapan ibu-ibu semua pagi ini. Karena itu ia tak berhenti menoleh ke arah pintu belakang rumah Retno.

"Hey, Mbak Surti. Saya ngomong begini karena sudah ada yang pernah melihatnya. Saya tidak bicara sembarangan dan asal tuduh. Apalagi main fitnah segala." Bu Rodiyah pun tak mau kalah.

"Mana buktinya?! Coba sini saya mau lihat," tantang Surti.

Wajah Bu Rodiyah memerah marah karena merasa ditantang oleh Surti yang notabene umurnya lebih muda. Menurutnya, Surti tidak punya sopan santun. Meskipun membela majikannya, seharusnya melihat umur. Sudah tahu lawannya lebih tua, tapi Surti berani menantang dirinya.

"Mbak Surti pura-pura lupa ingatan, ya? Apa Mbak Surti tidak ingat saat Pak Carik disidang warga beberapa tahun lalu di desa sebelah? Iya kalau sekarang menjadikan Pak Carik tobat. Ini malah sudah kebablasan. Keenakan dan nggak mau berhenti," ungkap Bu Rodiyah agar Surti diam.

"Namanya juga penyakit, Bu Rodiyah. Mau disidang atau kepergok berapa kali pun, ya tetap sama. Kecuali kalau sudah kena azab, baru bisa tobat." Bu Yati ikut menimpali dan membela Bu Rodiyah. Tujuannya sama, yaitu membuat Surti mengalah dan diam. Karena memang kenyataannya seperti itu.

Dalam pikiran Bu Yati, sekali-kali Surti ini harus diberi pelajaran. "Biar kapok, dia," gumamnya sinis.

Surti geram terhadap keduanya. Yang ditanyakan waktu sekarang, mengapa yang dibahas masa lalu.

Selain Bu Rodiyah dan Bu Yati yang terlalu banyak bicara, lainnya memang diam. Akan tetapi semuanya seakan membenarkan apa yang dikatakan keduanya. Membuat perempuan muda itu bertambah marah. Malah semuanya saling berbisik di belakang dua wanita paruh baya tersebut.

"Sudah sudah, ibu-ibu. Jangan berdebat lagi. Kasihan ini abang tukang sayur. Cepat milih sayurnya, si abang mau pindah tempat," sela Bu Samirah agar mereka menyudahi pertengkaran pagi ini. Sangat tidak baik dan tidak beretika, pagi-pagi begini sudah menggunjing seseorang.

"Sudah bagaimana, Bu Samirah. Itu lho Mbak Surti yang nantang. Dengerin ya, Mbak Surti. Yang namanya maling, bakal ketangkap kalau sudah puas. Sepandai-pandainya tupai meloncat, bakal terpeleset juga. Sebentar lagi kalian semua juga akan mendengar berita mengejutkan tentang Pak Carik. Tunggu saja!" ucap Bu Rodiyah dengan nada mengancam untuk mengakhiri pertengkaran pagi ini.

Telinga Surti serasa berdenging mendengar ancaman Bu Rodiyah. Ingin sekali rasanya menyumpal mulut wanita yang super duper seperti kompor meleduk. Mengapa dia tidak punya adab dan perasaan. Padahal mereka membicarakan orang yang punya halaman rumah.

Berbanding terbalik sekali dengan ungkapan bumi dipijak tanah dijunjung. Kenapa mereka tidak punya rasa malu. Bahkan mereka tidak segan dan tidak beretika sama sekali, tanahnya ditempati tapi harga diri yang punya malah diinjak.

Surti enggan meladeni perkataan Bu Rodiyah lagi. Bukannya takut, khawatirnya justru semakin menambah panjang masalah dan tidak berhenti. Bisa-bisa berbahaya jika kemunculan Retno yang datang secara tiba-tiba.

"Ayo milihnya cepat, ibu-ibu. Saya mau pindah tempat. Nanti keburu siang. Bisa dimarahin istri saya kalau jualan saya tidak habis," canda Abang tukang sayur untuk mencairkan suasana yang baru saja tegang.

"Ih, si abang tuh ya. Suka bener kalau ngomong. Ayo cepat, ibu-ibu. Waktunya juga keburu siang. Bisa gawat kalau suami pulang tapi masakan belum matang," timpal yang lainnya bergantian.

Pada akhirnya mereka diam karena terburu memilih, tidak melanjutkan perdebatan lagi. Waktu yang sejak tadi diberikan rasanya sia-sia kalau hanya untuk mengghibah yang sama sekali tidak ada manfaat.

Sementara itu, ibu-ibu lain yang sudah mendapatkan sayur dan lauk yang diinginkan, satu persatu juga menyingkir pulang setelah membayar.

Tinggallah Bu Rodiyah, Bu Yati dan Bu Samirah yang belum memilih sayur karena sejak tadi sibuk berdebat. Begitu juga Surti yang masih memasang muka masam.

Sembari sering menoleh ke belakang, siapa tahu melihat kedatangan Retno. Surti akhirnya memilih ikan dan sayur soup sebagai lauk hari ini.

Ketika suasana sudah reda, muncullah Retno yang datang dengan senyuman. Namun, jangan ditanya karena wajahnya sedikit memerah seperti orang yang sedang menahan rasa. Pancaran netranya juga tak bisa dibohongi. Kelihatan sekali kalau wanita itu baru saja menghapus air mata.

"Eh, kok sudah sepi. Sudah selesai ya, belanjanya?" sapa Retno dengan senyuman seperti biasanya. Dia terlihat senyum di luar, tapi entahlah rasa yang dipendam di dalam karena aura wajah seseorang sulit sekali untuk berbohong.

"Eh, ada Bu Retno. Belanja ya, Bu?" sahut Bu Rodiyah buru-buru menyapa. Diikuti pula oleh Bu Yati dan Bu Samirah. Ketiganya bersikap biasa seperti baru saja tidak terjadi apa-apa.

'Dasar tukang drama. Sok artis, sok iyes,' batin Surti sembari melirik ketiganya. Kemudian kembali memilih bumbu setelah sayur dan ikan didapat.

"Iya, ibu-ibu," jawab Retno dengan masih menahan gemuruh di dada.

"Oh ya, Bang. Pesanan saya tadi malam, apa ada?" tanya Retno kemudian kepada tukang sayur.

Untung saja Retno sempat mengirim pesan kepada tukang sayur semalam, melihat suaminya yang sangat menyukai masakannya. Kalau tidak, dia tidak tahu yang akan terjadi siang nanti. Teringat pagi tadi sudah bertengkar dan tidak menerima soal menu masakan yang dihidangkan.

"Ada, Bu Retno. Ada di depan. Sebentar saya ambilkan." Tukang sayur mengambilkan pesanan Retno di mobil bagian depan.

Setelah mengambilkan pesanan tersebut, barulah memberikannya pada Retno.

"Ini, Bu Retno. Udang dan kerang yang masih fresh, sesuai pesanan." Sembari tersenyum si abangnya.

"Terima kasih ya, Bang." Retno lantas memberikan uang untuk membayar pesanannya karena semalam sudah bertanya soal harga.

Dengan hati riang, Retno akhirnya tersenyum kecil. Betapa senang rasa hati karena pagi ini ia akan memasak makanan kesukaan sang suami. Wanita itu berharap kalau kemarahan suaminya akan mereda siang nanti karena makanan favoritnya sudah tersedia di atas meja makan.

Bu Rodiyah melirik belanjaan Retno yang lumayan berat. Dalam hati tak bisa menahan mulut untuk tidak berucap.

"Belanjanya banyak bener, Bu Retno. Kayak mau ada acara saja," ucap Bu Rodiyah. Sesekali pandangannya ingin memastikan ke dalam plastik kresek warna hitam yang ditenteng oleh Retno.

"Iya, Bu Rodiyah. Pak Carik suka sekali sama seafood. Apalagi kalau masaknya dikasih saos tiram."

"Oh, begitu. Tapi hati-hati, Bu Retno. Kalau makan jangan kebanyakan. Nanti bisa terkena kolestrol, lho." Bibir jahat Bu Rodiyah tak bisa ditahan. Kata yang keluar bagaikan umpatan.

Sontak, Surti yang masih geram dengan perkataan Bu Rodiyah tadi, membuat mulutnya gatal untuk membalas ucapannya.

"Maaf ya, Bu Rodiyah. Mau beli udang, mau beli kerang, itu bukan urusan sampean. Uang-uang sendiri, juga. Sampean juga nggak rugi 'kan?" sindir Surti. Puas sekali karena telah menyahuti mulut jahil wanita tukang ghibah nomor satu di desa ini.

Retno yang mendengar kelancangan Surti, langsung menyenggol lengan serta sedikit mencubit tangan wanita yang sudah dianggapnya sebagai adik. Sungguh, dia tidak ingin ada pertengkaran lagi gara-gara dirinya.

"Eh, Mbak Surti. Siapa juga yang ngomong sama kamu. Saya 'kan hanya mengingatkan Bu Retno. Bu Retnonya saja nggak masalah, kok Mbak Surti yang repot," cicit Bu Rodiyah disertai bibir manyun.

"Ayo, Bu Yati, Bu Samirah. Males sekali kalau ada si mulut pedas Mbak Surti."

Bu Rodiyah lantas mengajak kedua sahabatnya untuk segera hengkang dari tempat itu. Setelah memilih sayur dan membayarnya, ketiganya pun langsung berjalan ke arah rumah masing-masing.

Tinggallah Retno, Surti dan tukang sayur. Pandangan ketiganya tak lepas dari mereka sampai bayangannya hilang.

Kepergian semuanya membuat tangan Surti mengepal keras karena masih terngiang atas ucapan Bu Rodiyah.

"Sabar, Sur," tahan Retno lirih. Dia melihat kemarahan yang muncul dalam diri Surti yang seakan ingin meledak saat itu juga.

"Astaghfirullohal adzim ...." Beruntung Surti masih bisa menahan amarahnya. Dia memilih tahan dan diam, hingga akhirnya sedikit mereda.

Tukang sayur pun segera menata kembali jualannya. Inginnya cepat hengkang dari tempat itu segera karena tidak mau dijadikan sasaran atas pertanyaan Surti.

"Karena sudah tidak ada yang butuh ini sayur, saya pergi dulu ya, Mbak Surti, Bu Retno," pamit tukang sayur.

"Oh ya, silahkan," jawab Retno dan Surti berbarengan.

'Aneh sekali gelagat si abang sayur. Mengapa dia sangat terburu-buru? Mungkinkah takut kalau aku tanya?' Surti hanya menggelengkan kepalanya heran. Setelah itu merangkul tangan Retno untuk segera masuk rumah.

"Ayo, Mbak," ajaknya.

Retno pun mengangguk. Akan tetapi setelah itu wajahnya kembali murung.

Surti yang melihat aneh aura wajah Retno sejak kedatangannya itu, kemudian segera mendekat.

"Mbak nggak papa 'kan?" tanya Surti khawatir.

Retno hanya tersenyum getir mendapat pertanyaan yang menurutnya susah untuk memberi jawaban. Akan tetapi, bukan Surti namanya kalau dia tidak bisa menebak dan paham akan suasana hati wanita itu. Secara, sudah lama sekali dia mengenal luar maupun dalam diri Retno.

"Ayo kita masuk ke dalam rumah, Mbak," ajak Surti dengan menggandeng tangan Retno. Ingin secepatnya ia mengintrogasi wanita dalam gandengannya perihal yang menyangkut pertengkarannya tadi dengan Bu Rodiyah beserta kawan-kawannya.

Setelah keduanya duduk di kursi samping dapur rumah Retno, Surti pun mendekatinya.

"Mbak Retno mendengar semua pembicaraan Bu Rodiyah dan Bu Yati tadi?" cecar Surti.

Bukannya menjawab, tiba-tiba Retno malah menangis sesenggukan.

Sekarang Surti paham, bahkan dia setia menunggu agar suasana hati Retno sampai tenang kembali.

Didekatinya wanita berperangai kalem itu, kemudian Surti menyentuh punggungnya dan mengusapnya pelan berkali-kali. Namun, segala pertanyaan yang hendak keluar hanya tertahan di tenggorokan. Dia tak kuasa untuk melanjutkan pertanyaan yang ada dalam hatinya lagi.

Hanya diam yang bisa Surti lakukan saat ini. Nyatanya Retno hanya butuh seseorang untuk mendengarkan keluh kesahnya saat ini.

"Memang nyatanya kesalahan Bapak begitu besar, Sur. Sehingga mereka semua tidak bisa lupa. Malah semua orang mengungkitnya kembali," ucap Retno dengan pandangan kosong setelah menghentikan tangisannya.

"Apa mereka tidak tahu, dengan mengungkitnya lagi maka sakit hati yang telah sedikit reda ini bergejolak kembali. Mereka tidak tahu betapa sulitnya aku untuk memaafkan kesalahan suami," tambahnya lagi.

Surti yang mendengar itu, hatinya ikut tersayat perih. Bayang-bayang kelam masa lalu wanita di sampingnya kini terngiang dalam ingatan.

Malam yang tak pernah dilupakan Surti saat Retno menjerit, kala tahu suaminya Dibyo, diarak ke balai desa dan disidang di desa sebelah karena kepergok ada main dengan wanita lain di desa tersebut.

"Mbak tidak salah. Kalau ada yang harus disalahkan, itu bukan Mbak. Tapi Bapak. Mereka hanya salah sasaran. Mengapa yang dibully justru yang menjadi korban," ucap Surti untuk menguatkan.

"Rasanya sakit sekali, Sur, jika ingat Bapak saat disidang. Sakitnya sama seperti saat aku memergoki Bapak dengan Mbah Ginem."

"Maksud, Mbak?" Surti mendelikkan mata, kaget. Antara percaya dan tidak.

"Iya, Sur. Aku pernah memergoki Bapak sedang bercinta dengan Mbah Ginem," jawab Retno dengan air mata berlinang. Entah sudah sejak kapan air mata itu membanjiri wajah cantiknya. Buliran-buliran bening, bagai berlomba turun ke bawah tanpa bisa dicegah.

"Jadi ... berita yang aku dengar itu kenyataan? Bukan gosip semata, kalau Bapak pernah ada main dengan Mbah Ginem?" Surti mengatupkan mulutnya tak percaya. Ia sangka kalau berita itu hanya bualan belaka untuk lebih menjatuhkan Dibyo.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel