Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 10 Perasaan Salwa

Bab 10 Perasaan Salwa

Seminggu setelah pertemuannya dengan Evan, satu kejadian kecil membuat Salwa tanpa sengaja berpapasan dengan Yusuf. Setiap hari minggu pagi setelah salat Subuh, menjelang matahari terbit sehingga tidak terlalu gelap Salwa akan berjalan kaki pagi menuju daerah persawahan sekitar satu kilometer jauhnya dari tempat tinggalnya.

Karena sepatu sportnya terlanjur basah, ia akhirnya hanya memakai sandal rumahan untuk berjalan kaki. Salwa berpikir kalau dia hanya ingin menikmati segarnya udara pagi sehingga akan berjalan perlahan saja sehingga alas kaki apa pun masih bisa.

Semua berjalan lancar saat perjalanan menuju tempat tujuannya. Sayangnya, waktu perjalanan balik Salwa harus menenteng sandalnya karena yang sebelah kanan putus talinya. Salwa tidak memperhatikan dengan baik kalau ada bagian yang sudah koyak dan tersisa utasan serat yang langsung putus.

Akhirnya, Salwa bersabar dengan berjalan perlahan serta mengorbankan kaos kakinya yang mengalasi kakinya. Setidaknya Salwa bersyukur karena sudah setengah perjalanan ia lalui. Anggaplah ia sedang melakukan terapi syaraf telapak kakinya saat ia harus berpijak pada kerikil. Jalan kecamatan yang tidak terlalu luas namun beraspal mulus membantu Salwa sehingga tidak sampai merasa sangat kesakitan.

Sekitar belasan langkah sudah Salwa tempuh, suara sepeda motor terdengar pelan dari arah belakang. Salwa tidak begitu peduli sampai motor itu berhenti tepat di depannya sehingga ia harus berhenti berjalan.

“Bu Dokter kenapa sandalnya?”

“Eh, Pak Yusuf. Untung saya belum mengumpat karena menghalangi jalan saya.”

“Maaf kalau mengagetkan. Izin, saya antar sampai ke mes?” tanya Yusuf sambil melirik ke kaki Salwa yang tidak bersandal. Kaki mungil yang terbungkus kaos kaki tipis membuat Yusuf tidak tega melihatnya harus lecet.

Salwa ikut melihat kakinya dan jadi malu karena Yusuf memergokinya dalam keadaan yang yang sangat tidak pantas.

“Baiklah.”

Dengan bahagia Yusuf membersihkan jok motornya dengan telapak tangannya. Tidak ada yang kotor hanya basah oleh embun pagi. Yusuf lalu naik ke motornya terlebih dahulu dan menunggu Salwa juga ikut naik. Dokter muda itu memakai kembali sandalnya agar ia bisa naik di jok belakang.

Mau tidak mau, Salwa harus mencari tumpuan agar bisa mendorong tubuhnya naik. Tangan kirinya menekan ujung tempat duduk motor, dan tangan kanannya ia tekan di dudukan motor agar tidak bersentuhan dengan Yusuf. Tapi karena memang sarung motor agak licin, Salwa terpaksa bertumpu sebentar di pundak Yusuf agar bisa duduk menyamping.

Yusuf merasakan tambahan beban pada motornya dan menanti sesaat sampai Salwa sudah benar-benar duduk barulah ia jalan dengan perlahan. Yusuf tersenyum sendiri di balik helmnya sudah membayangkan masa depannya dengan Salwa. Sementara Salwa langsung berpegang erat pada pinggiran tempat duduk setelah motor mulai melaju.

Sepanjang di atas motor, Salwa menatap obyek yang mereka lewati dengan hati yang berdebar. Tidak terlalu kencang namun ada rasa yang berbeda tidak seperti kalau ia sedang bersama dengan Evan. Berulang kali mereka bertemu tetapi tidak memberikan getaran seperti pagi ini.

Tak sampai hitungan menit, mereka tiba di depan pintu pagar mes dokter.

“Terima kasih banyak Pak. Maaf, pagi-pagi sudah merepotkan,” ucap Salwa begitu sudah turun.

“Tidak masalah. Saya langsung pamit karena ibu saya sedang menunggu.”

“Hati-hati di jalan,” balas Salwa dengan senyum kulumnya.

Yusuf mengangguk dan meneruskan perjalanannya.

Salwa lalu masuk ke dalam rumah dan langsung membersihkan dirinya. Untung kaos kakinya tidak sampai sobek hanya perlu ia cuci saja. Membayangkan kembali Yusuf menemukannya lagi tanpa sepatu, kembali membuat Salwa tersipu malu. Ia seperti merasa kalau Yusuf sudah melihat hal yang paling pribadi padahal hanya sepasang kakinya yang terbungkus kain tipis tanpa alas kaki. Getaran yang ia rasakan saat masih di atas motor sudah hilang namun aroma tubuh dari Yusuf masih ia kenang.

Sandalnya langsung ia buang di tempat sampah karena memang sudah cukup lama dan waktunya untuk rusak. Namun, alasan sebenarnya karena ia lebih tidak ingin mengingat peristiwa yang melekat saat melihat sepasang benda mati itu.

*

Tak terasa, dua belas bulan lamanya Salwa berada di desa tersebut dan waktu program PTTnya sudah selesai. Penduduk yang sudah dekat dengan Salwa sangat sedih saat perpisahan itu datang.

Beberapa hari sebelum Salwa pergi, Yusuf bertamu dengan membawa ibunya. Mereka hendak duduk di teras, tetapi Salwa memaksa agar ibunya bisa masuk di ruang tamu. Akhirnya Yusuf juga ikut sebagai pendamping.

“Terima kasih karena sudah membantu desa kami selama ini.” Ibu dari Yusuf menyampaikan kalimat pembuka untuk mencairkan suasana hening di antara mereka.

“Tidak perlu Bu. Sudah menjadi tugas saya untuk melayani masyarakat.”

“Ibu tidak punya apa-apa untuk Bu Dokter selain doa semoga sukses selalu di tempat yang baru.”

“Aamiin, Bu Nining. Terima kasih banyak karena sudah berlelah-lelah menyambangi saya. Seharusnya saya yang pamit ke rumah Ibu sebagai orang tua,” balas Salwa sambil sempat melirik pada Yusuf. Ia sebenarnya tidak suka Yusuf merepotkan Ibunya.

“Aku kan tadi sudah bilang ke Ibu,” bisik Yusuf di kuping ibunya.

Sebelum sampai ke rumah Salwa, memang Yusuf sudah bilang kalau Kepala Puskesmas di desa mereka itu tidak akan suka kalau menyusahkan orang yang lebih tua.

“Kami tidak akan berlama-lama. Biar Bu Dokter bisa beristirahat. Kalau sempat tugas ke sini lagi, jangan lupa mampir di gubuk kami,” lanjut Nining sambil mengatupkan kedua tangannya di dada.

“Jangan sungkan hubungi saya kalau memang ada keluhan terkait kesehatan Ibu Nining. Saya juga tidak ada apa-apa, hanya bisa tinggalkan nomor telepon ini. Kontak saya jika memang menuju ke kota, di mana tempat saya akan mengabdi nantinya.”

Nining menerima kartu nama itu dan diteruskan pada putranya.

Selama di sana, Yusuf tidak mengucapkan satu kata pun. Ia membiarkan para perempuan itu saling bercerita.

Ada rasa haru pada Ibu Nining saat mereka saling salam pamit. Air matanya tanpa bisa dibendung mengalir tanpa ia mengeluarkan satu suara pun. Dengan cepat wanita paruh baya itu menghapusnya dan tersenyum pada Salwa yang juga matanya sudah berkaca-kaca.

Yusuf dan Nining meninggalkan mes dokter setelah berbicara kurang dari tiga puluh menit.

Sepeninggal Yusuf dan ibunya, ada rasa yang kosong dalam diri Salwa. Tanpa ia rencanakan dan ia sadari, sudah mulai tumbuh perasaannya kepada Yusuf yang baru saja beranjak dari hadapannya. Ia berharap Yusuf bisa membalas dengan memberikan nomor teleponnya namun dugaannya keliru. Yusuf hanya diam, tanpa memberi respons kartu itu.

Sedangkan Yusuf juga meninggalkan kediaman mes dokter dengan hati remuk mengetahui kalau pujaan hatinya sudah pergi. Dia hanya menyimpan nomor telepon Salwa erat-erat. Ia menatap deretan dua belas digit angka itu dengan seksama dan menghafal nomor kontak Salwa dengan sepenuh pikiran dan hatinya. Salwa akhirnya meninggalkan kampung itu seminggu kemudian ke tempat penempatan tugasnya yang baru sebagai seorang dokter tetap yang digaji pemerintah.

Salwa salah mengira kalau Yusuf tidak ingin bertukar berita dengannya. Ia mengubur rasa yang mulai tumbuh dengan sangat rapat agar ia tidak sakit hati. Allah memang selalu memberikan tantangan untuk umatnya dengan cara berbeda-beda. Salwa berpikir, “Andai saja rasa untuk Yusuf datang lebih awal, mungkin saja dirinya tidak pergi dengan tangan hampa. Mereka mungkin bisa saling memberi kabar dengan status yang berbeda.”

Nasi sudah menjadi bubur. Hanya satu harapan Salwa, agar Yusuf mau menggunakan nomor telepon yang ia tinggalkan dengan cara yang tepat. Salwa mengutuk diri sendiri karena mulai merasa jatuh cinta. Salwa tidak siap untuk mengikatkan diri tetapi sosok Yusuf selalu bertengger di pelupuk matanya.

(Bersambung)

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel