Bab 13 Harapan Salwa
Bab 13 Harapan Salwa
Salwa melaju dengan motor kuningnya menembus keramaian lalu lintas pinggiran kota Jakarta menuju rumahnya. Hujan rintik membuatnya tidak bisa terburu-buru karena jalanan yang licin. Untunglah ia sudah memakai mantel hujan sehingga ia tidak perlu khawatir akan sakit karena kehujanan. Biasanya, paling lama empat puluh lima menit ia sudah tiba di rumah. Tetapi ia butuh hampir 5400 detik untuk tiba di rumahnya.
Salwa memarkir motornya dan langsung membersihkan diri. Ia memastikan mantel hujannya juga kembali bersih dan digantung agar siap untuk dia bawa lagi ke kantor keesokan harinya. Setelah salat Maghrib ia menemani ibunya menyiapkan makan malam dilanjutkan dengan mereka santap sajian yang ada bersama.
Sementara di waktu yang sama, Yusuf sedang menahan kecewa. Setelah salat Maghrib ia mencoba lagi namun teleponnya tidak diangkat oleh pemilik nomor yang ia kontak. Yusuf berpikir kalau Salwa sudah mengganti nomor ponsel yang baru. Ia menyerah karena sudah tiga kali ia berupaya dan hasilnya nihil. Lalu, ia keluar dari kamarnya. Ibunya melihat raut wajah putranya yang terlihat khawatir.
“Suf, kamu baik-baik saja?”
“Nomor yang diberikan dokter Salwa waktu itu bisa dihubungi tetapi tidak diangkat.”
“Kalau begitu makan dulu. Nanti sebelum tidur coba kontak sekali lagi,” ujar Ibu Nining dengan sabar.
Ia bisa merasakan betapa besar tekad putranya untuk memperistri Dokter Salwa. Nining hanya mendesah dalam diam. Ia tidak ingin putranya sakit hati atau kecewa jika ditolak.
Di kediaman Dokter Salwa.
“Ibu istirahat saja, biar Salwa yang bereskan.”
Ibu Ratih menuruti perkataan putrinya. Ia menonton saluran berita di televisi dan membiarkan Salwa merapikan meja makan dan dapur sebelum mereka berangkat ke peraduan malam, beberapa saat lagi. Mereka hanya tinggal berdua di dalam rumah dengan empat kamar yang cukup besar.
Setelah ditinggal oleh suami dan anak sulungnya, Ratih menyibukkan diri dengan kegiatan sosial kemasyarakatan di sela kesibukannya sebagai Aparatur Sipil Negara. Ia bekerja sebagai salah satu pegawai di Dinas Kesehatan. Tiga tahun lagi ia akan pensiun sehingga ia mulai mempersiapkan diri, melalui kegiatan bersama penduduk di sekitar kompleks tempat tinggal mereka.
“Ibu, Salwa langsung istirahat ya. Besok pagi sudah harus ada di Puskesmas lebih awal.”
“Iya, Sayang. Setelah berita ini selesai ibu juga akan segera tidur.”
Salwa membuang pandangannya ke jam dinding di kamar. Hampir pukul setengah sembilan. Ia meraih ponselnya sebelum berbaring. Sebenarnya, kebiasaan buruk bagi kesehatan untuk membaca sambil tiduran, apalagi meletakkan ponsel di dekat tubuh karena radiasi yang akan mengganggu. Tetapi karena sudah terbiasa maka Salwa akan mengecek sebentar kabar dari grup percakapan yang ia ikuti sebelum ponsel ia singkirkan jauh-jauh agar bisa terlelap.
“Wah, ada panggilan dari nomor baru. Siapa, ya? Apa aku abaikan saja?” gumam Salwa pada dirinya sendiri.
Salwa masih bingung ketika sebuah pesan masuk. Masih dari nomor yang baru dan kebetulan sama dengan yang tadi meneleponnya. Salwa membuka pesan yang ada dengan rasa penasaran.
Perasaannya seketika berantakan seperti air yang meluap ke mana-mana karena wadahnya kepenuhan, saat membaca deretan pesan pendek dua kalimat di layar. Salwa mengetikkan beberapa huruf dan menekan tombol hijau. Beberapa detik kemudian ponselnya bergetar.
“Assalamualaikum… selamat malam, Dokter!” ujar sebuah suara berat dari seberang yang menyapa gendang telinga Salwa.
Ada rasa hangat saat suara itu kembali Salwa dengar setelah lebih dari setahun tidak ada kabar sama sekali.
Tetapi Salwa tidak ingin kegugupannya tertangkap oleh lawan bicaranya. Ia menenangkan diri dan mencoba untuk bersikap wajar.
“Selamat malam, Pak Yusuf.”
“Maaf kalau saya mengganggu malam-malam begini.”
“Saya juga minta maaf karena baru memegang ponsel dan tidak sadar kalau sudah ada banyak panggilan dari Pak Yusuf.”
“Saya ingin mengabari kalau saya dan Ibu sudah tinggal di Jakarta.”
“Alhamdulillah, kabar yang sangat baik. Bagaimana dengan keadaan Ibu Nining?”
“Ibu juga sehat, Alhamdulillah. Dokter sendiri apa kabar?”
“Seperti biasa dengan kesibukan di Puskesmas yang tidak ada habisnya. Pak Yusuf sekarang bekerja di mana?” tanya Salwa berbasa basi. Lidahnya sebenarnya kelu karena bingung harus bicara apa.
“Saya sudah menjadi guru di sebuah pesantren asuhan Kyai Ghafur. Letaknya di pinggiran kota Jakarta. Saya dan ibu tinggal di mes guru.”
“Sangat beruntung sekali. Mencari tempat tinggal di Jakarta bukanlah hal yang mudah.”
“Boleh saya bertamu ke rumah Dokter?”
“Ehm, kapan kiranya Pak Yusuf akan datang karena saya takut sedang tidak berada di rumah. Sangat merepotkan kalau sudah menempuh perjalanan jauh dan gagal.”
“Sesegera mungkin seperti besok malam?”
Hening seketika karena Salwa terkejut mendengar jawaban spontan dari Yusuf. Ia sedang sibuk menenangkan debaran dalam dirinya.
“Maaf, Bu Dokter. Anda masih mendengar suara saya?” Suara Yusuf kembali terdengar oleh Salwa setelah tidak ada bunyi apa pun selama beberapa detik.
“Astagfirullah! Saya akan kirimkan alamatnya nanti.”
“Saya harap bisa bertemu Bu Dokter dan keluarga besok malam.”
“Insya Allah. Hati-hati nantinya dalam perjalanan.”
“Terima kasih banyak Bu Dokter. Selamat beristirahat. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Ponsel dalam tangannya, Salwa pindahkan dan jemarinya dengan lincah mengetikkan sesuatu. Sudah pasti alamat yang diminta oleh Yusuf.
Sementara di kamar dari Yusuf.
Pria itu sudah menyingkirkan telepon genggamnya dan sedang bersujud.
Ia menaikkan doa syukur karena jawaban doanya sungguh terbukti. Ia berhasil berbicara dengan Salwa dan semuanya tidak akan terjadi jika bukan karena ridho dari Allah. Bagian kalimat doa yang ia panjatkan termasuk meminta kemudahan agar rencananya besok malam dimuluskan.
Setelah sujud syukur barulah Yusuf membaca kembali ponselnya.
Ia memindahkan alamat rumah dari Salwa ke dalam buku catatan kecil yang selalu ada dalam dompetnya. Ia tidak ingin hal sesederhana kehabisan baterai ponsel di jalan dan tidak bisa membaca alamat rumah Salwa, menghambat rencananya.
Yusuf keluar dari kamarnya untuk membagikan kabar gembira yang baru saja ia peroleh tetapi ibunya ternyata sudah tidak ada di ruang televisi. Yusuf mendorong pintu kamar dan mendapati wanita kebanggaannya itu sudah tertidur tapi masih dengan lampu kamar yang terang benderang.
Yusuf merapikan selimut ibu Nining dan memberikan kecupan hangat di keningnya.
“Doakan Yusuf agar bisa merebut hati keluarga Salwa.”
Lalu pemuda itu memadamkan lampu utama menyisakan cahaya dari lampu tidur, keluar dari kamar ibunya sambil tak lupa menutup pintu. Di dalam kamarnya Yusuf tidak bisa memejamkan matanya. Suara merdu Salwa terus merasuki pikirannya. Ia sudah tidak sabar lagi, ingin berjumpa dengan wanita yang dipujanya dua tahun belakangan.
Hal yang sama terjadi juga pada Salwa. Niat awalnya ingin segera tertidur malah tidak bisa. Lampu kamarnya sudah padam begitu pula ponselnya sudah ia nonaktifkan tetapi matanya tidak juga menutup rapat. Salwa memikirkan niat Yusuf untuk bertandang ke rumahnya belasan jam lagi. Ia bukan tidak ingin bertemu Yusuf, namun rasa penasarannya lebih pada, apa yang akan pria itu sampaikan pada saat berkunjung nanti.
Salwa ingat betul kalau pemuda itu tidak banyak berkata-kata. Sekalinya berucap sudah berupa tekad yang tak terbantahkan. Perasaan Salwa bercampur aduk menjadi satu. Namun ia menekan harapannya ke lapisan paling dasar dalam kalbunya, agar rasa kecewa dan sakit hati itu sedikit terbendung apabila kenyataan yang ada nantinya, akan berbeda.
(Bersambung)
