Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 16 Mencari Jawaban

Bab 16 Mencari Jawaban

Yusuf datang ke rumah Salwa dan menyampaikan isi hatinya. Calon mertuanya, Ibu Ratih sudah menerima Yusuf dan sekarang tinggal menunggu jawaban dari yang bersangkutan, bidadari yang selalu menjadi mimpi dalam setiap tidur malam Yusuf.

“Berapa lama kamu akan berada di Mesir?” tanya Salwa saat mereka diberikan waktu oleh Ibu Ratih untuk melakukan percakapan dari hati ke hati.

“Aku dengar kabar kalau program magister di Al Azhar cukup berat. Paling cepat, butuh tiga tahun setidaknya untuk merampungkan studi dan kembali ke sini.”

Salwa hanya menunduk. Pandangannya buram. Hatinya semakin ragu.

“Tiga tahun bukanlah waktu yang singkat.” Salwa mengangkat wajahnya dan menatap pria di depannya setelah kalimatnya meluncur dengan berat.

“Aku tahu. Makanya aku datang untuk meminta dukunganmu. Aku bisa melewatinya kalau kamu mau menungguku,” sahut Yusuf lembut. Hatinya juga berdebar karena khawatir Salwa menolak lamarannya.

Perempuan di hadapannya ini memiliki cara pandang yang berbeda. Yusuf sangat takut kalau Salwa lebih memilih untuk melihat kenyataan di depan mata dan melakukan perhitungan matang dengan mempertimbangkan usianya.

Tiga tahun menanti Yusuf sama artinya dengan membuang kesempatan empat tahun untuk bisa menikah dan memperoleh keturunan dari pria yang lain. Pikiran ini yang terus menghantui Yusuf sejak semalam. Itu pun kalau mereka memang langsung diberikan keturunan. Tetapi kalau tidak, maka kesempatan semakin menipis bagi Salwa sebagai seorang perempuan untuk mengandung dan melahirkan.

“Apa rencanamu sebelum berangkat?” tanya Salwa lagi.

“Kita menikah. Aku akan membawa keluargaku untuk melalui semua tahapan pernikahan yang kita butuhkan. Aku ingin pergi sebagai suamimu dan juga kembali dengan status yang sama sebagai imam dalam keluarga kita.”

“Istri yang ditinggalkan selama tiga tahun tanpa imam yang mendampingi?”

Suara Salwa bergetar dan matanya sudah berkaca-kaca tapi ia menahan diri untuk tidak menunjukkan kelemahannya di depan Yusuf.

“Aku tidak punya apa pun untuk dibanggakan. Hanya ini kesempatan untuk bisa berdiri tegak di sampingmu. Kalau kamu masih ragu, aku tidak akan memaksa. Hanya saja, aku ingin kamu tahu kalau aku serius untuk menjadikanmu satu-satunya orang yang akan menjadi pendampingku, sampai kita menua bersama.”

“Bagaimana aku bisa yakin kalau kamu bisa menjaga hatimu selama tiga tahun kita berpisah?”

“Itulah alasannya aku melamarmu sebelum aku pergi. Jadi aku tahu perjuanganku untuk siapa, dan ke mana aku akan pulang nanti. Aku sudah tidak punya janji lagi. Semua yang aku mau dan harapkan sudah aku utarakan padamu. Aku sudah tidak punya kata-kata lain untuk meyakinkan dirimu.”

Salwa menghirup kembali semua udara yang ada di sekitarnya agar ia mampu berbicara. Selama menyimak perkataan pria di depannya, seolah-olah semua oksigen dalam tubuhnya menguap dengan lebih cepat.

“Aku minta waktu untuk istikharah dan berpikir. Aku akan kabari dua hari lagi dari sekarang,” ujar Salwa akhirnya.

Yusuf tersenyum lalu berkata, “Aku akan sabar menanti sampai kamu siap. Semoga, Allah juga merestui niat baikku ini.”

“Aamiin.”

“Aku pamit karena sudah larut malam. Tolong sampaikan salam hormatku untuk ibu Ratih.”

“Hati-hati di jalan.”

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Salwa mengantar Yusuf hingga di depan teras. Ia menanti sampai motor yang ditumpangi oleh laki-laki yang baru saja melamarnya itu menghilang dalam gelapnya malam.

Salwa merapikan ruang tamu dan mengunci pintu depan. Lalu ia masuk ke dalam kamar ibunya dan mendapati wanita paruh baya itu sedang membaca sambil menyandar di penyangga kepala tempat tidur.

“Apa Yusuf sudah pulang?”

“Sudah Bu. Ia hanya menitipkan salam karena berpikir Ibu sudah beristirahat,” balas Salwa duduk di samping Bundanya.

“Bagaimana keputusan kamu?” tanya Ratih menutup buku yang sedang ia baca dan menatap putrinya.

“Salwa belum menjawab tadi. Salwa minta waktu istikharah untuk keputusan Salwa. Dia akan pergi tiga tahun Bu. Menikah lalu meninggalkan aku. Apa kata orang nanti?” sanggah Salwa sambil menatap ibunya.

“Sejak kapan kamu mempedulikan pendapat orang lain? Bukankah selama ini kamu bisa menentukan sikap untuk setiap hal yang kamu inginkan?” bantah Ratih.

“Justru itu Bu. Karena kali ini keinginan untuk menikah belum ada dalam diri Salwa, sehingga rasanya berat untuk mengabulkan apa yang Yusuf pinta.”

“Apakah selama kenal dengan Yusuf, kamu pernah memberikan sinyal atau harapan kalau kalian bisa bersatu di kemudian hari?”

“Tidak Bu. Seingat Salwa tidak pernah ada percakapan kami terkait perasaannya pada Salwa atau sebaliknya. Kami hanya membicarakan masalah kesehatan setiap kali berjumpa.”

“Sebagai orang tua, Ibu punya firasat kalau Yusuf adalah pemuda yang berpendirian teguh, santun dan agamis.”

“Iya Bu, selain menjadi guru terkadang ia diundang sebagai pendakwah.”

“Apa kamu punya kriteria calon suami yang jauh dari karakter yang Yusuf miliki?” cecar Ratih.

“Salwa tidak punya syarat khusus dalam memilih calon suami selain bahwa ia memiliki hati yang baik, pengertian, jujur dan setia.”

“Ibu nyaman berada bersama Yusuf. Sebagai orang asing yang baru pertama kali bertemu, Yusuf membawa aura positif. Ia hangat dan terlihat serius tetapi ibu yakin pasti ada sisi lainnya yang belum kita lihat. Ibu suka padanya karena ia berani menyatakan isi hatinya tanpa bertele-tele.”

“Ibu, bagaimana kalau ia mempunyai wanita lain selama studi di Mesir?”

“Subhanallah, kenapa kamu berpikir negatif seperti itu?” timpal ibunya.

“Salwa takut, Bu. Aku tidak ingin kecewa.”

“Justru dia datang sebelum berangkat ke Mesir menunjukkan kalau ia sudah siap untuk mengikat dirinya. Kalau dia tahu bahwa tidak kurang jumlah wanita cantik di sana, untuk apa ia malah harus mengajukan khitbah?”

“Salwa masih bingung.”

“Ya, sudah. Maanfaatkan waktu yang ada untuk berpikir dengan jernih. Ibu pikir kamu sedang bingung karena banyak perasaan yang datang bersamaan. Kamu kaget, merasa bahagia tetapi juga sedih karena baru bertemu dan langsung berpisah, kamu khawatir akan seperti apa hubungan pernikahan kalian, dan masih banyak lagi. Tapi, yang terpenting kamu harus jujur pada diri sendiri. Tidurlah! Besok baru kita bicarakan lagi.”

“Terima kasih, Bu.”

Salwa masuk ke dalam kamarnya dan membersihkan tubuhnya agar bisa melakukan salat. Dia ingin melibatkan Yang Maha Kuasa dalam keputusannya dengan salat istikharah.

Salwa menghampar sajadahnya lalu memakai mukenanya. Ia bersujud dan memanjatkan doa.

“Ya Allah, tolonglah hambamu ini. Berikan petunjuk agar hamba bisa mengetahui apa rencana-Mu. Masih ada cita-cita hamba yang masih belum hamba raih. Hamba mohon, berikan satu tanda yang bisa membuat hamba yakin dan bisa mengambil keputusan dengan tepat. Ke dalam ridho-Mu, hamba serahkan semua rencana hidup dan masa depan hamba. Aamiin.”

Salwa merasakan kelegaan karena beban pikiran yang menguasainya tadi sudah terangkat. Berkeluh kesah pada Sang Pencipta merupakan obat mujarab untuk pribadi Salwa selama ini. Apa pun yang terjadi dalam hidupnya, ia yakin sudah direncanakan dari awal oleh Sang Pencipta Maha Agung. Salwa yakin kalau pun ia melakukan kesalahan dalam membuat pilihan sepanjang kehidupannya, ia akan selalu dituntun dan diingatkan oleh Allah.

Salwa masih belum siap menikah tetapi ia juga tidak mau menjadi perawan tua. Ia berharap, saat besok ia bangun maka pikirannya sudah lebih cerah dan mampu membuat keputusan yang sesuai dengan rencana Allah bagi dirinya.

(Bersambung)

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel