Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

MABUK

Nyonya Bella menatap Darius yang sedang terpulas, pria itu tidak menyadari keributan yang ada di dekatnya. Nynya Bella pun segera menarik Maya keluar dari kamar keponakannya itu. Dia menyeret kasar Maya ke dapur. “Dengar ya gadis jalang, aku menerima kau di sini, karena Darius bilang tidak akan pernah membiarkan kau memiliki kehidupan yang tenang. Itu adalah hukuman untukmu karena telah membunuh Sofia!”

“Berani-beraninya kau naik ke ranjang Darius, di malam hari jadi pernikahan dia dengan Sofia. Sekarang kembali ke asalmu, kau ini hanya seorang pelayan rendahan! Jangan bermimpi untuk bisa naik pangkat!” hardik marah Nyonya Bella sembari mendorong tubuh Maya sampai terjatuh di lantai.

Maya berdiri di dapur, matanya berkeliling menyaksikan suasana rumah yang sepi. Pekerjaan yang seharusnya membuatnya teralihkan dari rasa tertekan justru membuatnya semakin sadar akan situasi yang dihadapinya. Setiap sudut rumah Darius adalah pengingat tentang tragedi yang menimpanya, dan setiap perintah Darius ataupun keluarganya adalah luka yang semakin dalam.

Kesokan paginya kepala pelayan sedang sakit. Dia pun meminta Maya menemani kepala koki untuk belanja bulanan di supermarket langganan keluarga Smith. Semenjak kelulusannya Maya benar-benar seperti terisolasi dengan duni luar. Akan pergi keluar dia pun merasa senang, meski hanya untuk pergi melihat sayuran, daging, susu, telur dan lain-lainnya.

Dengat tenang Maya duduk dibelakang mobil. Setelah sampai dia langsung mengeluarkan daftar keperluan rumah. Tiba-tiba saja ada yang menarik dan memeluknya. “Mengapa tidak pernah menjawab teleponku!”

“Rezvan!” batin Maya.

“A-aku… ponselku rusak!” imbuh Maya terbata.

“Bohong… pria itu pasti membuang ponselmu kan!” imbuh Rezvan.

Teringat Darius, Maya pun langsung mendorong kekasihnya itu. “A-aku sedang bekerja, kita bicara lain waktu ok!”

Maya sedikit terlihat ketakutan karena saat ini dia sedang bersama orang-orangnya Darius. “Rezvan, aku mohon!” pintanya dengan binar mata yang menyiratkan keputus asaan.

Rezvan pun melepaskan genggaman tangannya, Maya pun berbalik pergi meningalkan pria yang dia cintai itu. Pekerjaan belanja pun selesai, dia dan yang lainnya pulang ke ke kediaman Smith. Baru sampai di halaman belakang. Semua dibuat terkejut oleh kehadiran Darius di sana.

“Mau apa dia di sini, bukankah seharusnya dia bekerja!” pikir Maya.

“Kemari!” panggilnya kepada Maya.

Wajah maya memucat, sementara yang lain tidak mau tahu dan mereka langsung pergi masuk ke dapur. Maya mendekat, terdengar suara Darius menurun menjadi bisikan yang penuh ancaman. “Kau tahu, aku bisa membuat hidup Rezvan dan keluarganya menjadi sangat sulit. Mereka tidak akan pernah tahu kenapa semua ini terjadi, tetapi mereka akan merasakan konsekuensinya.”

“Apa maksudnya?” tanya bingung Maya.

Darius mengambil ponselnya lalu menunjukannya kepada Maya, “Bukankah dia sudah aku peringatkan untuk tidak mendekatimu!”

“Itu salah paham, ini bukan seperti yang kau kira!” jelas gadis itu.

“Aku melihat ini sudah sangat jelas, Maya. Dan kau harus memilih antara kebahagiaanmu atau kehancuran orang lain,” Darius menjelaskan dengan nada dingin. “Jika kau tidak ingin menyakiti mereka, maka pastikan hubunganmu dengannya berakhir. Itu satu-satunya jalan.”

Maya merasakan air mata menggenang di matanya. “Kau tidak bisa mengancamku seperti ini! Aku bukan alat untuk melukai orang lain!”

Darius tersenyum sinis. “Kau sudah menjadi alatku sejak kau memasuki rumah ini. Sekarang, keputusan ada di tanganmu.”

Maya merasa putus asa. Dia tahu Darius tidak main-main. Dia bisa merasakan kekuatan dan pengaruhnya. Namun, keputusan itu terasa seperti taruhan yang mengerikan. Apakah dia benar-benar harus menghancurkan hidup orang lain untuk menyelamatkan dirinya sendiri?

Setelah Darius pergi, Maya duduk di sudut dapur, memikirkan semua yang terjadi. Dia tahu Rezvan mencintainya, tetapi jika Darius melanjutkan ancamannya, dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada keluarga Rezvan. Maya meraih ponselnya dan mengetik pesan.

Untuk Rezvan: “Kita perlu berbicara. Ini penting.”

Setelah mengirim pesan, hatinya berdebar. Dia merasa seperti mengkhianati pria yang selama ini menyayanginya, tetapi dia tidak tahu bagaimana menjelaskan situasi yang dia hadapi. Dia ingin menghindari kehancuran yang bisa menghancurkan semuanya.

Beberapa jam kemudian, Rezvan membalas. “Aku datang sekarang. Tunggu aku.”

Maya merasa cemas menunggu kedatangan Rezvan. Dia ingin menceritakan semuanya, tetapi takut pria itu tidak akan memahami betapa seriusnya situasi itu. Ketika Rezvan tiba, Maya mengajaknya ke taman belakang yang sepi, jauh dari pandangan Darius.

“Maya, ada apa? Kau tampak cemas,” Rezvan bertanya, wajahnya menunjukkan kekhawatiran.

“Rezvan, aku… aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya,” Maya mengungkapkan, suaranya bergetar.

“Apa pria itu mengancammu?” tanya Revzan

Maya menggelengkan kepalanya seraya berkata dengan sedikit tercekat, “Bukan!”

Maya benar-benar merasa terjebak, air mata mulai mengalir lalu keluarlah kata-kata yang menyakiti keduanya, “Kita putus saja!”

Rezvan terlihat marah. “Kau tidak bisa melakukan ini!

Maya memohon dengan suara melemas, “Tidak ada masa depan untuk kita, aku mohon jangan membuat ini semua menjadi sulit!”

Rezvan menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. “Jadi, kau ingin putus dengan aku? Itu cara terbaik?”

Maya terdiam. “Aku tidak ingin… tetapi mungkin itu satu-satunya jalan,” dia menjawab dengan suara rendah.

“Tidak, Maya! Aku tidak akan membiarkan Darius mengatur hidupmu. Kita bisa menemukan cara untuk menghentikannya,” Rezvan bersikeras, wajahnya terlihat marah dan bingung.

Maya merasa hancur. “Kau tidak mengerti, Rezvan!”

“Berapa hutangmu padanya, aku akan melunasinya untukmu!” imbih Rezvan lagi.

Maya menggelengkan kepalanya dan berkata lagi, “Meski menebusnya seumur hidup, itu tidak akan terganti!”

Maya merasakan ketidakpastian dalam hidupnya, tetapi dia tahu bahwa Darius tidak akan mundur. Dan di balik semua itu, dia merasa terjebak antara cinta dan ketakutan.

Setelah pertemuan itu, Maya kembali ke masuk ke rumah dengan hati yang berat. Ketika dia membuka pintu, Darius sudah menunggunya di ruang tamu. “Nah, bagaimana pertemuanmu dengan Rezvan?” tanyanya, nada suaranya penuh teka-teki.

Kulit kepala Maya terasa mengeras, baru saja berhasil meyakinkan Rezvan dengan keputusannya, sekarang sudah harus menghadapi Darius pria sedingin es, bahkan lebih dingin dari es.

Darius melangkah mendekat. “Kalau begitu, sepertinya kita harus memperjelas batasan. Aku tidak akan membiarkanmu berhubungan dengan siapapun yang bisa mengganggu rencanaku,” katanya, suaranya dingin dan tegas.

“Darius, tolong! Jangan hancurkan hidupku atau hidupnya,” Maya memohon, suara hatinya penuh dengan rasa takut.

“Jika kau ingin hidup, kau harus melakukan apa yang aku katakan,” Darius menjawab tanpa empati. “Dan jika kau ingin menyelamatkan Rezvan, maka lupakan dia. Jika tidak, semua konsekuensinya ada di pundakmu.”

Maya merasa putus asa. Dia tidak ingin menghancurkan hidup Rezvan, tetapi dia juga tidak ingin menyerah pada Darius. Dalam hati, dia bertekad untuk mencari jalan keluar, apapun risikonya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel