Bab 12 Peluang ke Mesir
Bab 12 Peluang ke Mesir
Setelah mendapatkan restu dari Ibunya, Yusuf menelepon Kyai Ghafur dan menyampaikan kalau ia menerima tawaran pekerjaan yang diberikan. Lalu ia mengajukan surat pengunduran diri yang disampaikan kepada pimpinan dari SD di mana ia mengabdi selama ini. Kepala sekolah dan rekan sekerjanya sangat menyesali kepindahannya. Namun Yusuf meyakinkan mereka kalau jalinan kedekatan mereka akan tetap sama walaupun ia tidak lagi bekerja di bawah naungan lembaga yang sama.
Yusuf meninggalkan rumah ibunya di pagi hari menjelang pukul sepuluh agar ia tidak kemalaman sampai di pesantren. Dengan menyewa sebuah mobil pick up, Yusuf membawa motornya dan dua buah koper pakaiannya. Ibu Nining menghantar putranya dengan senyuman dan linangan air mata. Yusuf sangat berat meninggalkan Ibunya sendirian namun ia harus menguatkan hati agar bisa mencari jalan untuk menjemput Ibunda tersayang.
Pada saat yang sama di tempat kerja dari Salwa.
Dokter muda itu sedang menangani seorang pasien muda yang datang dengan keluhan sakit mata sejak dua hari sebelumnya. Pasien datang dengan mata yang terlihat merah seperti ada gumpalan darah pada bola matanya.
Karena pasien itu laki-laki dan masih muda, Dokter Salwa terbawa kenangan saat memeriksa pasiennya dari dekat. Tiba-tiba saja ia melihat wajah Yusuf pada pasiennya membuat Salwa menghentikan aktivitasnya. Ia mengatupkan matanya beberapa menit baru membukanya kembali. Sampai upaya yang ketiga kali baru Salwa bisa melihat wajah pasien yang sebenarnya.
Salwa memberikan tanda pada asisten yang mendampinginya dan memberikan petunjuk. Lalu ia keluar dari ruang periksa kembali ke ruangannya. Ia langsung berdiri di dekat wastafel. Ia menatap wajahnya di cermin dan malu sendiri.
“Apa yang terjadi sebenarnya. Mengapa tiba-tiba wajahnya begitu jelas mengusikku. Apakah ia baik-baik saja?” lirih Salwa berbicara dengan dirinya sendiri.
Seperti adanya telepati, Salwa seakan merasakan sesuatu sedang terjadi pada Yusuf.
Ia masih belum tahu kalau Yusuf memang sedang dalam perjalanan menuju Jakarta. Salwa lalu menenangkan dirinya. Ia meminta pada Allah dalam diam, untuk melenyapkan memori tentang Yusuf agar ia bisa konsentrasi bekerja melayani pasien.
Tak terlalu jauh dari Puskemas tempat Salwa bekerja, Yusuf baru saja tiba di Pesantren Kyai Ghafur. Ia meminta mobil yang mengantarnya untuk bersabar sebentar. Ia butuh bertemu dengan pemimpin pesantren untuk tahu letak rumah guru yang telah disediakan untuknya. Yusuf takjub saat mengetahui ternyata pesantren yang akan menjadi tempat pengabdian yang baru ternyata sangat luas, dengan jumlah murid ratusan. Yusuf disambut baik oleh Kyai dan langsung diantar oleh penjaga sekolah untuk menuju rumah yang akan Yusuf tempati.
Tak terasa sudah seminggu lamanya Yusuf menempati rumahnya. Ia sudah mendapatkan orientasi tentang kegiatan di pesantren, programnya dan pengelolaannya. Yusuf juga sudah diberikan uraian tugas selama ia bekerja untuk masa tiga bulan percobaan. Kyai Ghafur tetap harus menjalankan prosedur perekrutan staf secara standar demi penegakan aturan untuk kepentingan bersama. Meski begitu, pimpinan pesantren itu jujur berkata kalau ia sangat menyukai Yusuf sehingga tidak mungkin Yusuf dikeluarkan dengan tidak hormat, kecuali kesalahannya sangat berat.
Tiga minggu setelah beradaptasi, Yusuf meminta perkenanan dari Kyai agar bisa membawa ibunya tinggal di mes pesantren.
“Pak Kyai. Saya ingin izin untuk membawa ibu saya tinggal di mes guru.”
“Tentu saja boleh. Apakah ibu dari Pak Yusuf bisa memasak? Bagian dapur sedang mencari asisten untuk membantu juru masak bagi para santri?”
“Beliau bisa masak tetapi saya tidak tahu kalau memasak untuk jumlah yang banyak. Nanti bisa saya tanyakan Pak Kyai.”
“Baiklah. Nanti kabari saja setelah beliau datang.”
Akhir pekan dalam minggu berjalan, Yusuf kembali ke desa untuk menjemput ibunya. Rumah mereka di desa akan ditinggali oleh keluarga dari ibunya untuk sementara waktu.
Sungguh senang dan bangga hati Ibu Nining karena putranya menetapi janjinya. Nining sangat puas karena didikannya pada putra semata wayangnya berhasil dengan baik. Mereka tiba di Jakarta dengan selamat dan Nining menyanggupi untuk menjadi asisten di bagian dapur. Bahkan dia merasa sangat bersyukur karena bisa diterima bekerja.
Di balik kegembiraan karena berkumpulnya kembali ibu dan anak, masih ada satu kegelisahan Yusuf, bahwa dia belum bertemu dengan Salwa. Parahnya lagi, ia belum merasa pantas apalagi mampu melamar gadis itu.
“Suf, apa kamu sudah bertemu dengan Dokter Salwa?” tanya ibu Nining suatu malam saat mereka sedang makan.
“Belum Bu. Belum ada yang bisa aku banggakan. Waktunya belum tiba.”
“Mengapa kamu tidak coba untuk sekedar meneleponnya,” usul ibunya melihat betapa putranya terlalu tenang dan pintar menyembunyikan kegelisahannya.
“Nanti, Bu. Setelah saatnya tiba.”
Waktu bergulir terus dan baik ibu Nining mau pun Yusuf sudah memiliki rutinitasnya masing-masing. Lingkar pertemanan ibunya juga semakin meluas. Kegiatan Yusuf di pesantren juga mulai menumpuk. Dalam kericuhan tugas dan tanggung jawab yang ia emban, nasib baik masih terus berpihak kepada Yusuf.
Suatu siang ia dipanggil oleh Kyai Ghafur ke ruangannya. Kyai itu bertanya apakah Yusuf ingin melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Yusuf tentu menjawab dengan antusias bahwa jika kesempatan itu datang padanya, ia tidak akan menyia-nyiakan sedikit pun, dan berusaha memenuhi target pesantren terhadap dukungan atau beasiswa masternya.
Kyai Ghafur sangat senang dengan semangat Yusuf. Pesantrennya memang sangat dekat dengan beberapa pendonor beasiswa ke Mesir, asal memilih jurusan yang terkait dengan dakwah. Dan Kyai Ghafur menilai Yusuf adalah calon pendakwah yang handal. Ilmu agamanya pun cukup mumpuni untuk dapat meraih beasiswa.
“Selamat Pak Yusuf. Kamu salah satu kandidat untuk mendapat beasiswa untuk meraih gelar master dari pesantren. Belajar dan berdoalah, tesnya akan segera diadakan.”
Lidah Yusuf kelu. Ia sangat kaget dan gembira dalam waktu yang sama. Ia yakin tentu saja semuanya di bawah kendali Kyai Ghafur. Ia masih belum yakin dengan pendengarannya membuatnya bertanya lagi.
“Benarkah, Kyai?”
“Iya Pak Yusuf. Ke Mesir. Ini semua dokumennya. Silakan dipelajari dan dilengkapi untuk dikirimkan sesuai jadwal yang ada. Jangan sampai terlambat agar bisa masuk dalam daftar panitia untuk mengikuti tes seleksi.”
“Baik Pak Kyai. Terima kasih banyak. Saya akan pelajari dan persiapkan diri.”
Malamnya dalam doanya Yusuf mengucap syukur karena sekali lagi, tanda bahwa Allah mendengar doanya terbukti lagi.
Tidak ada hujan atau pun angin badai, Yusuf ditawari untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Kebanggaan tersendiri yang bisa ia gunakan sebagai senjata untuk meraih simpati dari Salwa dan keluarganya. Yusuf melewati serangkaian tes dan menunggu hasilnya dengan berdebar. Ibu Nining mendukung anaknya dalam doa.
Tanggal bersejarah itu pun tiba. Yusuf akhirnya dinyatakan lulus tes. Semua berkas verifikasi yang dibutuhkan sebagai kelengkapan data dan administrasi ia penuhi. Tidak ada satu pun yang terluput dari perhatiannya.
Setelah hampir sebulan berkutat dengan peluang beasiswa yang sedang ia kejar, akhirnya semua berkas yang Yusuf perlukan sudah rampung. Ia hanya menunggu jadwal keberangkatan ke Mesir. Yusuf akhirnya memberanikan diri untuk menelepon Salwa.
Di saat yang sama, Salwa masih berada di ruangannya bersiap-siap untuk pulang. Cuaca di luar mendung sehingga Salwa sudah mempersiapkan diri dengan jas hujan lengkap. Ia menggunakan skuter kuningnya. Ia tidak mungkin berhenti untuk memarkir motor hanya untuk mengenakan jas hujan. Makanya Salwa pakai dari awal walaupun mendung tidak berarti hujan.
Dengan dandanan demikian, semua benda berharga yang Salwa gunakan ia masukkan di dalam tas dan ia pakai di balik jas hujannya. Termasuk ponselnya juga tersimpan rapat dalam tasnya. Alhasil bunyi telepon yang terus berdering sudah lebih dari lima kali, tidak bisa Salwa dengar. Dokter muda itu menyusuri jalanan menuju rumahnya tanpa tahu kalau seseorang yang sangat merindukannya, sedang merasa putus asa karena gagal dalam upayanya menjangkau dirinya.
(Bersambung)
