Bab 15 Restu
Bab 15 Restu
Salwa bingung dengan sikap ibunya dan tidak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat.
Setelah ia dan Yusuf bersusah payah menggendongnya ke atas tempat tidur dengan rasa panik. Bagaimana tidak cemas kalau mendengar rintihan kesakitannya tadi. Tapi lihat sekarang, ia malah turun dari ranjang begitu saja tanpa penjelasan sama sekali. Belum lagi pernyataan Yusuf barusan. Jantungnya serasa hendak keluar dari orbitnya di dalam.
Apalagi Yusuf yang juga harus menjaga sikap santun walaupun ikut kaget melihat perubahan drastis dari calon mertuanya. Ia mengekori Ratih tanpa bersuara. Dalam benaknya, ia juga membutuhkan penjelasan panjang maksud dari semua drama yang baru saja ia lihat.
“Ini adalah suami saya dan kakak perempuan dari Salwa,” ucap Ratih menunjuk pada foto di dinding, saat Yusuf sudah ada di ruang tamu.
“Iya Bu. Saya anak tunggal dan hanya hidup dengan ibu saya. Beliau yang membesarkan dan menyekolahkan saya.”
“Silakan duduk Nak Yusuf.”
Yusuf mengambil tempat duduk bertepatan dengan Salwa yang juga muncul dengan wajah yang tidak bisa ia jabarkan menatap pada ibunya.
“Kakak Salwa pergi karena sakit kanker begitu pula suami saya juga karena kanker usus. Tetapi Salwa menjadi dokter karena dari kecil ia sudah menunjukkan ketekunan dalam belajar.”
Yusuf hanya mengangguk saja mendengar perkataan ibu Ratih.
“Kemari Salwa!” ujar Ratih menatap sekilas pada putrinya. Ia bisa melihat wajah tak bersahabat Salwa tapi ia mengabaikan kekesalan anaknya itu.
Yusuf mengakui kalau kecantikan dari Salwa menurun dari ibunya.
“Kalian pasti kesal dengan sikap ibu tadi. Sebenarnya Ibu tadi berpura-pura untuk menarik simpati dari kamu Salwa. Kalau Nak Yusuf tadi ragu-ragu dengan niat kedatangannya, maka Ibu sudah ingin memaksa kalian untuk bersatu dengan alasan ikut permintaan ibu yang mulai sakit-sakitan. Tapi, mendengar tekad dari teman kamu ini, ibu yakin sandiwara ibu tidak perlu diteruskan.”
Yusuf lega mendengar penjelasan dari calon mertuanya. Ternyata, dugaan sebelumnya tentang keluarga yang telah membesarkan seorang dokter, jauh dari kenyataan yang ia hadapi. Ibu Ratih tegas tapi santai orangnya.
“Ibu, kenapa harus membuat aku malu di depan Pak Yusuf?” timpal Salwa pelan dengan wajah merengek.
Tetapi tentu saja Yusuf masih bisa mendengar perdebatan di antara mereka berdua. Yusuf tidak lagi merasa tegang. Ia bisa melihat kalau ada hubungan yang akrab antara ibu dan anak itu. Ia bahkan tersenyum mendengar rengekan manja Salwa pada Ibunya. Sungguh Yusuf belum pernah mendengar Salwa begini, ia seperti berada di tengah keluarga sendiri.
“Seperti inilah putri bungsu saya. Kalau di tempat kerja mungkin dia sangat tegas, tetapi kalau di rumah ya, seperti ini. Selalu saja manja.”
Yusuf tersenyum bahagia dalam hatinya. Dari setiap interaksi yang ia saksikan, ia sudah bisa diterima oleh keluarga Salwa terlepas dari respons Salwa. Karena Yusuf belum mendengar isi hati sebenarnya dari wanita yang ia rindukan.
“Ibu Dokter memang selalu jadi panutan untuk pegawainya sehingga bersikap tegas dengan penegakan disiplin itu sangat penting menurut saya.”
Salwa tersipu malu mendengar dukungan dari Yusuf.
“Sudah berapa lama kenal dengan Salwa.”
“Kurang dari satu tahun Bu, lalu dua tahun belakangan tidak pernah bertemu sampai dengan sekarang.”
“Jadi, apa sudah yakin kalau tidak akan goyah lagi?”
“Yakin Bu. Saya kemari karena ingin mengkhitbah putri Ibu. Saya mau mengajak keluarga saya ke sini jika saya diterima, sebelum saya berangkat ke Mesir.”
Salwa yang dari tadi hanya mendengar, terkejut dengan perkataan pemuda itu. Tindakan yang sangat berani tanpa memberikan tanda pada Salwa sama sekali. Perasaan senang terbesit bersamaan dengan takut akan seperti apa hubungan mereka, karena belum saling mengenal dekat selama ini.
Ditambah lagi dengan berita kalau Yusuf akan berangkat ke Mesir. Perasaan Salwa menjadi tak karuan. Dadanya bergemuruh dan begitu banyak perdebatan di kepalanya. Seolah setiap terminal syaraf yang mengolah memori, sibuk berkejaran mendengar informasi yang baru saja dilontarkan oleh Yusuf. Peperangan rasa antara senang tapi juga sedih karena akan segera dilamar lalu ditinggalkan sesudahnya.
“Kapan Nak Yusuf akan berangkat ke Mesir?”
“Insya Allah, sekitar satu bulan dari sekarang.”
Perasaan Salwa yang telah melenting berulang kali sampai ketinggian yang tak terjangkau, harus diturunkan ke level terendah saat jangka waktu itu dikeluarkan seperti ultimatum tanpa kompromi.
“Ibu sudah mendengar niat baik dari Nak Yusuf. Semuanya ibu serahkan pada Salwa. Usianya memang sudah dua puluh tujuh tahun. Sebagai orang tua, wajar kalau ibu ingin yang terbaik untuk Salwa. Kalau memang kalian berjodoh maka akan ibu restui.”
“Terima kasih Bu Ratih. Saya sangat berterima kasih karena keluarga ini telah sudi menerima saya dengan tangan terbuka.”
“Ibu tinggalkan kalian untuk bicara berdua. Manfaatkan waktu yang terbatas dengan bijaksana.”
Yusuf berdiri agak membungkuk menunjukkan rasa hormat, saat Ibu Ratih bangkit dari kursinya dan masuk ke dalam kamar.
Salwa seperti disambar petir mendengar kalimat dari ibunya. Ia tahu besar harapan ibunya agar Salwa bisa segera mendapatkan jodoh. Ia juga tidak punya banyak pilihan, karena selama ini tidak ada waktu yang ia pakai untuk menjalin pertemanan dekat dengan pria mana pun.
Ia memang membatasi dirinya dengan alasan karier.
Sekarang ia diperhadapkan dengan situasi di mana akan dilamar oleh orang yang pernah dirindukan, namun belum dikenal secara mendalam. Setidaknya, nasibnya sekarang jauh lebih baik dari Siti Nurbaya karena pria di hadapannya jauh lebih tampan berjuta kali lipat daripada jodoh Siti, Datuk Maringgih.
Belum lagi batasan usia yang memang selalu menjadi momok bagi kaum perempuan karena terkait erat dengan kemampuan memberikan keturunan.
Tidak perlu diuji pengetahuan Salwa tentang semua ilmu kesehatan reproduksi.
Sekarang yang harus Salwa lakukan adalah membuat keputusan untuk menjawab niat hati dari Yusuf.
“Boleh saya menyapa dengan kamu?” tanya Yusuf begitu ibunya sudah menghilang dari pandangan mereka.
Salwa mengangguk lalu berucap, “Kamu yakin tidak akan menyesal telah memilih saya?”
“Saya tidak pernah bermimpi yang muluk-muluk. Maaf, kalau kedatangan saya mengejutkan. Begitu pula karena selama ini tidak memberi kabar.”
“Saya juga tidak ingin berharap karena saya tidak ingin sakit hati.”
“Saya langsung menyukaimu sejak pertama kali kita berjumpa di dalam ruang kerjamu, saat Ibu saya dirawat.”
“Kamu sangat pintar menyembunyikan perasaanmu,” balas Salwa.
“Kamu juga dikagumi oleh kaum pria yang lebih mapan dari saya waktu itu. Oleh sebab itu saya menahan diri untuk mendekatimu. Saya bukan menjauh tetapi saya hanya menjalankan tekad saya, yaitu harus bisa memantaskan diri demi bisa melamarmu.”
“Kamu khawatir aku tidak akan menerima lamaranmu waktu itu?”
“Mungkin saja. Saya hanya tidak siap ditolak waktu itu.”
“Tapi kamu akan pergi lagi setelah mengikat saya?”
“Kamu yang menjadi motivasiku untuk sampai pada titik ini. Saya tidak akan bisa terima jika sekembalinya saya dari Mesir, kamu sudah menjadi milik orang lain.”
Salwa termangu mendengar pengakuan jujur dari Yusuf. Sangat jauh berbeda dengan cara Evan mendekatinya. Tidak ada kata-kata manis dan rayuan gombal. Namun, apa yang disampaikan oleh Yusuf lebih pada jaminan masa depan yang pasti. Jujur, tidak muluk-muluk.
Salwa tidak punya alasan kuat untuk menolak Yusuf. Apalagi ibunya sudah berterus terang lebih awal sebelum sempat mendengar keinginan hati dari Salwa. Tetapi ragu itu masih ada karena Salwa tahu, satu bulan dari sekarang ia akan ditinggalkan.
(Bersambung)
