Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3

"Pak, bangun. Sudah siang ini, lihat tuh jam dinding sudah menunjukkan angka 6.30. Bukannya Bapak harus masuk kantor hari ini."

Retno berusaha membangunkan Dibyo dengan cuitan panjangnya tapi dengan cara yang sangat lembut seperti biasa, akan tetapi tetap saja suaminya itu tidak kunjung membuka mata. Malah lelaki itu menarik selimutnya untuk menutupi tubuhnya kembali.

Hingga akhirnya Retno terpaksa membangunkan dengan jurus andalannya, yaitu sedikit menepuk tubuh Dibyo berulang kali. Karena biasanya dengan begitu suaminya itu akan cepat respon.

"Pak! Katanya tadi minta dibangunin. Ini sudah siang, sebentar lagi Bapak harus siap-siap berangkat ke kantor balai desa."

"Bukannya pagi ini hujan? Kalau hujan paling nanti pada berangkat telat," gumam Dibyo dengan mata yang masih terasa sepet. Rasanya enggan sekali dia membuka mata. Apalagi hawanya sedang enak untuk meneruskan mimpi.

"Kata siapa hujan, Pak. Tuh lihat, matahari sudah tersenyum menampakkan sinar. Orang-orang juga sudah pada pergi ke sawah," jawab Retno panjang sambil dirinya beranjak menuju jendela, kemudian menyibak korden. Berharap kalau Dibyo silau akan cahaya yang masuk menerobos ke jendela kamar.

Dibyo membuka mata sambil menyipit. Cahaya yang masuk berhasil membuat matanya silau. Dalam cahaya pagi yang cukup cerah, dirinya seakan tak percaya.

"Bagaimana mungkin pagi ini sangat cerah? Padahal semalam berkabut tebal. Telingaku sepertinya juga tak salah kalau semalam mendengar sudah ada satu dua titik gerimis," gumam Dibyo tak percaya.

"Bapak barusan mimpi hujan kali. Buktinya terang benderang, bahkan pagi ini sangat cerah."

Benar saja, apa yang dikatakan Retno benar adanya. Bahkan telinganya juga mendengar teriakan dari tukang sayur yang memanggil ibu-ibu untuk berbelanja.

Celotehan ibu-ibu juga sudah terdengar berisik saling bertanya dan menawar. Padahal pagi ini baru satu tukang sayur yang datang, belum lagi nanti tukang sayur selanjutnya. Seakan-akan halaman rumah Dibyo tak pernah sepi pengunjung karena dijadikan tukang sayur untuk tempat mangkal dikarenakan halamannya yang sangat luas.

"Tuh 'kan ... Bapak telat lagi shalat subuhnya?" ujar Retno sambil membuka pintu jendela. Dalam berucap tentunya sangat hati-hati karena takut suaminya akan merespon dengan kekesalan seperti semalam.

"Bawel banget sih, Bu, jadi istri! Sudah tahu suami sedang sakit, masih saja ceramah yang tidak penting. Pakai nyindir, lagi," sahut Dibyo dengan memasang muka tidak suka.

Lelaki itu sungguh tak suka dinasehati oleh istrinya. Bagi Dibyo, seharusnya yang berhak menasehati adalah seorang suami, bukannya istri. Ini malah kebalikannya, seakan selalu menimpakan kesalahan pada Dibyo.

"Bukannya Ibu yang nyuruh Bapak untuk tidur lagi! Kenapa sekarang malah menyalahkan. Yang ada itu salah kamu, Bune! Bukan salah Bapak. Berarti dosa yang tanggung kamu!" tuding Dibyo yang diarahkan ke wajah Retno.

Kasar sekali perkataan Dibyo. Bahkan menyebut nama panggilan istrinya saja sudah berubah saking kesalnya tidak mau disalahkan.

"Dikit-dikit ceramah. Ada apa sedikit langsung ceramah panjang lebar. Sudah kaya ustadzah saja. Menyebalkan! Tau gini terus, ogah aku dulu nikah sama kamu."

"Astaghfirullahal adzim ... Bapak," ucap Retno kemudian menutup mulutnya dengan tangan. "Kok malah begitu."

"Sudah! Nggak usah nyebut terus. Berisik! Bikin telinga gatal saja. Sana bikinin Bapak sarapan."

Setelah menggerutu panjang, lantas Dibyo beranjak dari tempat tidurnya dengan kesal. Membuang mukanya, serta melemparkan selimut dan bantal dengan asal. Dengan nyawa masih belum penuh dia terpaksa berjalan ke kamar mandi karena merasa terusir oleh kehadiran Retno.

Retno mengusap-usap dadanya sambil mengucapkan istighfar berkali-kali. Dalam hatinya ia berharap kalau suaminya kelak bisa sadar akan keteledorannya. Wanita itu juga berharap kalau hati Dibyo akan terketuk dan bersikap lebih lembut padanya seperti dulu.

Perasaan ... Retno sudah berusaha melayani suaminya sebaik mungkin dan bertutur kata sangat lembut. Memang kalau perkara shalat, seorang istri hanya bisa mengingatkan. Karena hanya itu yang bisa dilakukan.

Tetapi kenapa sampai memiliki dua anak, seakan hati Dibyo belum bisa menerima pernikahannya dengan wanita yang kini sudah menemaninya sampai umur pernikahan 25 tahun lebih. Bahkan Dibyo belum bisa meninggalkan sifat buruknya sampai sekarang.

Retno berjalan menuju kamar ranjang yang berantakan. Dia merapikan bantal ke tempat semula, juga melipat selimut yang berserak dengan rapi.

Sambil mengerjakan pekerjaan itu, dada Retno terasa sesak. Seakan dia sedang menahan air matanya agar tidak tumpah. Meski pada akhirnya satu tetes telah jatuh dari pelupuk mata membasahi pipi dan terjun ke bawah. Namun, dia tidak boleh cengeng di hadapan suami. Bukankah dari Salsa masih dalam buaian sampai kini anak pertamanya itu sudah berumah tangga, julukan wanita kuat masih tersemat dalam diri Retno?

Kuat dalam menanggung segala resiko yang sudah diambilnya. Memang Retno akui, dia dan Dibyo menikah dengan cara dijodohkan. Tapi apakah hati seorang Dibyo masih saja belum terbuka sampai sekarang? Sedangkan batu saja apabila setiap hari ditetesi air akan bisa terkikis juga.

Ah, kalau ingat masa lalu, serasa dada Retno seperti dihimpit oleh sebuah gunungan batu besar. Bukan hanya sesak, tapi rasanya seakan tak bisa bernafas.

'Ya Allah ... lembutkanlah hati suamiku,' batin Retno setelah semuanya beres.

Kemudian dia keluar kamar berjalan beranjak ke dapur untuk menyiapkan masakan yang sudah dimasaknya sejak selepas subuh tadi untuk suaminya. Setelah semuanya terhidang, barulah Retno berkutat pada wajan serta peralatan kotor yang digunakan seusai memasak. Mereka pun mengantri untuk minta dibersihkan.

Kini giliran menyapu lantai yang akan ia kerjakan sambil mendengar alunan mesin cuci yang sedang berputar. Sekali merengkuh dayung, dua pekerjaan bisa dilakukan bersamaan.

Belum ada separuh jalan sapu itu berlenggang di atas lantai keramiknya, suara lengkingan terdengar dari kamar milik Retno.

"Bune!!!" teriak Dibyo kencang.

Suara pagi ini bukan lagi lagu baru untuk Retno. Bahkan iramanya sangat sering terdengar semenjak semalam. Dibyo seperti orang tantrum. Sejak bagian tubuhnya melepuh muncul semalam, lelaki itu terlalu sering melengking menyebut namanya.

"Bune!!" ulang Dibyo memanggil istrinya karena Retno tak kunjung datang.

"Iya, Pak!" Retno segera menghampiri. Sepertinya suara suaminya kali ini sangat terdengar tidak sabar.

"Kalau dipanggil itu langsung mendekat. Kamu budeg, ya? Suami memerlukan bantuan tapi tidak peka," gerutu Dibyo kasar. Sikapnya gusar, kasar dan penuh amarah. Serasa Retno ingin dilahapnya hidup-hidup.

"Iya maaf, Pak. Pekerjaan Ibu di dapur banyak."

"Kamu boleh bekerja kalau Bapak sudah pergi ke kantor. Hidup tidak kekurangan uang, masih saja berkilah. Layani dulu suamimu, baru kerjakan apa yang disukai. Itu baru namanya istri pengertian."

Giliran Dibyo yang menceramahi istrinya. Sekarang ini seakan semua yang dikerjakan oleh istrinya itu tidak ada benarnya.

Entahlah apa yang terjadi pada diri Dibyo. Dia memang biasa berteriak, tapi tidak keterlaluan seperti ini. Bahkan lelaki itu sampai mengumpat kata kasar pada istrinya.

Retno mengira ini karena efek sakit yang sedang di derita suaminya, karena itu dia harus bersabar dan banyak mengalah. Yang terpenting lagi kalau dipanggil langsung ada, biar tidak kena semprot.

'Semoga aku selalu diberi kesabaran seluas lautan dan samudra ya Allah ... Siapa tahu Bapak begini karena rasa sakit yang sedang dideritanya,' doa Retno dalam hati.

"Sini! Bantu pakaikan baju ini," perintah Dibyo.

Retno mendekat ke arah suaminya. Lalu memakaikan kemeja batik yang sudah dipilih Dibyo untuk dia pakai ke kantor hari ini.

"Bukannya ini hari jumat, Pak? Kenapa memakai baju batik?" protes Retno sambil ragu untuk membantu memakaikan baju tersebut.

"Bawel! Hari jumat 'kan hari bebas. Kalau Bapak pakai kaos, yang ada nanti harus pakai manset segala. Itu 'kan ketat, apa malah ndak bahaya kalau memakai pakaian ketat. Belum lagi harus memakai kaos tangan, masker. Ribet sekali."

"Kalau begitu pakai baju koko saja, Pak. Biar rasanya lebih longgar. Kalau baju batik ini 'kan bagian lengannya pas-pasan. Nanti resiko gesekan antar kulit lebih besar. Jadi tangan Bapak terasa sakit saat kulit terkena kain," saran Retno. Ia merasa kalau sarannya kali ini yang terbaik.

"Ibu pikir mau jumatan?! Ini mau ke kantor. Lagian acaranya juga bersih-bersih desa, malah pakai baju koko. Gimana sih kamu ini." Dibyo tetap tak menerima saran dari istrinya.

Dari pada menimbulkan keributan pagi hari, lebih baik Retno mengalah diam. Dia lalu menuruti apa yang menjadi kemauan sang suami. Wanita itu tidak mau mengawali pagi hari dengan kegaduhan karena rasa itu bisa terbawa sampai sore hari.

Tapi dasar lagi marah, malah kemarahan itu ditambah lagi. Ibarat sedang tertimpa musibah, maka musibah lain akan antri ikut berdatangan.

Baju batik yang sudah terpakai rapi di badan Dibyo, pada sisi tangan digunakan untuk bergerak. Alhasil terjadilah gesekan yang membuat lelaki angkuh itu kesakitan.

"Aauu!!! Kenapa rasanya sesak sekali," jerit Dibyo kala kulitnya bergesekan dengan baju yang tidak begitu longgar.

"Apa Ibu bilang. Lepas saja, Pak. Dari pada terasa sakit. Atau Bapak ijin tidak masuk kantor saja kalau begitu," saran Retno dengan hati-hati.

"Baiklah, Bapak ikuti saran Ibu. Dari pada tidak masuk kantor, lebih baik ganti saja dengan baju koko panjang, Bune. Nanti malah jadi bahan pertanyaan orang sekantor kalau Bapak tidak masuk. Lagian tiga hari kemarin sudah ambil cuti, meskipun tugas kantor. Bapak sedang tidak mau ada masalah lagi dengan Pak Lurah."

"Bukannya empat hari Bapak cuti. Kok tiga hari? Bapak berangkat hari senin, pulang hari kamis sore." Kening Retno berkerut.

"Iya, iya. Mau tiga, mau empat, sama saja. Yang penting cuti tugas kantor."

Retno diam mengakhiri perdebatan. Kemudian membantu mengganti baju batik dengan baju koko. Tentunya dengan sangat pelan dan hati-hati. Takut suaminya menjerit kesakitan.

Setelah baju koko panjang terpakai rapi, barulah tangan Dibyo dipakaikan sarung tangan. Tak lupa dia membawa masker untuk menutupi wajahnya karena dalam pantulan cermin wajah Dibyo mulai terlihat kemerahan. Sebelum pergi barulah lelaki itu menuju meja makan untuk sarapan.

Retno tidak menemani suaminya sarapan karena suara mesin cuci sudah berhenti. Itu tandanya cuciannya minta untuk dikeringkan. Dia membiarkan Dibyo sarapan sendiri karena semuanya sudah terhidang di bawah tudung saji. Tinggal membukanya saja.

Baru beberapa pakaian yang dibilas, telinga Retno kembali mendengar suaminya memanggil namanya lagi.

"Bune! Apa-apaan ini. Masa lauknya hanya tahu tempe dan sayur bening. Kaya makanan orang sunat saja."

Dibyo mencela makanan yang sudah terhidang siap santap di depannya. Sepertinya dia tidak nafsu dengan makanan di hadapannya itu.

Retno mendekati suaminya ke meja makan dengan sedikit raut wajah takut. Wanita berperangai suka mengalah itu sudah mengira sebelumnya. Pasalnya Dibyo memang tidak suka lauk sederhana. Lelaki itu sudah terbiasa makan enak. Apalagi kalau seafood, itu masakan kesukaannya.

"Iya, Pak," ucap Retno setelah berada di hadapan Dibyo berjarak satu meter.

"Iya, iya! Kamu sudah kehabisan duit buat berbelanja?! Sudah tahu aku tidak suka makanan seperti ini, mengapa masih kamu hidangkan juga?!"

Lagi-lagi bentakan kasar keluar dari mulut Dibyo. Sudah menjadi kebiasaan kalau moodnya sedang berantakan, sudah dipastikan semua umpatan ia luapkan pada istrinya. Bahkan menyebut nama panggilan istrinya dengan santun pun tidak ada dalam kamusnya.

"Bukannya begitu, Pak. Tapi Bapak 'kan lagi sakit. Takutnya kalau makan yang berbau amis akan semakin melebar sakit kulitnya," jawab Retno memberi alasan.

"Bune nyumpahin Bapak?!"

"Ya nggak mungkinlah, Pak. Masa suami sendiri disumpahin."

Kalau dipikir, alasan Retno ada benarnya juga. Akan tapi Dibyo tetap tidak terima.

"Makan tahu tempe tuh nggak ada gizinya. Bikin tidak nafsu makan saja," gerutunya tidak terima.

Retno mengelus dadanya sekali lagi. Istighfar berkali-kali ia ucapkan dalam hati. Sungguh tidak ada niatan untuk membuat suaminya marah, tapi tujuan wanita itu lebih menjaga agar penyakit suaminya tidak semakin parah. Salah satunya dengan menjaga menu makanan.

"Bapak tidak jadi sarapan. Cukup minum kopi saja," ucap Dibyo, setelah itu menengguk kopi yang sudah dingin dalam satu tegukan.

"Tapi Bapak belum sarapan. Bukannya harus minum obat pereda nyeri juga."

"Nanti saja sarapannya di warung. Sudah enakan ngapain minum obat, lama-lama kuping Bapak budeg kebanyakan obat," gerutu Dibyo sembari berdiri. Kemudian dia berjalan dan menaikkan tas ke atas punggung.

Sudah berpakaian rapi tinggal pergi. Hanya sayang, Dibyo pergi meninggalkan kemarahan untuk sang istri. Setelah memakai kaos kaki, barulah lelaki itu membuka pintu utama dengan menjinjing sepatunya.

Sekali pandangannya melihat teras rumah yang basah setelah pintu terbuka. Karena itu emosinya kembali naik mengingat pagi tadi Retno menyangkal kalau hari ini tidak hujan.

"Bune! Lihat teras itu. Katanya tidak hujan tapi mengapa basah. Kamu itu, jadi istri kok senang membual," teriak Dibyo di tengah pintu. Dia tidak peduli kalau semua perhatian ibu-ibu yang sedang mengerumuni tukang sayur tertuju padanya.

Retno berjalan ke arah Dibyo berdiri. Dia melongok ke depan, ingin membuktikan apa yang diucapkan oleh suaminya itu.

Ternyata benar, teras rumah miliknya memang basah. Tapi anehnya, teras milik tetangga kering seperti tidak terjadi hujan.

"Tapi teras milik tetangga kering, Pak," jawab Retno membela diri. "Lagian ... memang semalam tidak hujan, kok."

"Alah ... alasan saja. Bisanya cuma ngeles setiap harinya," kilah Dibyo sembari melangkahkan kakinya.

Pandangannya yang ke depan tanpa melihat ke bawah, Dibyo melangkahkan kakinya. Baru satu langkah, kakinya terpeleset karena ternyata di depan pintu terdapat genangan air.

SSREEKKK ....

BUG!!!

"Aduh, Bune ...!!! Kurang ajar sekali, siapa yang menaruh air di sini!!"

"Ya Allah, Bapak!" jerit Retno kaget. Kemudian dia buru-buru untuk menolong suaminya.

Dibyo kesakitan karena sedikit terpelanting dengan bagian bokong yang terjatuh. Dia pegangi bagian pinggang yang terasa sakit, kemudian bagian bokongnya. Ternyata celana dan baju kokonya ikut basah. Setelah itu hidungnya mendengus seperti menangkap bau busuk.

"Bau apa ini yang busuk?" cari Dibyo. Dia mengedarkan pandangan, siapa tahu ada bangkai yang tergeletak di teras rumahnya.

"Iya, ya. Kok ada bau busuk?" Sahut Retno ikut mencari.

Diendusnya lagi bau tersebut yang terasa begitu dekat. Dibyo kemudian mengangkat telapak tangan yang sudah terbungkus kaos tangan yang ikutan basah karena telapak tangannya digunakan sebagai penyangga saat terpeleset tadi.

"Kok tanganku bau," ucap Dibyo yakin.

"Berarti bau busuk ini ...."

Seketika Dibyo mendengus mendekati genangan air yang masih tersisa.

"Bau busuk ini dari air ini, Bune!"

"Masa air bening berbau busuk, Pak."

Retno tak percaya dengan ucapan suaminya. Untuk meyakinkan indra penciumannya, wanita itu mendengus mendekati genangan air yang masih tersisa seperti yang dilakukan Dibyo.

"Benar, Pak. Bau busuk ini berasal dari air bening ini. Air apa ini? Terlihat bening kok busuk."

Retno dan Dibyo saling pandang tak mengerti. Keduanya seperti berpikir keras tapi otaknya belum bisa mencerna.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel