Bab 14 Sambutan untuk Yusuf
Bab 14 Sambutan untuk Yusuf
Salwa sangat terkejut menerima berita dari Yusuf melalui percakapan telepon, bahwa dia dan Ibunya sekarang berada di Jakarta. Kalau mau jujur, sebenarnya Salwa sendiri sudah mengubur perasaannya kepada laki-laki yang sempat merebut simpatinya itu. Tetapi setelah menerima telepon dari Yusuf, hatinya kembali bergetar, meski dia menjaga perasaannya dengan baik agar tidak berharap apa pun. Yusuf pun memberanikan diri meminta alamat rumah Salwa dan berkata akan segera datang ke rumah Salwa untuk silaturahmi. Tanpa berpikir dua kali, Salwa mengirimkan pesan berisi alamat rumahnya.
Setelah sulit melewati malam karena perasaan yang berkecamuk antara senang, rindu dan tekad membaja, Yusuf terjaga tepat waktu untuk salat Subuh. Ia melakukan semua pekerjaannya sepanjang hari dengan bersungguh-sungguh sehingga tidak ada yang tertunggak, agar ia bisa meninggalkan kelas tepat waktu.
Setelah tugasnya sebagai pengajar di pesantren selesai, Yusuf meminta izin untuk keluar pesantren. Tak lupa Yusuf meminta doa restu dari Ibu Nining. Dalam hidupnya, tidak ada yang ditutupi oleh Yusuf dari ibunya. Dengan jujur Yusuf menyampaikan ringkasan percakapannya dengan Salwa di telepon.
Dia memohon doa dan restu Ibu untuk menemui Dokter Salwa malam ini juga, menyampaikan proposal taaruf darinya. Ibunya dapat melihat tekad yang bulat dari Yusuf dan hanya dapat berdoa agar anak semata wayangnya itu, tidak dipermalukan oleh keluarga Dokter Salwa. Nining melepas kepergian putranya tepat pukul setengah tujuh setelah selesai makan malam.
Sementara di kediaman dari Salwa. Pagi hari sebelum berangkat kerja, ia sudah menyampaikan niat Yusuf untuk berkunjung dan berkenalan dengan keluarga. Ibu Ratih menerima berita itu dengan penuh rasa penasaran karena baru pertama kalinya Salwa mengizinkan teman prianya berkunjung. Setelah mendengar berita itu, Ratih sudah memiliki rencana penyambutan.
Jam dinding di ruang tamu dari keluarga Salwa Azzahra berdentang tujuh kali. Mereka baru saja selesai makan malam. Ratih menyampaikan pada Salwa untuk menemani temannya dulu karena ia merasa lelah dan ingin berbaring sebentar. Salwa masih meyakinkan ibunya kalau temannya pasti memaksa untuk berjumpa. Ratih meyanggupi tetapi ia bersikeras ingin rebahan beberapa saat dulu.
Ibu Ratih sudah memikirkan dengan teliti kejutan untuk menyambut tamu anak perempuannya. Dia tidak tahu apa niat dari pemuda itu, tetapi jika yang datang nanti masuk dalam kriteria calon anak mantu, maka Ratih akan mendesak mereka berdua agar segera menikah.
Lima menit sebelum pukul setengah delapan, bunyi motor memasuki pekarangan rumah dari Salwa. Seperti permintaan ibunya, Salwa sudah mengatur penganan kecil di atas meja sekaligus minumannya sehingga tidak perlu membuat tamunya menanti sendirian karena mereka masih sibuk di belakang.
Tanpa sepengetahuan Salwa, ibunya mengintip dari jendela kamar untuk melihat perawakan fisik dari teman anaknya. Ratih mengunci pintu kamarnya sehingga perbuatannya tidak diketahui oleh putrinya. Bayangan dari pemuda itu masih belum jelas sampai ia membuka helmnya dan berdiri di bawah cahaya lampu.
Ratih tersenyum dan membuka kembali kunci pintu kamarnya. Lalu, ibunda dari Salwa itu berbaring untuk mengistirahatkan tubuhnya seperti yang ia katakan pada anak bungsunya itu.
Sedangkan Yusuf di luar memandangi rumah sederhana namun sangat apik dan bersih. Bunga-bunga tersusun cantik memperindah rumah. Yusuf melihat motor kuning Salwa terparkir rapi di dalam garasi yang tidak tertutup. Dulu Salwa hanya memakai motor butut di desa. Motor kuning ini terlihat baru.
“Assalamualaikum!” seru Yusuf di depan teras menghadap pintu yang sedang terbuka.
“Waalaikumsalam!” balas Salwa dari dalam seraya menampakkan diri.
Jantung dari Yusuf berdegup kencang, menatap kecantikan bidadari yang ia rindukan selama ini. Salwa memakai pakaian yang anggun dengan warna senada dengan hijabnya.
Dalam benaknya, dua tahun telah berlalu tapi tidak ada yang berubah pada diri dari Salwa.
Yusuf terpaku beberapa jenak dan tidak beranjak selain mematri netra para wajah dari makhluk indah di depannya, padahal Salwa sedang berbicara dengannya.
“Apa Pak Yusuf hanya ingin berdiri di luar saja?” tanya Salwa untuk kedua kalinya barulah Yusuf terjaga dari lamunannya.
“Apa saya sebaiknya di teras saja?” sahut Yusuf enggan untuk melewati pintu ruang tamu kalau hanya Salwa di rumah sendirian.
“Mari masuk Pak. Nanti ibu saya juga akan ikut bergabung.”
Yusuf menganggukkan kepalanya dan melepaskan alas kakinya di luar sebelum melangkah masuk.
Yusuf belum juga duduk, namun ia sudah mendengar sebuah suara yang bukan berasal dari Dokter Salwa.
“Salwa, tolong Ibu!”
“Silakan duduk Pak Yusuf, saya lihat Ibu saya dulu,” balas Salwa tampak kaget mendengar teriakan dari Ibunya.
“Bu, apa yang terjadi? Kenapa bisa begini?” tanya Salwa panik ketika melihat ibunya sudah ada di lantai.
“Tolong angkat ibu ke tempat tidur, Nak. Kaki ibu tidak bisa digerakkan,” balas Ratih agak meringis.
“Tapi Salwa tidak kuat, Bu.”
“Ibu tidak bisa bangun sendiri. Cepat cari bantuan,” sahut Ratih mendesak ditambah dengan suara kesakitan.
Tubuh Ibunda dari Salwa memang setinggi putrinya tetapi agak gemuk sehingga masuk akal kalau Salwa juga tak kuat untuk menggendongnya naik ke atas tempat tidur. Salwa bingung harus meminta bantuan tetangga atau tamunya. Ia merasa sangat tidak pantas jika tamunya masuk ke dalam kamar ibunya. Salwa mendengar ringisan dari ibunya membuatnya akhirnya harus bertindak cepat.
“Pak Yusuf, maaf bisa bantu saya. Ibu jatuh dari ranjang dan kakinya tidak bisa digerakkan.”
“Saya izin masuk kalau begitu,” balas Yusuf dengan perasaan agak canggung.
Setelah mendapat anggukan setuju, dengan santun Yusuf masuk ke dalam kamar calon mertuanya.
Menunggu aba-aba dari Salwa agar tidak semakin menambah rasa sakit pada ibu Ratih, bersama-sama mereka menggendong Ibu Ratih dengan bantuan Salwa memegang di bagian kaki.
“Terima kasih,” ucap Ratih setelah ia sudah ada di atas tempat tidur.
“Bagian mana yang sakit Bu?” tanya Salwa begitu ibunya sudah terbaring di atas tempat tidur.
Salwa duduk di pinggiran tempat tidur sedang Yusuf sudah mundur dan berdiri di luar garis pintu kamar.
“Bisa kamu gosokkan minyak saja pada kedua kaki ibu, karena tadi kesemutan dan tidak bisa ibu gerakkan saat hendak turun dari ranjang, akhirnya ibu terjatuh.”
Yusuf memandangi dua perempuan itu belum berani memotong percakapan mereka.
“Salwa, sekalian ambilkan kursi biar kita bicara di sini saja karena ibu tidak bisa ke ruang tamu.”
“Baik Bu,” balas Salwa yang sudah muncul dengan botol minyak dan sebuah kursi.
Salwa bingung dengan permintaan ibunya tapi ia lakukan juga. Bagi Salwa, kamar adalah ruang khusus sehingga agak memalukan jika Yusuf melihat keadaan rumah mereka. Walaupun kamar ibunya yang dilihat sekarang, bukan kamar pribadinya.
“Salam kenal Bu, saya Yusuf.” Pria itu berbicara setelah duduk sedang Salwa sibuk mencari kain untuk menutupi kaki ibunya sehingga bisa ia pakaikan minyak dari balik selimut.
“Saya Ratih. Kami hanya berdua di sini karena suami saya dan putri sulung saya sudah menghadap Allah karena sakit kanker.”
“Iya Bu. Saya juga yatim karena ayah saya sudah pergi sejak saya masih kecil. Saya hanya melihatnya dari potret lama. Saya dan ibu tinggal di pinggiran Kota Jakarta.”
“Berarti kita ada kecocokan. Saling pengertian tentunya sudah pasti, karena berada dalam keadaan yang sama.”
“Insya Allah Bu. Saya guru mengajar di pesantren.”
“Salwa bilang kalau Nak Yusuf ingin membicarakan sesuatu?”
“Iya, Bu. Saya ingin mengajukan taaruf dengan Dokter Salwa, jika Dokter Salwa dan Ibu berkenan.”
Mendengar perkataan dari Yusuf, Ibu Ratih langsung bangkit dari rebahannya.
Dengan wajah datar, ia turun dari ranjang dan memberi tanda dengan tangannya pada Yusuf untuk mengikutinya. Gerakannya tentu saja membuat Salwa harus mengurungkan niatnya untuk menggosok minyak yang hendak ia tuangkan ke telapak tangannya. Hati Salwa berdebar kencang, keringat dinginnya mulai keluar.
(Bersambung)
