
Ringkasan
Dibyo yang menjabat sebagai pejabat desa, lebih tepatnya seorang carik, mempunya sikap sombong, angkuh dan suka main perempuan. Tidak disangka, sikapnya tersebut memancing kebencian orang terdekat hingga nekat untuk mengerjai dirinya sampai kehilangan nyawa. Dhea, anak gadis dari Dibyo mencoba memecahkan misteri, mengapa di sekujur tubuh ayahnya menderita penyakit yang dalam medis tidak terdeteksi.
Bab 1
"Bune! Tanganku kenapa begini?!"
Teriakan Dibyo memanggil istrinya terdengar sangat nyaring sampai-sampai suaranya memenuhi kamar. Wajahnya terlihat sangat panik saat melihat apa yang berubah dengan kulit tangannya yang tiba-tiba melepuh. Padahal sebelum ia makan tadi dalam keadaan baik-baik saja.
Untuk sesaat suasana hening, Dibyo menunggu kedatangan Retno dalam kepanikan.
Karena tidak ada sahutan sama sekali dari sang istri, Dibyo sempat kesal dibuatnya. Waktu sudah berselang sepuluh menit pun, Retno masih tak kunjung datang menghampiri. Tidak biasanya istrinya itu diam ketika dipanggil. Biasanya pasti langsung tanggap dan mendekat.
"Bune!!!" teriak Dibyo lagi.
Rasanya sudah tak sabar karena istrinya belum juga menghampirinya dengan cepat. Rasa panik saat awal sudah berubah menjadi kekesalan, bahkan ujung-ujungnya emosi dalam kemarahan.
Retno yang sedang mengangkat piring kotor dari meja makan ke wastafel masih saja belum mempedulikan teriakan sang suami. Ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya sendiri.
Barulah setelah teriakan beberapa kalinya, wanita berperangai kalem itu langsung berjalan cepat menghampiri Dibyo. Ia letakkan piring itu begitu saja dalam tumpukan wastafel. Kemudian tergopoh-gopoh menuju kamar.
"Ada apa to, Pak? Kok teriak-teriak. Nanti tetangga pada datang lho, maghrib begini pula. Dikiranya ada apa, lagi," gerutu Retno dalam perjalanan dari meja makan menuju kamar, di mana Dibyo sedang duduk di tepi ranjang dengan raut wajah kesal.
"Ini, Bune. Tanganku kok tiba-tiba melepuh begini. Padahal tadi biasa saja pas waktu makan."
Gurat wajah Dibyo terlihat panik sekali. Selain itu wajahnya juga menampakkan kebingungan yang luar biasa. Apalagi rasa nyeri, gatal dan juga teramat panas yang mengiringi membuat perasaannya sungguh tak nyaman. Bahkan lelaki itu sedang berusaha menggaruk kulitnya di bagian pinggir yang terkena lepuhan.
"Sini Ibu lihat."
Retno mendekati sang suami dan mengamati dengan seksama luka yang dimaksud. Sejenak ia diam mengamati lalu mempertajam penglihatannya pada area kulit suaminya yang melepuh membentuk gelembung seperti akibat luka bakar.
Untuk sejenak Retno terpaku dengan penglihatannya. Ada rasa ngeri dalam ulu hatinya ketika ia melihat dengan mata kepala sendiri bahwa luka lepuhan itu seperti menjalar berjalan sendiri. Bagai ada sebuah makhluk yang sedang berjalan di dalam gelembung dan menciptakan gelembung baru. Seketika Retno terperangah, berikut matanya membulat sempurna.
"Bune! Diajak bicara kok malah diam," ucap Dibyo yang terdengar seperti sebuah sentakan kala kalimat itu keluar dari bibirnya. Pasalnya Retno langsung terperanjat kaget oleh suara suaminya.
"Nggak apa-apa, Pak. Ibu hanya kaget saja," selorohnya demikian untuk mengalihkan perhatian. Tapi tetap saja wajahnya tak bisa menipu.
"Ibu ambilkan salep ya, biar segera kempes dan terasa adem. Nanti juga Ibu kompres pakai air dingin biar nyerinya berkurang dan tidak bengkak."
Sebelum beranjak mengambil alat kompres dan obat sebagai tindakan, Retno sempat melamun beberapa saat memikirkan apa yang baru saja ia lihat.
'Benda apa tadi yang berjalan sendiri? Apa penglihatanku yang salah? Atau ... hanya perasaanku saja? Tapi mengapa seolah-olah benar-benar nyata?'
Retno mengusap kedua matanya dengan aura wajah yang kebingungan. Seketika bulu kuduknya meremang pada bagian tangan, menciptakan hawa berat dan dingin di bagian belakang kepala. Tak pelak Dibyo menegur sang istri karena tidak kunjung berdiri.
"Apa yang kamu pikirkan, Bune? Kenapa malah ngelamun? Katanya mau ambil salep, kok malah bengong. Cepat sana ambilkan salepnya!"
"Oh, iya. Maaf, Pak." Retno sedikit gelagapan. "Ibu ambilkan sekarang, ya."
Retno langsung berdiri dan beranjak dari tepi ranjang. Tapi sebelumnya ia menoleh kembali dan berbicara dengan suaminya.
"Sebaiknya Bapak mandi dulu biar badannya nggak gatal. Bukannya tadi Bapak langsung makan, tidak mandi terlebih dahulu."
"Tadi Bapak keburu lapar, Bune," kilah Dibyo. Kemudian membiarkan istrinya berlalu begitu saja meninggalkan kamar. Sedangkan dirinya masih fokus menggaruk pinggiran kulit yang melepuh secara pelan karena takut menyenggol gelembung lepuhan.
Baru saja Retno berjalan mencapai pintu, Dibyo sudah memanggilnya lagi.
"Bune! Apa karena tadi Bapak makan udang terlalu banyak ya, makanya kulitnya menjadi melepuh seperti ini?"
Retno berhenti dan menoleh ke arah suaminya. Kemudian berjalan mendekati Dibyo kembali.
"Masa si, Pak. lagian bukannya Bapak tidak alergi udang sama sekali. Kalaupun Bapak alergi udang, kebanyakan orang yang mengalaminya paling hanya gatal dan muncul bentolan kecil. Tidak sampai melepuh seperti itu."
"Benar juga, ya," ucap Dibyo membenarkan pendapat istrinya.
"Itu malah seperti terkena luka bakar, Pak."
"Tau lah, Bune. Ya sudah, Bapak mandi dulu."
"Jangan lupa shalat, Pak. Nanti keburu masuk waktu isya. Sudah lama sekali Bapak lalai dalam menjalankan kewajiban," ucap Retno dengan sangat hati-hati serta menunduk. Takut sekali kalau suaminya marah karena tersinggung.
"Bawel. Sudah sana ambilkan salepnya!"
Retno langsung mengkerut. Padahal niat hati hanya ingin mengingatkan tentang kewajiban seorang muslim, mumpung ada momen yang pas. Tapi ternyata malah membuat Dibyo marah karena tidak berkenan dengan ucapannya.
Daripada Retno harus berdebat melawan suaminya yang pasti membuat dirinya dicap sebagai istri cerewet dan pembangkang setiap kali berbicara dengan sang suami, lebih baik dia mundur dan menghindar demi rumah tangganya tetap adem ayem.
Bukan sekali dua kali, tapi kejadian ini sudah sering sekali terjadi. Pada akhirnya Retno lah yang harus mengalah sebagai bukti patuhnya seorang istri terhadap suami agar tidak dicap sebagai istri yang durhaka pada suaminya.
Dalam perjalanan mengambil salep dan alat kompres, Retno tak hentinya memikirkan kejadian yang dia lihat tadi sampai kakinya tidak sadar menendang kaki meja dapur.
"Aaauuu ...!" Refleks Retno menjerit dan meringis karena kakinya terasa sedikit sakit.
"Astaghfirullaahal adzim ... kenapa aku nggak hati-hati sih," gerutunya sendiri. Karena banyak berfikir dan melamun, menjadikan Retno tak lihat jalan.
Memang dia melihat hanya sekilas saja serta mata yang tidak berkedip. Kalau Retno berkedip walau hanya sekali, pasti pemandangan itu akan langsung berubah. Karena itu ia berusaha menghilangkan pikiran buruk dari kepalanya.
"Apa mataku sudah bertambah min-nya, ya. Sehingga apa yang aku lihat tadi seperti ada benda yang bergerak," gumam Retno lirih seraya masih berdiri mematung. Ia belum juga mengambil salep yang berada di lemari dapur bagian atas.
"Ah, sudahlah. Siapa tahu karena aku selalu melihat jarum yang bergerak. Jadinya mataku agak geser sedikit. Melihat segala sesuatu jadi ikut bergerak juga," ucapnya kemudian.
Setiap harinya pekerjaan Retno memang menjahit. Sejak dia memutuskan untuk memantapkan profesinya yang sekarang ,dari yang tadinya hanya berkebun untuk mengisi kesibukan setiap harinya. Selain dia aktiv menjadi seorang ibu PKK, jadi setiap harinya Rasti punya kesibukan dengan menerima jasa menjahit dari warga sekitar.
Sedangkan pekerjaan Dibyo adalah sebagai seorang perangkat desa dengan jabatan sebagai sekretaris desa. Akan tetapi semua warga lebih mengenal dengan sebutan carik di desa tersebut. Karena itu sebagai istri, Retno sering disebut Bu Carik oleh warga setempat.
"Bune! Mana salepnya, Bapak sudah mandi ini!" Dibyo kembali memanggil istrinya yang sejak tadi sibuk melamun.
Selain melamunkan kejadian barusan, Retno sempat melirik pekerjaannya yang tadi sempat tertunda.
Pemandangan di wastafel sudah menumpuk piring yang antri menunggu untuk dibersihkan. Bahkan piring-piring kotor itu seakan menatap Retno dengan penuh amarah mengapa dirinya belum juga bertengger di rak kembali. Mereka seakan protes karena tidak biasanya majikannya itu membiarkan mereka dalam keadaan kotor dan bau amis.
Retno terkesiap karena panggilan suaminya. Karena itu dia buru-buru untuk segera mengambil salep dan alat kompres. Setelah semua benda tersebut didapat, dia segera berjalan cepat menuju kamar. Takut suaminya marah lagi dan berakhir dengan ceramahnya yang sungguh tidak mengenakkan hati.
"Iya, Pak! Ini lagi jalan!" jawab Retno dengan berjalan terburu.
Setelah sampai di kamar, barulah Retno segera mengompres lepuhan tadi dengan air dingin agar tidak bengkak dan nyerinya berkurang. Setelah itu barulah dia mengoleskan salep agar terasa adem dan lukanya cepat kempes.
"Gatal sekali, Bune. Rasanya pingin tak garuk."
"Jangan digaruk berlebihan, Pak. Takutnya lepuhan itu menjadi pecah. Jangan pula ditusuk itu cairan dalam gelembungnya, nanti bisa infeksi."
Retno menasehati suaminya agar tidak melakukan hal lebih. Takutnya kalau tidak diperingatkan, gelembung lepuhan itu pasti bakal dipecah oleh Dibyo. Mengingat suaminya itu bukan orang yang sabaran.
"Hubungi Dhea ya, Bu. Biar dia yang merawat luka Bapak. Pasti nanti langsung ditangani oleh dia dan bisa secepatnya sembuh," pinta Dibyo pada istrinya untuk menghubungi anak kesayangannya yang seorang calon bidan itu.
"Luka begini nanti juga kempes sendiri, Pak. Tak perlu nyuruh Dhea untuk pulang. Kasihan, takutnya nanti dia sedang sibuk. Bukankah belum lama ini dia sudah pulang pas libur semester. Kalau tidak ada halangan, bukankah setahun lagi dia juga bakal lulus."
Jawaban Retno ada benarnya juga. Pasalnya sebentar lagi anak gadis kesayangan Dibyo itu akan menjadi seorang bidan kebanggaan sang ayah. Itupun jika tidak ada halangan. Ayah mana yang tak bangga dengan nama besar yang akan tersemat pada anak perempuan kesayangannya itu.
Bagi orang desa, menjadi bidan adalah suatu kebanggaan tersendiri dan paling unggul dari semuanya. Karena rata-rata untuk sebagian orang desa, anak-anaknya bisa sekolah sampai jenjang SMA saja sudah beruntung. Kebanyakan orang tuanya tak mampu lagi menguliahkan anaknya karena dari segi biaya yang cukup membuat berpikir beberapa kali.
Beruntung Dhea menjadi anak seorang carik, yang cita-citanya akan selalu diwujudkan oleh sang ayah apapun caranya. Semua orang juga tak heran karena Dibyo adalah salah satu warga yang sangat mampu di desanya. Bahkan terbilang kaya dengan berbagai bisnis serta banyak tanah.
Selain cantik, Dhea tergolong tergolong anak yang cerdas. Sejak masih SD selalu mendapat peringkat satu dengan nilai ujian maksimal hampir seratus. Tak heran jika gadis itu bisa dengan mudah memasuki akademi kebidanan dengan mudah.
Untuk mewujudkan impian menjadi seorang bidan, Dhea kuliah kebidanan melalui jalur bea siswa karena terpilih sebagai lulusan siswa terbaik di SMA favorit. Meskipun bea siswanya tidak full.
"Kalau begitu, Salsa saja yang ke sini. Bapak kangen dengan anak-anak. Kalau Dhea tak bisa pulang, minimal Salsa yang pulang."
"Tapi Salsa sedang hamil besar, Pak. Kasian dia. Pasti suaminya tidak punya waktu untuk antar ke sini. Kemarin dia menelpon kalau suaminya sedang dinas ke luar kota, tugas dari kantor."
Dibyo merenung diam. Dalam keadaan dia sakit begini, justru anak-anaknya tidak bisa merawatnya. Yang ada hanya istrinya saja yang bisa ia andalkan, meskipun lelaki itu kerap kali menyakiti hati Retno. Bahkan sampai saat ini istrinya itu tidak sadar kalau dia sedang disakiti kembali.
Kejadian beberapa tahun lalu kini terulang lagi.
Sulit memang merubah watak seseorang. Apalagi nama yang tersemat sebagai lelaki yang suka main wanita tidak pernah hilang dari diri Dibyo. Sekali dimaafkan oleh sang istri, bukannya Dibyo tobat dan berubah. Justru dia semakin gila dalam berpetualang dengan satu wanita kepada wanita lainnya.
Semua warga sudah hafal dan tidak kaget lagi, bahkan sudah menjadi rahasia umum kalau Dibyo sebagai Pak Carik adalah seorang lelaki yang doyan main perempuan. Tapi mereka hanya diam karena Dibyo adalah seseorang yang berkuasa dengan jabatannya. Sedikit salah dengannya, maka masalah pasti mengintai.
Biarlah waktu yang akan membuatnya jera, toh semua perbuatan akan ada pertanggung jawabannya.
"Sekarang lebih baik Bapak tidur saja. Nanti pasti akan kempes dengan sendirinya."
Dibyo menurut akan perkataan istrinya.
"Oh ya, Pak. Shalat isya lebih dulu kalau mau tidur."
"Hem."
Hanya itu jawaban dari Dibyo. Dia juga sudah hafal dan tidak kaget kalau istrinya memang cerewet dalam masalah rukun islam tersebut.
"Ibu tinggal ke dapur ya, Pak. Mau nyuci piring."
Tidak ada sahutan, Retno lebih baik berlalu saja dari ruangan kamar. Dia sudah tahu kalau suaminya itu sedang gusar. Karena itu lebih baik menghindarinya.
**
"Kok rasanya panas sekali, ya. Nggak seperti biasanya aku seperti ini," keluh Dibyo saat terbangun dari tidurnya.
Dia terduduk di tepi ranjang dengan balutan piyama panjang dalam pencahayaan remang-remang lampu kamar. Lalu beranjak untuk menyalakan kipas angin yang terpasang di dinding kamar. Setelah itu dia mengintip ke jendela kamar yang ternyata gelap dan sedikit berkabut.
"Kalau ada kabut begitu biasanya hawanya dingin. Tapi mengapa badanku terasa panas sekali," gerutu Dibyo seraya berjalan mondar-mandir di ruang kamarnya yang cukup luas. Udara yang terombang-ambing oleh kipas angin juga tak mampu mendinginkan hawa panas di tubuhnya.
"Air, bagaimana kalau aku berendam saja dalam bak mandi. Atau ... minum es dulu, siapa tahu kalau sudah minum es hawa panasnya akan hilang dan menjadi adem."
Dibyo hendak ke dapur untuk mengambil air minum. Sebelumnya dia menyalakan lampu kamar hingga terang benderang menyinari seluruh kamar. Karena itu dia bisa melihat semuanya dengan jelas.
Saat sedang menyalakan saklar itulah baju panjang di tangan kanannya tersingkap ke bawah. Bukan main kagetnya Dibyo saat melihat pemandangan baru yang ia lihat.
"Bune!!!" jerit Dibyo melihat kedua tangannya sudah dipenuhi gelembung setelah kedua lengan panjangnya disingkap ke atas. Padahal magrib tadi baru tangan kiri yang melepuh. Itu pun belum merata.
Tangan kanan Dibyo sudah melepuh merata, entah sejak kapan gelembung lepuhan itu muncul. Mungkinkah saat ia tidur? Cepat sekali menjalarnya, hanya dalam hitungan jam saja. Sejak lelaki itu terbangun dari tidurnya diwaktu dini hari karena kepanasan dalam tubuhnya, dia belum menyadari akan hal itu.
Dirabanya kembali kedua tangannya sampai atas. Dibyo kembali terkejut saat gelembung lepuh itu sudah merata dari bagian punggung tangan sampai siku di seluruh bagian kedua tangannya. Hanya sedikit jarak yang menjadi sekat antara gelembung satu dengan gelembung lainnya.
"Bune ...!!! Bangun, Bune!!!" teriak Dibyo lagi sambil menepuk tubuh istrinya dengan keras.
