Bab 18 Penolakan Yusuf
Bab 18 Penolakan Yusuf
Yusuf masih menuggu jawaban dari Salwa dengan hati yang tak menentu. Di saat yang sama, Kyai Ghafur menawarkan proposal khitbah pada Yusuf dan ibu Nining agar putrinya bisa menjadi istri untuk Yusuf.
Rasanya sangat tidak etis ketika kalimat yang ada dalam benak Yusuf akan ia keluarkan, tetapi ia tidak bisa memberikan harapan palsu untuk pria yang ia hormati di depannya ini. Yusuf tidak ingin menimbang-nimbang lebih jauh untung ruginya menjadi mantu dari Kyai Ghafur dan Ibu Ratih.
Tawaran yang ia dapat hari ini ia anggap sebagai godaan dan ia tidak mau tergoda. Ia harus membuat keputusan yang cepat dan tanpa tawar menawar. Salwa adalah tujuan akhirnya bukan Dhila. Ia bahkan berani melawan takdir jika Allah memilih untuk menjodohkannya dengan Dhila. Betapa takaburnya Yusuf, tapi ia yakin kalau ia harus menentukan takdirnya sendiri dengan pilihan yang ia yakini bisa membahagiakan dirinya.
Ia tidak memilih Dhila karena pernikahan tanpa rasa cinta akan membuka peluang baginya untuk berzina dengan alasan tidak memiliki rasa. Yusuf melirik ibunya dan wanita itu seperti paham akan maksud tatapan dari putranya.
“Kami sangat tersanjung karena mendapatkan penghormatan yang sangat besar dari Pak Kyai. Sebagai orangtua, saya tidak bisa memaksakan kehendak pada putra saya. Semua keputusan saya kembalikan kepadanya,” kata Nining setelah jeda hening cukup lama di antara mereka.
Mendengar perkataan ibu Nining, maka Kyai langsung menoleh pada Yusuf.
“Saya tidak bisa membalas semua budi baik yang telah Kyai berikan untuk saya. Tetapi saya juga tidak ingin bersikap sombong karena keputusan saya. Sesungguhnya, Kyai terlalu memandang tinggi pada saya sedangkan saya tidak seperti itu. Saya tidak pantas sama sekali untuk menjadi pendamping dari anak Kyai. Saya mohon maaf karena belum bisa memenuhi permintaan dari Kyai. Selain itu, saya ingin bilang kalau kemarin, saya sudah melamar seseorang di depan orang tuanya dan tidak mungkin saya menarik lagi kata-kata saya. Saya mohon pengertian baik dari Kyai. Saya benar-benar tidak berguna dan sudah mendukakan hati Kyai.”
Yusuf mengatakan sambil sedikit membungkukkan badannya dan mengatupkan kedua tangannya di depan dada. Ia sama sekali tidak ingin menonjolkan diri.
“Terus terang saya kecewa. Tetapi saya paham tekad yang Pak Yusuf miliki. Mungkin, kalau saya bicara lebih awal, Pak Yusuf lebih mudah untuk mengambil keputusan.”
“Sekali lagi saya mohon pengampunan dan pengertian baik dari Kyai.”
Percakapan mereka berakhir dengan kelegaan. Dalam perjalanan keluar dari ruangan pemimpin pesantren, Nining tidak banyak berkata-kata. Ia sekali lagi berharap kesempatan Yusuf untuk mengejar Dokter Salwa bukan pilihan yang keliru. Yusuf baru saja menolak tawaran yang bisa merubah masa depan mereka berdua. Ibu Nining menarik nafas panjang tanda pasrah. Lalu ia melanjutkan rutinitasnya begitu pula dengan Yusuf.
Sedangkan Kyai Ghafur langsung menemui istrinya dan menyampaikan hasil pembicaraannya dengan Yusuf dan ibunya. Kyai itu menunjukkan kebesaran hatinya yang menenangkan putrinya yang terlihat sangat kecewa. Dhila sendiri sangat sedih mengetahui bahwa Yusuf menolak lamaran Abinya Kyai Ghafur.
Dari awal putri dari Kyai sudah menyukai Yusuf sejak pertama kali bertemu. Dhila sangat cantik, berwajah Arab, karena Kyai Ghafur memang keturunan Arab Betawi. Dhila menyukai Yusuf karena wajahnya yang tidak kalah menarik. Parasnya bersih dengan mata sedikit sipit hidungnya mancung dan bibir lelaki itu terlihat cerah cenderung merah muda, karena tidak pernah merokok. Tampan dan berkulit putih, seperti keturunan Cina bercampur Melayu.
Rasa kecewa Dhila semakin menebal saat tahu alasan Yusuf menolak dirinya karena Yusuf sudah melamar seorang gadis.
Sementara di tempat lain, Salwa sedang dalam pergolakan untuk mengambil keputusan yang akan mempengaruhi masa depannya. Salah satu hal yang membuat Salwa berat menerima lamaran dari Yusuf karena ia sudah membuat satu keputusan penting untuk kariernya sebelum kunjungan Yusuf ke rumahnya.
Dua minggu yang lalu, Salwa berhasil menjual mobil city carnya yang baru saja dibelinya enam bulan lalu, agar dapat mendaftar sekolah dokter spesialis anak. Ia sudah dinyatakan lulus pada salah satu universitas terkemuka di Jakarta. Itu adalah cita-citanya dari kecil, karena kakaknya meninggal di usia remaja. Dia ingin mengabdikan dirinya, mendeteksi penyakit berbahaya pada anak-anak, agar dapat segera diambil tindakan lebih lanjut.
Setelah kedatangan Yusuf melamarnya, Salwa khawatir seluruh rencananya tiba-tiba buyar. Ia juga bimbang, apakah wajar jika sepasang suami isteri yang baru menikah saling terpisah. Dia secara pribadi ingin melanjutkan studinya di Jakarta, dan Yusuf ke Mesir. Bukan masalah harta atau pendapatan Yusuf yang dipikirkannya, namun keseluruhan masa depan mereka. Apa yang menjadi keresahannya sudah ia curahkan dalam ibadahnya kepada Yang Maha Kuasa, pembuat skenario hidupnya agar mendapatkan petunjuk.
Salwa sudah di Puskesmas namun hari ini ia tidak bisa berkonsentrasi menjalankan tugasnya seperti biasa. Wajah Yusuf tetap tidak hilang dari kepalanya. Ia sudah berusaha untuk menepisnya dengan segala cara namun tetap saja tidak bisa ia abaikan. Salwa merasa bukan seperti dirinya sendiri.
Ia sampai pada keputusan untuk segera menyampaikan jawabannya pada Yusuf dan tidak perlu menunda sampai hari kedua. Salwa tidak mau pekerjaannya terganggu hanya karena ia tidak bisa fokus. Apa yang ia rasakan sekarang seperti seseorang yang takut menonton film horor karena bayangan arwah itu akan selalu mengikutinya. Persis seperti wajah Yusuf yang tetap ada di sekitarnya, mengikuti ke mana pun ia pergi, apalagi saat ia memejamkan matanya.
‘Ya, Allah aku bisa gila kalau seperti ini setiap hari. Mengapa juga hanya pertemuan satu malam dan sosoknya seperti tidak mau enyah dari benakku. Apa karena dia juga sedang mengingatku dan tidak sabar untuk mendengar apa jawaban akhir dariku?’ batin Salwa saat berada di dalam toilet di ruangannya.
Apa yang Salwa alami memang sudah di luar kebiasaan. Selama ini jika ia ada masalah pribadi, ia tetap akan bisa menyingkirkan semuanya dan fokus pada kerja tidak seperti yang terjadi sekarang. Sejak pagi ia terjaga, wajah Yusuf sudah melekat di pelupuk matanya. Kemana pun ia memandang atau berpapasan dengan kaum Adam, maka setiap pria adalah Yusuf. Jika ia mengatup matanya maka bayangan itu jauh lebih jelas. Salwa sungguh kewalahan dalam mengatasi hal yang sedang terjadi ini.
‘Mungkinkah ini petunjuk dari-Mu kalau dia memang adalah jodohku?’ batin Salwa lagi. Ia ingat kalau semalam ia minta petunjuk untuk membuat keputusan yang benar.
Salwa mencari alasan yang membuatnya bisa menolak Yusuf. Kalau ditanya apakah Salwa mencintai Yusuf, Salwa tidak tahu. Kalau ditanya apakah Salwa sudah siap menikah. Ia juga masih ragu. Namun kalau pun ia terpaksa harus menikah, mungkin karena dia sudah mulai berumur, dan tekanan sosial yaitu banyak yang menanyakan kapan dia menikah.
Jadi, adakah penyebab lain yang menghalanginya menerima Yusuf. Kenyataan bahwa Yusuf bukan dari kalangan medis, baik secara latar belakang pendidikan mau pun tempat kerja bisa menjadi alasan kuat untuk mengabaikan lamaran pemuda itu.
Selain itu, Yusuf merupakan calon suami yang sempurna. Usianya lebih muda satu tahun dari Salwa. Perawakannya tampan sehingga keturunan mereka pastilah akan berwajah menarik. Pemuda itu cerdas dan juga imam yang baik nantinya karena paham akan ayat-ayat suci Alquran karena berpengalaman sebagai pendakwah. Memiliki karakter baik yang menghormati perempuan merupakan nilai tambah yang langka dan tidak selamanya dimiliki oleh semua laki-laki.
Salwa keluar dari toilet dan langsung meraih ponselnya. Sudah tidak ada gunanya lagi ia menunda untuk memberikan jawaban atas lamaran Yusuf.
(Bersambung)
