Bab 11 Jalan bagi Yusuf
Bab 11 Jalan bagi Yusuf
Kepindahan Salwa membuat Yusuf mau pun dokter muda itu kembali sama-sama berjuang untuk meraih cita-cita. Dalam setiap sujudnya Yusuf berdoa agar dapat menaikkan taraf hidupnya dan melamar Salwa. Ia pantang menyerah. Selama janur kuning belum terlihat di rumah Salwa atau pun cincin melingkar di jari manisnya, Yusuf tidak akan mundur. Ia hanya akan berhenti mengejar dokter pujaannya jika maut merenggut kehidupannya.
Sementara Salwa memilih untuk mengabaikan desiran rindu yang menggelayut di balik relung hatinya. Kenangan bersama Yusuf yang tak seberapa menyisakan lubang rindu yang dalam. Salwa memilih untuk menyimpan rapat perasaannya agar tidak kecewa.
Sudah beberapa minggu sejak kepindahannya, namun belum sekali pun Yusuf menghubunginya.
Harapannya sudah pupus. Ia tak mungkin mencari pria itu. Ia tidak bisa mempermalukan diri sendiri. Ia tidak mendapat sinyal dari Yusuf kalau pria itu menyukainya. Salwa berhenti menanti dalam ketidakpastian.
Dokter muda yang tangguh itu menenggelamkan dirinya dalam pekerjaan selama mengabdi di sebuah Puskesmas di pinggiran ibu kota Jakarta. Dalam kesibukannya Salwa tidak menjauhkan diri dari komunitas rekan sejawatnya. Salwa memantau dari percakapan kelompok koas bahwa Evan sudah melanjutkan sekolahnya menjadi dokter ahli bedah. Tidak bisa dihindari bahwa dimana pun Evan masih saja menjadi idola dalam percakapan mereka apalagi teman seangkatan mereka. Tetapi hati Salwa tetap tidak bergetar saat mendengar kabar atau membicarakan tentang Evan.
Hanya saja ia sebenarnya iri dengan sepak terjang Evan dalam meniti kariernya. Pria itu memang memiliki semua fasilitas dan jaringan untuk bisa mendukungnya ke tahap yang sekarang ia jalani. Bukan berarti Salwa ingin menjadi dokter bedah. Ia sebenarnya sudah lama bercita-cita sekolah lagi menjadi dokter spesialis. Namun, dia lebih tertarik menjadi dokter yang ahli di bidang anak. Ia sudah rencanakan dari jauh hari. Buktinya, ia sudah mengumpulkan uang tabungan yang cukup besar selama bekerja menjadi dokter PTT.
Salwa hanya masih belum mendapatkan kesempatan dan waktu yang tepat untuk mewujudkan impiannya. Tidak akan ada yang bisa menghalanginya meraih mimpinya jika ia diberi umur yang panjang.
Sedangkan di lain tempat, Yusuf juga membunuh waktu dan kerinduannya pada Salwa dengan sibuk melakukan aktivitas lainnya selain mengajar. Yusuf pernah mendengar ada yang mengatakan bahwa menunggu itu sangat membosankan. Oleh karena itu lawanlah waktu, dengan menyibukkan diri sehingga kamu tidak merasa sedang menanti sesuatu melainkan mengejar sesuatu. Dengan pikiran inilah ia terus mengisi waktu kosongnya dengan kegiatan yang bermanfaat.
Hingga pada suatu hari, ia diundang untuk memberi tausiah di Ibukota Kecamatan. Di saat yang bersamaan, hadir banyak pemuka agama lainnya. Di akhir acara, Pak Camat memperkenalkan Yusuf dengan Kyai Ghafur, seorang pemilik pesantren besar di pinggiran Jakarta.
Kyai Ghafur sangat tertarik dengan cara Yusuf menyampaikan tausiahnya sehingga menawarkan Yusuf untuk bekerja di pesantrennya.
“Pak Yusuf ini salah satu anak muda yang berbakat Pak Kyai. Pertama kali saya mendengar ia tausiah di tingkat kelurahan, saya langsung tertarik makanya saya undang hari ini,” ujar Pak Camat memuji Yusuf membuat pemuda itu jadi malu.
“Pak Camat terlalu berlebihan,” bantah Yusuf sambil menundukkan kepalanya.
“Tanpa Pak Camat puji pun, saya sangat terkesima dengan tampilan Pak Yusuf. Kalau boleh tahu, apa kesibukan utamanya selama ini?” sanggah Pak Kyai sambil menatap Yusuf dengan serius.
“Saya guru SD di desa tempat tinggal saya,” sahut Yusuf dengan santun.
“Wah, kebetulan sekali. Saya sedang membutuhkan dua orang guru dan masih kosong belum terisi. Bagaimana kalau Pak Yusuf mengajar di pesantren saya saja?” tawar Pak Kyai tanpa basa basi.
“Kalau boleh tahu, pesantrennya di mana Pak Kyai?” timpal Yusuf mulai penasaran.
“Sekitar empat puluh lima menit jauhnya dari kota Jakarta, dengan motor kecepatan 50 km/jam kalau tidak macet,” jawab Pak Kyai.
“Boleh saya minta kartu nama atau apa pun dari Kyai agar saya bisa menghubungi Kyai secepatnya. Saya masih harus berdiskusi dengan ibu saya di rumah.”
“Tentu saja! Saya tunggu kabar baik dari Pak Yusuf.”
Mereka akhirnya mengakhiri percakapan. Yusuf pulang dari Kantor Camat dengan semangat baru dan menggenggam alamat dari pesantren milik Kyai Ghafur.
Setelah mendengar lokasi Kyai Ghafur semakin dekat dengan tempat Salwa tinggal dan mengabdi, Yusuf seperti mendapat jawaban dari doa-doanya.
Dalam perjalanan di atas motor, Yusuf sudah merencanakan untuk meminta restu dari ibunya agar bisa pergi ke Jakarta terlebih dahulu. Niatnya, setelah ia mendapatkan penghidupan yang cukup barulah ia akan menjemput ibunya di desa. Yusuf sangat berharap Ibunya akan menghantarnya dengan ridho dan doa.
Setelah memarkir motornya di pekarangan rumah mereka yang sederhana, Yusuf melihat Ibunya yang sudah hafal dengan jam kepulangan putra tunggalnya sudah menanti dengan segelas teh panas. Waktu menunjukkan hampir pukul lima sore.
Yusuf mencium tangan ibunya lalu membersihkan diri sebentar.
Ia lalu kembali dan duduk di depan ibunya untuk meneguk minuman yang sudah disiapkan.
“Bu, aku tadi bertemu dengan seorang Kyai dari Jakarta. Ia menawarkan pekerjaan di pesantrennya.”
“Kamu ingin bekerja di Jakarta, Suf? Apa kamu yakin?”
“Bu, aku butuh restu Ibu. Semua pekerjaan tidak ada yang mudah. Semua lingkungan baru juga butuh penyesuaian. Tetapi, aku ingin bisa bertemu dengan Salwa. Hanya dengan bekerja di sana, aku punya peluang untuk dekat lagi dengannya.”
“Ibu selalu mendukungmu Nak. Ibu hanya tidak ingin kamu kecewa jika keadaan sudah berubah. Bisa jadi dokter Salwa juga sudah berubah.”
“Ibu benar. Tapi aku butuh bukti Bu. Aku janji akan datang kembali menjemput Ibu setelah aku mendapatkan tempat tinggal yang layak. Beri aku waktu untuk mempersiapkan semuanya.”
“Kamu itu gigih seperti ayahmu. Kalau kamu sudah putuskan semuanya, sebenarnya tidak perlu minta pendapat ibu lagi.”
“Aku minta maaf Bu. Bukan itu maksudku. Aku butuh doa dari Ibu. Aku hanya mengikuti kata hatiku. Kalau memang perkiraan Ibu benar dan dokter Salwa sudah memiliki seseorang yang akan dia jadikan imam, maka aku akan mundur.”
“Ibu dukung kamu selalu Nak. Kamu hati-hati di sana. Ibu tidak mungkin mengunjungimu dalam waktu dekat karena kesehatan Ibu. Kembalilah untuk menjemput Ibu. Jangan datang hanya untuk berkunjung karena ibu tidak ingin menahan sakit hati melihat kamu pergi berulang kali. Begitu kasutmu meninggalkan pintu rumah, maka ibu menanti kepulanganmu untuk membawa serta ibu bersamamu.”
“Iya, aku janji. Ibu harus tetap sehat dan kuat untuk bisa melihat cucu dan cicit Ibu nanti.”
Perbincangan mereka harus terpotong karena salat Maghrib. Dalam sujudnya sore ini Yusuf mengucapkan berjuta terima kasih pada Sang Khalik karena membuka jalan baginya.
Ia meminta satu kesempatan saja untuk bisa bertemu dengan Salwa. Mungkin akan menjadi pertemuan mereka yang terakhir atau pun sebaliknya sebagai awal yang baik. Apa pun hasilnya nanti, Yusuf mendoakan waktu itu. Kesempatan emas yang hanya datang satu kali. Yusuf sudah tahu apa yang akan dia katakan dalam pertemuannya dengan dokter Salwa Azzahra nanti.
(Bersambung)
