Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7

Dibyo menunggu dengan gelisah balasan dari Riyanti. Sesekali ia melirik benda pipih yang ada di sampingnya sembari meneruskan pekerjaannya.

'Kemana dia? Tumben lama, biasanya selalu gercep jika membalas pesanku. Apa dia marah karena tadi aku lama balas pesannya? Rasanya tidak mungkin kalau Riyanti bisa marah padaku. Wanita itu, dihadapkan dengan beberapa lembaran merah saja, seketika bisa menjadi apa yang aku inginkan,' batin Dibyo dengan mimik wajah yang sudah begitu tegang. Apalagi jika mengingat masalah Ayu.

Putaran menit yang seakan kasat mata, tapi detak dalam tiap detik begitu mengganggu telinga Dibyo. Serasa berisik dalam pendengarannya.

Lagian, entah kenapa Dibyo gelisah seperti ini. Padahal biasanya tidak perlu menunggu jawaban pasti dari Riyanti, wanita itu sudah tentu siap jika Dibyo mengajak kemanapun dia pergi. Tinggal kirim pesan, pasti balasan wanita yang sudah lama digaulinya itu selalu menyenangkan hatinya.

Perasaan gelisah dicampur rasa marah terhadap Kumala membuatnya sangat gelisah, meskipun saat sedang bersamanya, Dibyo selalu enggan pulang ke rumah kembali. Namun, kali ini serasa berbeda. Kumala berhasil menyinggung perasaan Dibyo dengan status yang sebenarnya telah lama ia sandang.

'Ah, Kumala! Kenapa lama-lama kamu menginginkan lebih. Padahal dulu perjanjian kita tidak seperti itu.'

Terlihat gusar sekali saat pikirannya terpaku pada nama wanita cinta pertamanya itu. Barulah mimik wajah Dibyo kembali tersenyum saat mendengar notif pesan di aplikasi hijaunya.

Aura wajahnya bertambah ceria saat tahu bahwa pesan itu ternyata balasan dari Riyanti.

[Ok, Pak. Siap!]

Pesan dengan diikuti emoji wajah ceria nan imut, dengan samping kanan kirinya terdapat tanda dua bunga waru merah menyala. Padahal hanya satu kalimat, akan tetapi berhasil membuat Dibyo bisa membayangkan adegan yang membuat andrenalinnya terpacu.

Sedang merasakan bahagia yang begitu menanjak, tiba-tiba rasa itu buyar karena semua perangkat desa sudah berada di ambang pintu. Otomatis Dibyo menoleh ke arah mereka semua satu-persatu. Tak ketinggalan juga dengan pak lurah di belakang mereka.

"Sudah selesai, Pak Lurah?" tanya Dibyo datar setelah Pak Lurah masuk terakhir.

"Sudah, Pak Carik," jawab Pak Lurah dengan keringat yang memenuhi wajahnya. Di bagian ketiak juga merembes keringat karena pemimpin desa tersebut ikut bekerja dan membaur bersama warga lainnya.

"Untuk semuanya, sudah diperbolehkan pulang. Karena sebentar lagi masuk shalat jumat, silahkan kalian semua bersiap-siap dengan membersihkan diri."

Pak Lurah memberikan pengumuman kepada semua perangkat desa. Karena itu semuanya langsung bersiap-siap untuk bubar. Tak ketinggalan juga dengan Dibyo. Sedangkan yang keluar paling terakhir adalah Ikbal dan Panji. Karena keduanya biasa membawa kunci kantor untuk diserahkan pada penjaga.

"Ji, tuh lihat Pak Carik kayak terburu begitu." Ikbal menaik turunkan alisnya memberi kode pada Panji yang masih menata semua berkas yang masih berserakan di meja kerjanya.

Maklum, Panji menjabat sebagai bendahara desa. Jadi sudah semestinya pekerjaannya terlalu menumpuk, hampir sama dengan sang sekretaris desa yang tak lain adalah Dibyo.

"Memangnya kenapa kalau terburu-buru? Masalah buatmu?"

"Lihat tuh, Ji. Kayaknya si Prabu tidak langsung pulang. Tapi entah mau pergi kemana." Ikbal melongokkan badannya ke arah jendela melihat Dibyo.

Diperhatikannya lelaki yang menjabat sebagai carik itu dari mulai mengambil jaketnya dalam jok motor. Setelah memakainya barulah melajukan motor berlawanan dengan arah rumahnya.

"Kali aja ada urusan, Bal. Kamu jadi orang kok suka banget buruk sangka begitu."

"Bukan begitu, Ji. Masalahnya ... aku tadi lihat si Riyanti juga ngebut ke arah yang sama dengan arah si Prabu. Dia pun memakai jaket, bedanya tidak menggunakan masker saja. Siapa tahu 'kan mereka hendak ketemuan."

"Suka-suka mereka lah, Bal. Dosa bukan kita yang tanggung kok, ngapain repot mikirin urusan orang."

Sudah menjadi rahasia umum jika kedekatan Dibyo dan Riyanti sempat menjadi topik hangat, bahkan sejak lama. Banyak yang bilang kalau sesekali ada yang pernah melihat keduanya bersama menuju suatu tempat yang mencurigakan.

Anehnya, sampai sekarang hubungan keduanya tetap baik-baik saja. Apalagi bila dihubungkan dengan Retno yang merupakan sahabat akrab dari Riyanti. Guru TK itu bagai pagar makan tanaman, menggerogoti Retno tanpa ampun. Anehnya, hubungan keduanya sampai sekarang masih baik-baik saja, bahkan terkesan lebih akrab.

"Haduhh ... alamat jumatan bareng sama Riyanti, tuh si Prabu."

"Huss!!! Kamu tuh, Bal. Pikirannya seneng banget kemana-mana. Yok ah pulang. Nggibah terus dari tadi. Tuh, speaker masjid sudah manggil-manggil. Ngasih tanda biar kita cepat berangkat shalat jumat."

Ikbal memang orangnya suka ingin tahu urusan orang, terutama hal yang menyangkut dengan Dibyo. Ingin sekali dia melihat kapan lelaki angkuh dan sombong itu terjatuh setela banyak menjatuhkan orang lain.

Bahkan Ikbal pernah punya pikiran, andai saja dia punya bukti perselingkuhan antara Dibyo dengan Riyanti sang guru TK itu. Sudah pasti bukti itu akan dia serahkan pada Retno.

Padahal dulu rumah tangga Dibyo pernah hampir di ambang kehancuran saat Dibyo kepergok di desa sebelah. Namun, entah mengapa Retno masih punya hati untuk memaafkan sifat sang suami yang sampai sekarang tidak pernah ada kapoknya.

Ibarat kata, Dibyo adalah tua-tua keladi. Makin tua bukannya tobat malah makin tebar pesona ke sana dan ke sini.

Retno ... Retno ... terbuat dari apa hatimu? Mungkinkah ada alasan lain kenapa dia tidak mau berpisah dengan Dibyo.

"Aku kasihan sama Mbak Retno, Ji. Mengapa jadi wanita kok bodoh sekali ya, Mbak Retno itu."

"Husst!!! Dia bukan bodoh, Bal. Tapi sabar. Masuk dalam kategori wanita pilihan dia. Memang sih bedanya sabar sama bodoh itu tipis, setipis kulit ari," sahut Panji diakhiri candaan dengan menaikkan jari tangannnya. Setelah itu bayangan satu tahun lalu sekelebat muncul, teringat rumah tangganya dengan Hasna yang juga hampir kandas. Itu semua karena ulah Dibyo.

"Sabar juga ada batasnya, Ji. Orang kita manusia biasa. Nggak bisa lah kita seperti para nabi yang selalu sabar kala tiap mendapat ujian dari sang maha pencipta."

"Sok ceramah banget kamu, Bal," sahut Panji dengan menggelengkan kepalanya seperti biasa. "Yang benar itu ... sabar itu tidak terbatas, Bal. Akan tetapi sebagai manusia biasa, kita sulit untuk melaksanakannya. Jaminannya aja surga, gimana nggak susah. Bener nggak?"

"Tau, ah. Kamu tuh selalu bisa ngalahin aku terus. Yuk pulang," ajak Ikbal.

"Nah, itu baru betul. Ngapain bahas orang lain, bukankah mending pulang. Bisa-bisa kita telat shalat jumat kalau kebanyakan ngobrol."

Keduanya pun langsung berjalan beriringan untuk pulang. Sebelum keduanya melajukan kuda besinya masing-masing, lebih dulu Ikbal menyerahkan kunci kepada penjaga yang rumahnya tidak jauh dari kantor desa. Sedangkan Panji menunggu sahabatnya kembali.

**

"Sudah lama, Ri?" tanya Dibyo setelah tiba di parkiran, tempat keduanya biasa membuat janji.

Dibyo melihat Riyanti dengan penampilan yang sepertinya sudah siap untuk dibawa pergi.

"Kira-kira baru sepuluh menit, Pak," jawab Riyanti dengan sambutan penuh hangat disertai dengan senyuman.

Dibyo memang biasa memanggil nama Riyanti dengan sebutan nama aslinya. Tujuannya agar tidak ada orang yang curiga jika sewaktu-waktu ada orang yang tidak sengaja mendengarnya.

Di ponselnya pun sama, namanya tertulis nama asli karena untuk menghindari pertanyaan dari Retno. Sekedar untuk jaga-jaga, meskipun istri dari Dibyo itu tidak pernah ingin tahu semua isi ponsel suaminya.

Namun, jangan salah. Walaupun di luar nampak biasa, akan tetapi dalam urusan ranjang hanya Riyanti yang memberi kepuasan dibanding Retno. Waktu kebersamaannya pun juga lebih sering dihabiskan dengan Riyanti.

Kadang-kadang kalau hati sedang suntuk pun, Dibyo kerap kali bertandang ke rumah Riyanti dengan dalih memberikan tugas yang bersangkutan dengan PKK. Maka tidak heran, jika Riyanti sekarang ini dianggap sebagai obat anti gundah gulana oleh Dibyo.

"Ayo kita jalan. Tapi pakai motor nggak papa, ya? Soalnya pertemuan kita tidak ada perjanjian lebih dulu. Kalau aku ambil mobil dulu, nanti malah repot. Retno bakalan banyak nanya."

"Nggak apa-apa, Pak. Asal sama Bapak, saya sih oke aja. Di manapun berada. Lagian saya sudah siap kok dibawa ngebut." Riyanti mengerlingkan matanya.

Dibyo tersenyum senang mendengar jawaban dari wanita di depannya. Lagi-lagi jawaban Riyanti sungguh sangat menyenangkan hati. Dia tidak mempermasalahkan hal yang menurutnya sepele.

"Itu yang aku suka dari kamu." Dibyo mentoel hidung bangir milik Riyanti.

"Tapi ngomong-ngomong ... kok kamu sudah pakai jaket begitu?" tanya Dibyo penasaran. "Bukankah kamu baru saja bubar dari sekolahan?"

"Saya tadinya sudah pulang, Pak. Tapi berhubung ada pesan masuk dari Bapak, langsung deh siap-siap."

"Terus, kamu minta ijin keluar sama suami kamu?"

"Iya lah, Pak. Kalau tidak minta ijin, siapa dong yang ngemong si Adek. Cuma saya bilangnya ada pertemuan dengan rekan guru yang lainnya. Untuk Bapak, semua bisa diatur," sahut Riyanti dengan menautkan kedua jarinya.

"Memangnya suami kamu nggak curiga?" cecar Dibyo ingin tahu.

"Dia hanya mengiyakan dan percaya begitu saja. Kalau nanti suamiku sudah membangkang dan banyak protes, gampang lah. Kita ke rumah Mbah Darsum lagi," jawab Riyanti dengan nyengir kuda memperlihatkan giginya yang putih bersih.

"Kamu tuh, ya. Bisa ... aja. Ya udah, yuk naik," ajak Dibyo kemudian. Dia anggap tidak ada masalah hari ini, sehingga memudahkan untuk pertemuan selanjutnya.

Riyanti pun kemudian naik dalam boncengan Dibyo. Tak lupa sebelumnya dia gunakan masker seperti biasa agar tidak ada orang yang mencurigainya. Sayangnya, dari jauh ada sepasang mata yang tengah mengamati mereka berdua.

Dalam perjalanan menuju tempat yang mereka tuju, tak ada perbincangan serius. Keduanya hanya diam menikmati perjalanan. Cukup bahasa tubuh keduanya yang mewakilinya. Dibyo yang menikmati pegangan erat dari Riyanti yang melingkar pada pinggangnya. Membuat lelaki itu bertambah nyaman. Begitupun sebaliknya.

Tidak rugi bagi seorang Riyanti yang tega mengibuli sang suami demi mendapatkan semua itu dari pelukan pria lain. Selain itu, tentunya nanti sepulangnya dia bisa menggondol beberapa lembaran merah demi untuk membeli susu formula untuk anaknya yang baru saja belajar merangkak, serta untuk kebutuhan dirinya sendiri. Terutama yang bersangkutan dengan kosmetik.

Untuk urusan kebutuhan rumah tangga, semua diserahkan pada Hardi sang kepala rumah tangga. Jika tidak terpenuhi, maka Riyanti siap mengusirnya. Mentang-mentang lelaki itu hidup menumpang di tanah warisan orang tuanya.

Hardi yang hanya seorang suami dengan pekerjaan serabutan dengan sampingan memelihara ternak kambing miliknya, tak mampu memberikan apa yang diinginkan Riyanti. Bagai kerbau yang dicucuk hidungnya, lelaki itu hanya bisa tunduk pada sang istri.

Bagaimana tidak, antara Riyanti dan Dibyo telah bersekongkol untuk membuat Hardi patuh pada apa yang diucapkan sang istri. Jika suatu hari lelaki itu membangkang atau protes terhadap apa yang istrinya lakukan, maka Dibyo tinggal mengajak Riyanti untuk bertandang ke rumah Mbah Darsum. Seorang dukun wanita paling handal dalam membuat Hardi diam tidak berkutik.

"Sudah sampai, ayo kita turun," ajak Dibyo seraya menghentikan sepeda motornya di halaman sebuah motel setelah perjalanan yang memakan waktu kurang lebih setengah jam.

Riyanti yang masih nyaman berada dalam boncengan, sepertinya enggan untuk turun.

"Sudah sampai ya, Pak? Saking nyamannya, aku kira belum sampai," ucap Riyanti diiringi seringai manja.

Sayangnya Dibyo tidak begitu memperhatikan sikap manja Riyanti padanya karena tubuhnya sedikit bereaksi dan tidak bisa diajak kompromi.

Motel Monggo Moro menyambut keduanya untuk bersinggah melepas segala penat. Tentunya tempat ini yang biasa digunakan Riyanti dan Dibyo untuk saling berbagi hasrat. Meskipun terbilang cukup murah, sekiranya tidak murahan untuk seorang lelaki mengajak teman wanitanya.

"Kok langsung ke sini, Pak. Biasanya kita jalan-jalan dulu ke pantai," protes Riyanti karena tidak seperti biasanya.

"Aku sudah tak tahan, Ri," bohong Dibyo. Padahal tubuhnya sudah sedikit terasa nyeri dan panas. Wajahnya pun semakin memerah. Mungkin saja efek dari obat pereda nyeri dan salep itu sudah memudar karena sudah hampir enam jam lamanya.

Jawaban itu membuat Riyanti menjadi tersipu malu. Tak pelak, wanita itu hanya menurut saat tangan Dibyo menggandeng tangannya menuju resepsionis.

"Kita langsung menuju kamar," ucap Dibyo menggandeng tangan Riyanti kembali setelah mendapatkan kunci.

Keduanya berjalan bergandengan sampai pada kamar yang dipesan. Setelah itu masuk dan menguncinya dari dalam.

Tak usah dipinta oleh Dibyo, Riyanti langsung menanggalkan rajutan benang di badannya satu persatu hingga tak tersisa. Setelah itu berusaha menggoda lelaki yang kini menjadi pusat perhatiannya itu. Dari mulai mencopot masker yang menutupi wajah Dibyo, sampai jaket yang menempel di tubuh lawan mainnya itu.

Setelah itu menjalar ke bagian leher hingga membuat Dibyo lupa akan semuanya. Tentang Ayu dan Kumala, juga tentang rasa nyeri dan panas karena efek dari kulitnya yang melepuh. Semuanya tertutup oleh panasnya hasrat yang kian menggelora.

"Jangan tanggalkan pakaianku!" pinta Dibyo seraya mencengkeram tangan Riyanti. Akan tetapi aura wajahnya sudah kelimpungan menahan hasrat saat Riyanti mulai agresif terhadap tubuhnya.

"Kenapa, Pak? Bukankah biasanya Bapak yang meminta demikian?" Suara lirih Riyanti yang sudah dibakar api gelora.

"Aduh ... aku sudah tak tahan, Ri," ucap Dibyo lirih sambil meringis seperti tidak nyaman. Rasa perih, gatal dan panas semakin menjalar ke seluruh tubuh.

Namun sayang, yang masuk dalam gendang telinga Riyanti bukannya suara kesakitan, melainkan bisikan hasrat yang semakin menggebu. Karena itu gelora dalam tubuh wanita itu kian berpacu.

"Kalau begitu, ayo kita mainkan permainan ini sampai selesai seperti biasanya."

Riyanti sangat agresif bagai seorang yang kesurupan karena menahan hasrat yang sudah dalam puncak ubun-ubun. Karena itu dia mulai memainkan aksinya. Tanpa sadar dia mencengkeram tangan Dibyo hingga terdengarlah teriakan lelaki itu.

"Aaa ...!!! jangan!"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel