Bab 17 Kejutan Kyai
Bab 17 Kejutan Kyai
Di saat Salwa sedang sujud untuk meminta petunjuk dari Sang Pencipta, Yusuf baru saja sampai di depan pesantren. Alih-alih masuk ke dalam, Yusuf justru memarkir motornya di dekat pintu gerbang dan berjalan kaki menelusuri jalan sepanjang kawasan pesantren.
Hatinya begitu gulana. Dia tidak dapat menilai perasaan Salwa kepadanya, apakah Salwa menerima atau menolak proposal khitbahnya itu.
“Ya, Allah. Hamba mohon pada-Mu, restui niat hamba karena hati dan jiwa hamba sudah hamba berikan pada perempuan yang telah Engkau ciptakan. Maafkan hamba karena rasa cinta ini begitu kuat, membuat hamba lengah dengan ibadah hamba. Sekiranya Dokter Salwa memang jodoh hamba, maka persatukanlah kami. Hamba mohon ya, Allah. Ampuni hamba yang selalu mendesak-Mu untuk memenuhi keinginan egois hamba.”
Yusuf bergumam pada dirinya sendiri sepanjang menyusuri pelataran pesantren yang sepi di malam yang pekat. Hanya cahaya lampu taman dan teras gedung pesantren yang menemani Yusuf. Untunglah tidak ada hujan sehingga ia bisa melampiaskan kegundahannya. Menanti selama dua hari akan menjadi siksaan tersendiri bagi dirinya.
Setelah lelah berjalan dan berbicara pada dirinya sendiri, mendekati tengah malam, barulah Yusuf memasuki pintu kamarnya. Dia tidak terbiasa tidur selarut itu karena jam 3 dinihari dia sudah terbangun untuk menjalankan salat tahajud. Namun malam ini sedikit pun Yusuf tidak dapat memejamkan matanya. Di benaknya selalu terbayang wajah Salwa, dan pahit yang akan dia telan apabila Salwa tidak menerima lamarannya.
Berbagai skenario buruk sudah ada dalam kepalanya. Apa yang akan ia lakukan jika Salwa benar-benar menolaknya. Ia selama ini begitu yakin kalau dengan mendekatkan diri pada Allah melalui setiap doanya, dan menjaga kesucian hati dan tubuhnya maka Yang Maha Kuasa akan mengabulkan permintaannya. Diselingi semua upayanya untuk menunjukkan bakti pada orang tua, dan mengabdi dengan sungguh lewat tugas dan kerjanya, Yusuf yakin amal dan ibadahnya akan dipandang oleh Allah dan doanya terkabul.
Namun, Allah selalu memberikan cobaan dan tantangan untuk setiap hamba-Nya untuk menguji kesetiaan dan menunjukkan kuasa-Nya. Yusuf tidak sanggup menolak takdir yang sudah digariskan padanya. Ia pasti akan sangat terpuruk jika doanya tidak terkabul. Mungkin pilihan ke Mesir dari sudut pandang yang berbeda, adalah jalan terbaik untuk melupakan Salwa. Salah satu anugerah dari Allah yang harus Yusuf syukuri dalam situasi ini.
Jika Salwa menerimanya maka Mesir hanya akan menjadi tempat persinggahan. Namun, jika Salwa menolaknya, maka kota itu akan menjadi tempat tujuan akhir. Ia hanya perlu menyiapkan tempat untuk ibunya agar mereka bisa menetap di sana nantinya. Tekad Yusuf tidak pernah sekuat sekarang. Dengan memikirkan alternatif lain, ia sedikit tenang dan bisa memejamkan matanya walaupun hanya sejam karena ia sudah harus bangun seperti biasa untuk berdoa.
Saat sahur, keesokan paginya untuk puasa hari Kamis, ibu Yusuf dapat melihat kegalauan hati anaknya. Wajah Yusuf pucat dan matanya jelas kurang tidur. Saat mereka sarapan bersama, ibu Nining tak sabar lagi untuk mengetahui hasil kunjungan putranya ke rumah calon mantunya.
“Bagaimana Suf?”
“Semuanya lancar Bu.”
“Tapi, mengapa ibu lihat parasmu tidak nampak kalau semuanya memang baik-baik saja?” tanya Nining.
Hati seorang ibu tidak bisa dibohongi. Nining sangat peka. Apalagi selama ini mereka hanya berdua sehingga sekecil apa pun perubahan dalam diri putranya, pasti akan ia ketahui.
“Ibu dari dokter Salwa sangat ramah. Ia ternyata juga seorang yatim.”
“Ibu lega mendengarnya. Apakah itu pertanda bahwa kalian memang berjodoh?”
“Ibu Ratih sudah merestui permohonan khitbah Yusuf. Tetapi, semuanya ia serahkan pada dokter Salwa. Aku masih menunggu dengan cemas karena dokter Salwa belum menjawab lamaranku. Ia minta waktu dua hari untuk istikharah.”
“Ibu paham sekarang. Jodoh memang Allah yang mengatur. Sebaiknya kamu juga berdoa sehingga Allah bisa mendengar jeritan yang sama dari kalian berdua walaupun diserukan dari tempat dan arah yang berbeda.”
“Iya, Bu. Yusuf bukan hanya berdoa tetapi selalu merengek dan mendesak agar keinginan Yusuf dikabulkan.”
“Ibu ingin kamu tetap kuat apa pun jawaban dari dokter Salwa. Ibu akan ikut berdoa agar hati Salwa luluh oleh niat baikmu.”
“Rasanya sangat menyiksa Bu. Setiap detik yang berlalu terasa begitu lambat. Sakitnya menanti bagaikan hujaman belati pada bekas luka yang terus terkoyak.”
“Kendalikan dirimu, Nak. Allah tidak akan memberikan cobaan yang melampaui kemampuanmu untuk mengatasinya.”
“Semoga Bu. Yusuf sangat takut kali ini.”
“Berkeluhkesahlah pada-Nya. Ia memang Maha Kuasa tetapi Ia juga Maha Adil dan Maha Bijaksana. Bersabarlah karena semua yang sudah diatur Allah adalah yang terbaik bagi kehidupan kita.”
Yusuf melewati hari itu dengan susah payah karena harus melawan rasa kantuknya. Setelah seluruh pengajar dan santri melakukan sahur dan tadarus menunggu Subuh, Kyai Gafur menyampaikan pada Yusuf bahwa dia ingin berbicara pada Yusuf dan ibunya.
Mereka bertemu di ruang kerja Kyai Ghafur.
“Saya ingin menyampaikan permintaan yang berkaitan dengan masalah pribadi bukan pekerjaan,” ucap Kyai Ghafur membuka perbincangan mereka.
“Baik, Kyai. Kami siap mendengarkan,” balas Yusuf dengan santun.
“Saya sudah memperhatikan kinerja dan karakter dari Pak Yusuf. Saya begitu rindu untuk bisa memiliki anggota keluarga dengan karakteristik pribadi seperti yang dimiliki oleh Pak Yusuf.”
“Maaf Pak Kyai. Saya tidak paham,” sahut Yusuf agak terbata.
Dalam diamnya Yusuf mulai khawatir dengan arah pembicaraan dari pimpinannya sekaligus pemilik dari organisasi di mana ia bekerja sekarang. Kyai Ghafur bisa juga disebut sebagai penyelamat dalam hidupnya. Pria ini punya andil besar untuk kesuksesan kariernya. Ia banyak berhutang budi secara tidak langsung padanya.
“Iya, Pak Kyai. Mohon diperjelas karena saya juga tidak mengerti,” imbuh ibu Nining.
“Maksud saya, jika ibu berkenan, maka saya ingin mengajukan permohonan taaruf agar salah satu putri saya bisa bersanding dengan anak ibu Nining. Saya ingin Pak Yusuf bisa menjadi mantu saya.”
Mendengar perkataan terus terang dari Kyai Ghafur membuat perasaan ibu Nining trenyuh. Ternyata orang sehebat dan sekaya Kyai Ghafur menghormati putranya. Sementara telinga Yusuf memanas mendengar permintaan dari atasannya.
‘Ya, Allah. Ini bukanlah jawaban doa yang hamba inginkan. Tolong jangan hukum hamba dengan pilihan yang sangat sulit seperti ini. Ampuni hamba ya, Allah! Hamba mohon petunujuk dari-Mu untuk bisa memberikan jawaban yang tidak menyakiti hati pria baik yang ada di depan hamba. Mengapa Engkau selalu menguji hamba seperti ini dan dalam situasi sekarang?’ batin Yusuf mencerna dengan cepat informasi yang barusan ia dengar di tengah lelah tubuhnya.
Yusuf dan Ibunya tidak mengatakan satu kata pun. Suasana hening di antara mereka.
Kyai Ghafur juga memberikan kesempatan pada kedua tamunya untuk berpikir sejenak sebelum memberikan jawaban.
Ternyata pria itu ingin menjodohkan Yusuf dengan putri tertuanya Fadhila Zakiyah yang sering disapa Dhila. Sungguh Yusuf dan Ibunya sangat terkejut dengan permintaan Kyai. Ibu Yusuf memandang putranya, menyerahkan seluruh keputusan kepada putranya itu.
(Bersambung)
