Bab 4
"Sudahlah, Pak. Tidak usah kita pikirkan ini air apa. Yang terpenting Bapak ganti baju, nanti keburu telat. Soal air ini, biar Ibu nanti yang beresin."
Retno membantu Dibyo untuk berdiri. Namun, karena lupa kalau kulit suaminya sedang melepuh, asal saja dia memegang tangan lelaki berperangai angkuh itu dengan keras. Tak pelak Dibyo menjerit kesakitan akibat ulah sang istri.
"Hati-hati, Bune! Lupa, ya, kalau Bapak sedang sakit. Padahal baru semalam, tapi sudah lupa. Perasaan belum tua amat, kok sudah linglung saja." Dibyo menarik kasar tangan yang dipegang oleh istrinya. Berikut wajah murka yang ia perlihatkan.
Rasa sakit ditambah perasaan super kesal terhadap sang istri, membuat Dibyo ingin mendorong istrinya ke lantai. Biar Retno merasakan apa yang sedang dirinya rasakan. Mungkin kalau bisa, segala penyakit yang sedang diderita lelaki itu, dengan senang hati jika berpindah kepada istrinya.
Memang dasarnya Dibyo orangnya yang sangat emosian, serta seenaknya sendiri. Dia menjadi lelaki yang tidak suka jika ada orang lain memperlakukan dirinya yang tidak sesuai dengan keinginannya. Termasuk oleh istrinya sendiri.
"Maaf, Pak. Ibu refleks, sekali lagi maaf," ucap Retno menunduk.
"Alah ... emang dasarnya aja pelupa. Atau jangan-jangan ... sengaja?!'
"Astaghfirullohal adzim, Bapak. Nggak mungkin lah Ibu begitu," kilah Retno kaget kenapa suaminya mempunyai pikiran yang jahat seperti itu. Rasanya tak mungkin kalau seorang wanita model halus dan kalem seperti dia bisa melakukan hal tersebut.
Sedang keduanya terdengar seperti saling debat, muncullah Surti yang datang dari arah samping rumah secara diam-diam. Jarak rumahnya dengan rumah Retno yang hanya dua rumah, membuat ia terbiasa melalui rumah tersebut jika akan membeli sayur.
"Ada apa, Mbak Retno? Itu Pak Carik kenapa?" Agak tergopoh Surti mendekati keduanya karena yang terdengar di telinga Surti seperti sedang bercengkerama keras. Wanita itu sungguh tidak tahu kalau ternyata Retno dan Dibyo sedang bertengkar.
"Eh, Surti," kaget Retno karena kedatangan Surti yang tiba-tiba.
"Ini, Sur. Bapak terpeleset," jawab Retno memberi tahu.
"Kok bisa, Mbak. Perasaan lantainya tidak licin."
"Ada genangan air di depan pintu, Sur. Bapak tidak melihatnya, jadi terpeleset."
"Oh, begitu. Padahal tidak hujan, ya. Kalau begitu sana ajak Pak Carik ganti pakaian, Mbak. Biar aku bantu bersihkan genangan air ini," tawar Surti cepat. Dia juga melihat sepertinya Dibyo sangat kesakitan.
"Terima kasih ya, Sur."
"Iya, Mbak," jawab Surti sembari tersenyum tulus.
Surti langsung menuju pintu belakang rumah Retno untuk mengambil alat pel. Dia sudah hafal lekuk rumah wanita yang sudah dianggap sebagai orang terdekat tersebut sekaligus majikannya itu.
Tanpa perlu bertanya, wanita muda itu langsung membersihkan sisa genangan air tersebut sampai beres. Meskipun saat membersihkan lantai perutnya sempat mual, hingga pada akhirnya Surti memberikan pewangi lantai untuk menghilangkan bau yang sungguh membuat isi perut ingin berdesakan keluar.
"Ya ampun ... air apa tadi? Baunya kok kayak bangkai." Surti bergidik dengan menutupi menutupi hidungnya.
Di kamar mandi, Retno sedang membantu menggantikan pakaian yang sudah basah tersebut dengan handuk. Dengan pelan dan hati-hati sekali ia lepaskan pakaian yang sudah berbau tersebut agar gelembung pada kulit tidak sampai pecah.
"Semua gara-gara air sialan itu! Kalau begini Bapak bisa telat, Bu," omel Dibyo uring-uringan.
Sedangkan Retno memilih diam, tidak menyahut omelan suaminya. Takutnya menjadi serba salah. Tidak melakukan apapun saja mendapat tudingan buruk, apalagi kalau mulut itu sampai keluar suara.
"Bune! Diajak ngomong malah diam," gerutunya lagi.
Aduh ... memang serba salah mempunyai suami tipikal Dibyo yang maunya benar sendiri. Dijawab salah, tidak dijawab tambah salah.
"Nanti ngomong saja mengapa bisa telat, Pak. Pasti Pak Lurah mengerti." Akhirnya Retno membuka mulutnya.
"Bapak harus jujur kalau terpeleset?! Bisa-bisa jadi bahan tertawaan nanti."
"Kalau begitu terserah Bapak. Mau kasih alasan apa."
Retno tidak mau berdebat lagi. Yang penting tugasnya segera selesai dan suaminya segera berangkat, meskipun ingin sekali rasanya menutupi hidungnya karena bau bangkai yang sudah melekat di pakaian sang suami. Namun, dia urungkan karena takut nantinya Dibyo tersinggung. Bukannya masalah cepat selesai, malah menambah masalah baru.
"Ayo kita keluar, Pak. Biar Ibu kasih salep dan bantu pakai baju yang bersih," ajak Retno setelah semua pakaian yang basah terlepas.
Keduanya pun sama-sama menuju kamar. Retno mengambilkan pakaian bersih dari lemari seperti yang tadi dipakainya. Tumben sekali Dibyo tidak protes terhadap pakaian yang diambilnya. Mungkin lelaki itu tergesa, yang penting cepat kelar.
"Ibu oleskan salep dulu ya, Pak. Biar rasanya adem. Tadi Ibu lupa tidak olesin salep sebelum memakai baju."
"Cepat tapi, Bune," pinta Dibyo.
"Sekalian minum obat pereda nyeri ya, Pak. Untuk jaga-jaga," tawar Retno sambil mengoleskan salep pada gelembung lepuhan.
"Tak usah lah. Kelamaan, takutnya nanti telat."
Retno cukup mengangguk mengiyakan. Meski menawarkan perbuatan baik sekalipun, kalau Dibyo tidak berkenan, maka semuanya salah. Bukannya berterima kasih, melainkan kemarahan yang lelaki itu tampakkan.
"Sudah selesai, Pak. Belum begitu telat, kok," ucap Retno sembari melihat jam dinding yang terpasang di dinding kamar setelah Dibyo sudah siap untuk berangkat kembali.
Dibyo berjalan terburu setelah ia nampak rapi seperti tadi. Lelaki itu tidak melewati pintu depan, melainkan lewat pintu belakang. Hampir saja bertabrakan dengan Surti yang sedang menenteng alat pel dan ember.
"Kalau jalan pakai mata, Sur!"
Suara keras Dibyo bahkan seperti bentakan hingga membuat Surti kaget. Padahal jelas-jelas yang berjalan terburu adalah dirinya sendiri.
"Iya, Pak. Maaf," jawab Surti menunduk. Setelah itu mengusap dadanya dengan pandangan tak lepas dari Dibyo.
Surti agak heran melihat penampilan majikannya kali ini. Tidak biasanya wanita yang masih muda tersebut melihat Dibyo dengan penampilan begitu tertutup.
Baju koko panjang yang biasanya hanya dipakai pas acara keagamaan, memakai sarung tangan, serta masker. Padahal biasanya selalu memakai pakaian santai.
Surti hapal benar jadwal pakaian kantor Dibyo dari hari senin sampai jumat. Khusus hari jumat, biasanya atasan kaos karena sudah diagendakan bersih-bersih kantor bersama staf lainnya.
Sedang memperhatikan Dibyo yang sudah berlalu dengan kuda besinya, pikiran Surti penuh pertanyaan. Kemudian muncullah Retno dari pintu belakang.
"Sudah, Sur, ngepelnya?" tanya Retno dengan senyum mengembang khasnya. Wanita itu memang selalu menampakkan senyum meski kadang suasana hati tak sesuai dengan apa yang terlihat di luar.
"Sudah, Mbak. Sudah bersih dan sudah aku semprotkan pewangi lantai," jawab Surti dengan tersenyum pula.
"Mbak, itu kenapa Pak Carik berpakaian seperti itu?"
"Bukannya sejak tadi berpakaian seperti itu? Pas terpleset juga seperti itu."
"Maksudnya ... kenapa tertutup seperti itu? Bukannya ini hari bebas? Biasanya kalau hari jumat bukannya pakai kaos, Mbak?"
"Ceritanya panjang, Sur. Ayo kita bicara di dalam. Nggak enak dilihatin ibu-ibu." Wajah Retno menunjuk ke arah kerumunan ibu-ibu yang mengelilingi tukang sayur.
Entah perasaan Retno yang sedang sensitif atau tidak enakan, pandangan ibu-ibu yang sedang mengerumuni tukang sayur tiba-tiba memandang ke arahnya, membuat hatinya tersinggung. Dalam pikiran wanita itu berpikir kalau dirinya sedang jadi bahan perbincangan mereka semua.
Surti melihat ke arah tukang sayur. Memang benar, dia juga merasa kalau sedang jadi bahan gunjingan. Apalagi ada satu orang yang super julid, yang sekali ucapan itu keluar dari mulutnya, maka semua orang bisa terpengaruh oleh omongannya.
Retno mengajak Surti masuk melalui pintu belakang seperti biasanya karena pintu depan telah tertutup. Apabila tidak ada tamu, jarang sekali pintu itu terbuka. Semua tetangga dekat jika ingin ada keperluan, langsung masuk lewat pintu belakang.
"Jadi gini ceritanya, Sur." Retno mengawali pembicaraan dengan Surti. Kemudian dia bercerita dari awal sampai akhirnya Dibyo terpeleset. Tak ada yang terlewat, hanya perihal tentang perkara shalat saja yang dipotong. Baginya itu adalah hal yang sangat privasi.
Lega sekali perasaan Retno setelah meluapkan segalanya pada Surti. Bagi Retno, Surti tak hanya pekerja sawah bengkok miliknya saja. Akan tetapi lebih kepada orang yang sangat dipercaya.
Semua rahasia Retno, hanya Surti yang pegang. Wanita itu tidak percaya kepada siapapun selain dirinya.
"Jadi begitu ceritanya ya, Mbak?" Surti manggut-manggut.
"Maaf sebelumnya, Mbak Retno. Kalau mengenai genangan air di lantai itu, apakah Mbak tahu siapa yang menaruhnya? Sepertinya tak mungkin kalau air itu datang sendiri. Kalau air biasa ya mungkin saja, tapi air itu bau bangkai, Mbak" tanya Surti selanjutnya.
"Kamu juga mencium bau bangkai pada air itu, Sur? Berarti penciumanku tidak salah kalau kamu pun begitu." Retno malah balik bertanya.
"Aku tidak tahu, Sur," jawab Retno akhirnya dengan menggelengkan kepalanya.
"Kalau Bapak tidak terpeleset, mungkin sampai sekarang aku tidak tahu. Kamu 'kan tahu sendiri kalau pintu depan jarang sekali dibuka. Palingan pas pagi kalau sedang menyapu lantai saja," lanjutnya.
"Aneh juga ya, Mbak? Apakah air itu ada hubungannya dengan perihal penyakit Pak Carik semalam? Kalau dipikir, padahal Pak Carik juga tidak punya alergi sama sekali."
"Maka dari itu, Sur. Sudahlah, tak usah dipikirkan lagi. Tak usah dihubungkan semua kejadian itu dengan yang lainnya. Nanti malah kepanjangan cerita jadinya. Ayo kita keluar, nanti keburu tukang sayurnya pergi," ajak Retno kemudian. Padahal pikirannya sudah sedikit terpengaruh oleh ucapan Surti. Tapi setelahnya dia berusaha untuk menghilangkan pikiran tersebut.
"Ayo, Mbak." Surti pun berdiri.
"Eh, kamu duluan aja, Sur. Aku belum ambil uang. Aku ambil uang dulu, ya."
"Baiklah, Mbak. Aku sambil jalan." Surti pun berjalan keluar lebih dulu dengan berjalan pelan sambil menunggu Retno.
**
"Eh, semalam kalian dengar suara jeritan nggak?" Pertanyaan Bu Rodiyah memancing ibu-ibu untuk berkomentar.
"Iya, saya dengar, Bu. Kalau didengar-dengar ... kok suaranya mirip Pak Carik, ya?" Komentar pertama dari Bu Samirah yang rumahnya berdekatan dengan Retno.
"Iya, saya juga mendengar. Tapi tidak begitu jelas," sahut Bu Yati.
"Saya juga berpikir seperti itu, Bu Samirah. Jelas sekali kalau itu suara Pak Carik. Jeritannya itu seperti orang yang sedang kesakitan," timpal Bu Rodiyah.
"Memangnya Pak Carik sakit apa, Bu Rodiyah? Perasaan baik-baik saja. Bu Carik juga baik-baik saja sepertinya," sela Bu Yati ingin tahu.
"Saya juga tidak tahu, Bu Yati. 'Kan saya cuma mendengar."
Ketiganya saling bercerita tentang apa yang mereka dengar semalam, meskipun belum tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sedangkan yang lain hanya mendengarkan serius tanpa berkomentar.
Sambil memilih sayur apa yang akan mereka beli, memang asyik sekali sambil bicara ngalor ngidul sebagai bumbu. Bahkan membuat mereka semua lupa waktu dan tujuan.
"Kali aja Pak Carik kena azab loh ibu-ibu," celetuk Bu Rodiyah tiba-tiba.
Mendengar Bu Rodiyah berbicara seperti itu, yang lain tambah penasaran dengan omongan ibu satu ini. Pasalnya, biasanya apa yang diucapkan olehnya adalah kenyataan meskipun belum banyak orang yang mendengar.
Istilahnya kalau Bu Rodiyah itu adalah telinga lintah. Selain mulutnya yang tajam, telinganya juga tajam pendengaran. Dia selalu mendengar kabar berita yang orang lain belum mendengarnya.
"Azab gimana maksudnya, Bu Rodiyah?" tanya Bu Yati dengan kening berkerut.
"Iya, Bu Rodiyah. Kalau bicara yang jelas biar tidak jadi salah paham. Saya yang rumahnya dekat saja tidak mendengar apa-apa," tambah Bu Samirah.
"Ya gitu deh, ibu-ibu. Saya tak mau melanjutkan, takut jadi fitnah. Tapi ya ... yang namanya bangkai itu, mau disembunyikan berapa lama juga bakal pada tahu nantinya. Ya nggak?" ucap Bu Rodiyah membuat semua orang semakin penasaran.
"Langsung saja, Bu Rodiyah. Tidak usah muter-muter kayak gasing," sahut Bu Yati semakin penasaran. Diikuti oleh ibu-ibu lainnya.
"Nanti kalian juga bakal tahu."
"Bu Rodiyah ini gimana sih, kalau bicara itu diteruskan, jangan setengah-setengah. Ini malah main tebak-tebakan, bikin orang semakin penasaran saja," cerocos Bu Yati. Dia mendesak agar Bu Rodiyah melanjutkan bicaranya.
"Iya, Bu Rodiyah. Kalau kami nanti jadi hantu penasaran, gimana coba?" desak yang lain.
"Emangnya dah pada mau mati? Ada-ada aja nih, ibu-ibu," seloroh Bu Rodiyah bercanda.
"Yeee, Bu Rodiyah. Tahu gitu, sekalian aja nggak usah ngomong. Betul nggak, ibu-ibu?!" Bu Yati mengompori yang lainnya.
"Betul, Bu Rodiyah!" sahut yang lain bergantian.
"Kalau gitu, saya mau kasih berita terbaru yang membuat kalian pasti terkejut." Bu Rodiyah mengalihkan pembicaraan agar ibu-ibu tidak mendesaknya lagi. Dengan kedua alis terangkat naik turun, membuat ibu-ibu semakin yakin kalau apa yang akan disampaikan pasti serius.
"Apa itu, Bu? Berita tentang siapa?" Bu Samirah sangat penasaran sampai-sampai memajukan badannya.
Tak hanya Bu Samirah, semuanya pun ikut memajukan badannya agar mendengar dengan jelas. Sontak, reaksi ibu-ibu tersebut membuat tukang sayur geleng kepala.
"Dasar ibu-ibu, senengnya ghibah," celetuk abang tukang sayur.
"Hussstt ... Abang diam!" sentak semuanya menoleh ke arah tukang sayur dengan menunjukkan satu jari di mulut mereka.
Akhirnya abang tukang sayur pun diam dan ikut mendengarkan.
"Dengerin baik-baik, ya. Kalian sudah pada tahu belum, kalau Pak Carik itu ternyata ...."
Ehem ehem ehem!!!
Belum sempat Bu Rodiyah melanjutkan bicaranya, muncullah Surti yang datang secara tiba-tiba.
