Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2

Retno gelagapan saat mendengar teriakan yang melengking memenuhi ruang kamarnya. Dia segera terbangun dengan wajah kebingungan setengah sadar. Mungkin nyawanya belum penuh memasuki raga.

Silaunya cahaya kamar membuat wanita itu menutupi matanya dengan kelima jari. Dalam kebingungan, Retno mengedarkan pandangan menyapu keadaan sekitar dengan mata menyipit mencari sumber suara. Melihat suaminya sedang meraba tangannya dengan jeritan histeris, sekala itu raut wajahnya membulat kaget.

"Bapak ...! Ada apa to, Pak?" Retno segera beranjak dari ranjang untuk mendekat di mana Dibyo sedang terduduk sambil tergugu. Dia bahkan berjalan sentoyoran dengan wajah yang masih kebingungan. Untung tidak sampai menabrak kaki ranjang seperti waktu itu menabrak kaki meja.

"Apa yang terjadi, Pak?!" pekik Retno kaget melihat suaminya kembali histeris. Setelah dilihatnya apa yang menjadi pusat pandangan suaminya, dia ikut tak kalah histeris setelah melihat apa yang sedang suaminya tangisi.

"Ya Allah, Bapak!"

Retno baru ingat kalau magrib tadi gelembung lepuhan itu masih pada sebatas punggung tangan. Tapi sekarang semakin merembet melebar.

Dibyo menoleh ke arah istrinya yang sedang mendekat. "Lihatlah, Bune. Kedua tanganku sudah melepuh semua," ujarnya dengan tergugu kembali.

Kemudian Dibyo memperlihatkan kedua tangannya yang sudah dipenuhi oleh gelembung lepuhan dengan menyodorkan kedua tangannya di hadapan Retno.

Melihat itu, rasa kaget dalam diri Retno bertambah.

"Apa aku sedang bermimpi? Cepat sekali perubahannya."

Dia berusaha mencubit lengannya sendiri serta mengusap kedua matanya kembali. Siapa tahu penglihatannya salah.

"Sakit," ucap Retno lirih. "Ini bukan mimpi," ujarnya setelah berusaha tenang bahwa apa yang sedang dilihatnya barusan bukanlah mimpi di siang bolong. Tapi benar-benar sebuah kejadian nyata.

Seketika hawa dingin menyapu tubuh Retno hingga membuat bulu kuduknya berdiri karena kedinginan. Dia melihat ke sekeliling kamar. Barulah dia tersadar setelah mendengar bunyi suara kipas angin yang sedang berputar hingga menimbulkan suara berisik.

"Bapak yang menyalakan kipas angin?" tanya Retno sambil beranjak dari pinggir ranjang. Dia berniat akan mematikan kipas itu agar hawa dingin yang menusuk berhenti dan berubah menjadi hangat kembali.

"Jangan matikan, Bune. Sejak tadi kedua tangan serta badanku terasa panas. Jadi aku sengaja menyalakan kipas itu." Dibyo melarang istrinya untuk tidak mematikan satu-satunya alat yang membuat tubuhnya sedikit terobati.

"Tapi nanti Bapak bisa masuk angin. Malah berabe, Pak, kalau masuk angin. Sebaiknya matikan saja kipasnya."

"Sudah Bapak katakan tidak usah matikan! Kenapa jadi istri ngeyel sekali sih, Bu!" bentak Dibyo tanpa memikirkan perasaan istrinya. Lelaki itu hanya tahu kalau dia sedang merasakan sakit yang campur aduk, tapi istrinya malah tidak mengerti.

Baginya, segala perintahnya tak boleh dibantah di rumah ini karena dia seorang kepala keluarga. Jadi lelaki itu yang berhak menentukan aturan.

Akhirnya Retno mengalah. Dia tidak mau banyak berdebat. Lagian waktu malam begini, satu kalimat saja pasti bisa mengusik para tetangga. Apalagi jika ia melayani omongan suaminya yang menyakitkan. Selain menimbulkan suara berisik, maka bisa dipastikan besok pagi keluarganya akan jadi bahan pertanyaan dan gunjingan tetangga.

"Cepat kipasi saja tanganku ini! Rasanya panas juga gatal, dan sangat runyam. Kipas dalam kamar juga tak mampu membuat hawa panas di badan mereda." perintah Dibyo dengan wajah kesalnya, diikuti gerutuan panjang.

Mau tak mau, akhirnya Retno mengikuti permintaan suaminya. Dia mengambil sebuah buku dalam laci kemudian mengibaskan buku tersebut di kedua tangan suaminya.

Sesekali dia merapatkan piyamanya karena kedinginan. Sudah dingin karena kipas angin, malah ditambah dengan semilir angin kecil dari buku yang dia kibaskan.

Sedang dalam menjalankan perintah suaminya, hati Retno sempat berkelana entah kemana sehingga pandangannya tidak fokus. Seperti orang sedang melamun.

Di pikirannya hanya terbesit, apakah penyebab dari penyakit yang di derita suaminya yang datang secara mendadak itu. Apalagi lukanya bukannya semakin kempes setelah diberikan salep semalam, malah bertambah banyak.

"Bapak ndak kuat, Bune. Rasanya runyam, gatal dan panas. Sepertinya Bapak mau ke kamar mandi saja."

Retno terkesiap. "Mau apa ke kamar mandi?"

Dibyo langsung berjalan cepat meninggalkan Retno yang masih mematung sendirian. Barulah wanita itu sadar setelah suaminya sudah tidak ada di hadapannya lagi.

Retno beranjak untuk mengambil salep kemudian mengejar langkah Dibyo. Setelah dirinya tiba di kamar mandi, bukan main kagetnya wanita itu melihat Dibyo sedang berendam di dalam bak berukuran satu kali satu meter itu.

"Bapak ngapain berendam dalam bak mandi?! Ini masih malam, Pak. Nanti bisa masuk angin!"

"Biarlah, Bune. Rasa panas membuatku tak nyaman."

Dibyo berusaha menahan agar kuku di jarinya tidak sampai menggaruk luka tersebut. Namun, semakin ditahan rasanya semakin tak karuan dan bertambah gatal. Jadi tanpa sadar ia segera mencekal tangannya sendiri untuk menggaruk luka di tangannya.

Melihat tingkah Dibyo yang semakin brutal terhadap dirinya sendiri, Retno berusaha mencegah agar suaminya itu tidak melakukan hal itu lagi agar gelembungnya tidak pecah hingga menyebabkan luka yang bertambah perih.

"Jangan digaruk, Pak! Kalau lukanya pecah bagaimana? Bukannya sembuh malah akan menambah luka baru," cegah Retno mendekati suaminya dan memegangi tangannya.

"Kamu tidak merasakannya, Bune! Jadi bicara seperti itu. Coba kalau kamu yang rasakan luka ini!" Dibyo malah membentak istrinya dengan kesal. Hal itu berhasil membuat Retno terdiam.

"Kalau begitu Bapak tunggu sebentar. Ibu ambilkan air panas untuk berendam agar rasa gatalnya berkurang."

Retno langsung beranjak menuju dapur yang tungkunya terbuat dari semen. Untungnya sore itu dia menumpangkan panci di atas tungku dengan api kecil. Sekedar untuk jaga-jaga bila suaminya membutuhkan air panas untuk mandi.

Disentuhnya panci tersebut yang ternyata cukup panas. Tak lama Retno memindahkan air tersebut ke dalam ember kemudian dibawanya ke kamar mandi di mana suaminya masih berendam.

"Ini, Pak, airnya." Retno menyiapkan air untuk merendam tangan suaminya dalam baskom besar. Di pundaknya juga sudah ia siapkan handuk untuk mengeringkan badan.

"Sini Ibu bantu untuk melepas piyama yang bapak kenakan," pinta Retno agar suaminya keluar dari bak mandi.

Setelah Dibyo keluar dari air yang sudah keruh tersebut, Retno membantu melepas piyama bagian atas milik suaminya. Sangat hati-hati sekali dia melakukan itu, takut jika terlalu keras pakaian basah itu bergesekan dengan kulit maka gelembungnya akan pecah.

Setelah atasannya terlepas, giliran Dibyo melepas bawahannya dengan menggantikan handuk dan melilitkan di setengah badannya.

Sebelumnya Retno belum menyadari apa yang terjadi dengan kulit tangan bagian atas. Barulah saat ia mendekatkan air hangat itu ke hadapan Dibyo, bukan main kagetnya Retno saat melihat pemandangan di depannya.

"Pak! Gelembung lepuhannya sudah sampai pundak," ucap Retno terkejut.

Mendengar penuturan sang istri, Dibyo langsung meraba bagian yang disebutkan. Lelaki itu bukan hanya kaget, tapi rasa panik juga ikut menyertainya.

"Benar, Bune! Penyakit apa ini? Pantas rasanya panas sekali, ternyata sudah menjalar ke atas."

"Kalau begitu cepat siram kedua tangan Bapak pakai air hangat itu. Setelah itu keringkan lalu Ibu akan balurkan salep lagi."

"Tapi kalau hanya disiram rasanya masih gatal," sanggah Dibyo tak mau menuruti permintaan istrinya.

"Ini masih jam tiga dini hari, Pak. Kalau Bapak berendam lagi nanti bisa masuk angin. Waktu subuh masih lama."

Akhirnya Dibyo menuruti nasehat istrinya. Setelah rasa gatal agak mereda karena siraman air hangat, ia segera mengeringkan badannya menggunakan handuk. Kemudian Retno menyarankan untuk kembali ke kamar. Setelah itu membalurkan salep ke semua luka dan memberikan piyama baru untuk suaminya.

"Minumlah obat pereda nyeri, Pak. Setelah itu tidur lagi. Siapa tahu bangun nanti lukanya sudah kempes." Retno mencoba menenangkan.

Dibyo pun menuruti semua nasehat dari istrinya. Beberapa menit kemudian efek dari obat tersebut cukup memberikan rasa kantuk dan sedikit nyaman hingga membuat Dibyo ingin terlelap.

"Bune! Kalau subuh nanti hujan, nggak usah bangunkan Bapak," pinta Dibyo karena melihat istrinya akan beranjak dari ruang tidur.

"Memangnya Bapak tahu dari mana kalau nanti akan turun hujan?" selidik Retno sambil membenarkan selimut suaminya.

Sebenarnya wanita itu ingin membantah soal shalat subuh yang sering terlewat. Tapi ia urungkan karena serasa sudah malas berdebat. Setiap kali Retno mengingatkan suaminya tentang rukun islam yang kedua itu, selalu saja Dibyo bisa berkilah dan tak mau kalah.

"Tadi sudah muncul kabut. Bukankah biasanya akan adanya hujan kalau kabut datang. Semalam juga samar-samar seperti mendengar ada suara gerimis, Bapak dengar kalau gentengnya bersuara."

"Iya, Pak."

Retno hanya mengiyakan pernyataan dari suaminya. Kemudian dia beranjak keluar kamar menuju kamar mandi.

Sampainya di kamar mandi, wanita itu langsung menguras air yang ada di dalam bak. Selain kotor karena pastinya sudah terkontaminasi penyakit suaminya, sudah seminggu ini Retno juga lupa tidak mengerjakan hal tersebut karena sibuk dengan pekerjaan barunya.

Sembari melakukan pekerjaan tersebut, Retno sempat berhenti karena dirinya tak sengaja melihat ke atap kaca yang berada di atas kamar mandi yang terlihat sangat terang benderang.

"Cahayanya sangat terang malam ini. Tapi mengapa tadi Bapak bilang kalau ada kabut?" tanya Retno dalam kesendiriannya. Dia sempat berpikir sejenak apa yang tadi dikatakan oleh suaminya itu.

Karenanya sambil menunggu air bak mengalir melalui lubang pembuangan air, Retno membuka pintu belakang. Dilihatnya langit sangat terang karena ternyata malam itu bulan purnama penuh.

"Hari apa ini, ya?" Retno mengingat hari penanggalan jawa. Karena bulan purnama memang identik sekali berhubungan dengan perhitungan kejawen dan biasanya terjadi di tanggal 15 bulan jawa.

"Bukankah hari ini malam jumat kliwon?" Retno mengingat kembali kalau hitungannya kali ini benar.

"Malam jumat kliwon yang bertepatan dengan bulan purnama. Bapak barusan bilang kalau muncul kabut dan gerimis."

DEG!!!

"Apa semua ini ada hubungannya dengan penyakit Bapak yang datang secara tiba-tiba sejak waktu maghrib tadi?"

Hati Retno terasa mencelos kala pikirannya menghubungkan penanggalan dengan kejadian yang menimpa suaminya.

"Astaghfirullaahal adzim ... jauhkan hamba dari rasa su'udzon ya Allah ...." Retno mengelus dadanya berusaha untuk istighfar berkali-kali. Berharap semua pikiran buruk yang sempat mampir ke otaknya adalah salah.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel