Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

AKU BUKAN PEMBUNUH

Maya masih berdiri di ruang kerja mewah di kantor Darius Smith yang kini menguasai hidupnya. Darius, dengan tatapan tajam dan aura yang kuat, terlihat seperti seorang raja yang mengawasi wilayahnya. Dinding kaca di sekelilingnya memantulkan kemewahan dan kekuatan, tetapi Maya merasa seolah berada di dalam penjara yang tidak terlihat.

Melihat Darius pergi, dia pun segera melangkah pergi meninggalkan gedung mewah yang terkutuk bagi dirinya. Maya keluar dar gedung itu dan menaiki taksi pertama yang melewatinya. Dia menangis sesegukan, di setiap momen bahagianya pasti Darius akan selalu menghancurkannya.

Taksi berhenti di halaman belakang kediaman Smith, Maya masuk melalui pintu belakang. Berjalan di koridor panjang yang menyambungkan kebun belakang dengan dapur. Hari ini cuaca mendung sedikit gerimis. Seakan sedang menggambarkan hati Maya yang sedang sendu.

Di malam hari, Kepala pelayan memanggail Maya. “Tuan menunggu di ruang kerja!”

Maya segera pergi ke ruang kerja Darius. Darius berbalik, memandangi Maya yang masih tertegun setelah pertemuan mereka sebelumnya. “Aku tidak suka berbasa-basi, Maya. Kita akan mulai dengan perjanjian yang jelas,” katanya, suaranya tegas dan tidak terbantahkan.

Maya menelan ludah, hatinya berdebar. “Perjanjian?” tanyanya, berusaha menunjukkan ketenangan meski ketakutan terus merayap.

“Ya. Mulai hari ini, kau hanya akan bekerja di rumahku sebagai pelayan, aku tidak mengijinkanmu bekerja di tempat lain. Itu adalah hukuman untukmu,” Darius menjelaskan, senyum tipis menghiasi wajahnya. “ Simpan saja ijazahmu!”

“Tapi, ini… kau tidak bisa begini?” Protes Maya.

“Aku hanya mengizinkanmu melanjutkan pendidikan, tidak pernah menjanjikan kau bisa menggunakan ijazahmu untuk berkerja!” ujar sarkas Darius

“Ini tidak adil, aku bahkan bersusah payah sendiri, membiayai diri sendiri!” jawab Maya lagi.

“Beasiswa itu tidak akan terjadi tanpa izinku!” imbuh dingin Darius lagi.

Maya terdiam, merasakan air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. “Tapi… Kau tidak bisa melakukan ini! Ini tidak adil!” suaranya bergetar, suara hatinya melawan.

“Tidak ada yang adil dalam hidup ini, Maya,” Darius menjelaskan, menatap Maya dengan serius.

“Aku tidak ingin hidup seperti ini!” teriak Maya, keberaniannya semakin tumbuh meskipun jantungnya berdegup kencang.

“Keberanianmu akan membawamu pada kesengsaraan jika kau tidak hati-hati,” Darius mengingatkan, menekankan setiap kata. “Sekarang, pergi dan lakukan pekerjaanmu!”

Maya keluar dari ruang dengan perasaan hampa. Setiap langkah terasa berat, seolah dunia sedang menekannya ke bawah. Pada saat ini, rasa putus asa semakin menyelimuti pikirannya. Dia tahu, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.

Pagi harinya, Seperti biasa Maya tengah bersiap-siap untuk memulai pekerjaannya sebagai pelayan di rumah Darius. Rumah megah itu tampak menakutkan, dengan dinding putih bersih dan furnitur mahal yang mencolok. Dia merasa seolah-olah berada di dalam istana seorang raja, tetapi tanpa kebebasan seorang ratu.

Saat dia melangkah masuk ke dalam rumah, Darius sudah menunggunya di ruang tamu yang luas. Daius menatapnya lalu berkata, “Nanti malam akan ada makan malam keluarga, siapkan semua dengan baik!”

Maya berusaha menahan rasa takutnya dan mengangguk. Darius tertegusn sesaat lalu berkata lagi. “Bersihkan seluruh rumah, masak makanan, dan pastikan semua kebutuhan terpenuhi,” Darius berkata lagi sambil menunjuk ke arah dapur. “Kau tidak punya waktu untuk bersenang-senang. Ingat, ini adalah hukuman.”

Maya mengangguk pelan, meskipun hatinya menolak. Dia mulai membersihkan ruangan demi ruangan, mencoba tidak memikirkan tekanan yang membebani pikirannya. Setiap sudut rumah itu mengingatkannya pada masa lalu, saat dia masih merasa bahagia sebelum hidupnya terbalik oleh tragedi.

Setelah beberapa jam bekerja tanpa henti, Maya merasa lelah. Dia menatap dapur yang bersih, merasa sedikit bangga meski tertekan. Namun, Darius tidak memberikan ruang bagi kebahagiaannya. Dia masuk ke dapur dengan langkah mantap.

“Bagus, tetapi kau masih harus belajar banyak,” Darius mengamati, suaranya dingin.

“Belajar tentang apa?” Maya bertanya, bingung.

“Belajar bagaimana menjadi pelayan yang baik. Kau perlu memahami bahwa hidup ini bukan hanya tentang dirimu. Kamu adalah pengingat untukku. Setiap kali kau melakukan pekerjaanmu, ingatlah akan nyawa yang hilang,” jawab Darius, tajam dan penuh ketidakpedulian.

Maya merasa sakit hati mendengar kata-kata itu. “Aku tidak ingin diingatkan tentang itu!” dia berteriak, marah seraya pergi meninggalkan Darius yang masih berdiri bergeming di lantai dapur.

“Aku tidak segan-segan untuk mengubah hidupmu menjadi lebih buruk, Maya!” imbuh Darius dalam hati seraya berpikir. “Apakah itu tantangan?” Darius tersenyum, menyiratkan ketidakpedulian. “Sangat menarik. Aku suka jika seseorang berani melawan. Tapi ingat, akan selalu ada konsekuensi.”

Maya merasa ketakutan tengah merayap di sekujur tubuhnya, Tetapi hatinya merasa lega ketika dia sudah mengeluarkan isi hatinya, memaki Darius. Makan malam keluarga pun tiba, Anggota penting di keluarga Smith mulai berdatangan. Terlihat Maya mulai sibuk menata makanan di atas meja makan.

Makan malam pun dimulai, tiba-tiba saja terdengar suara gebrakan meja. “Maya, lebih baik kau perhatikan makanan ini. Kalau tidak, aku tidak akan segan-segan untuk membuangnya,” Nyonya Bella memperingatkannya sambil menunjukkan ekspresi dingin.

Maya langsung mendekat, “Maaf Nyonya, apa ada yang salah?”

“Apa kau tidak lihat ada rambut di makananku!” jawab Nyonya Bella.

“Rambut… t-tapi tidak ada rambut tadi!” jawab Maya yang langsung terbelalak ketika mengetahui dirinya dijebak, ketika melihat ada sedikit wanra putih di rambut yang ada di dalam piring.

“Sepertinya itu bukan rambutku!” jawab Maya berusaha tenang.

“Kau berani ya! Bilang aku berbohong!” hardik marah Nyonya Bella.

Maya merasakan sakit yang semakin mendalam. “Aku sudah melakukan yang terbaik untuk menyiapkan segalanya,” jawabnya, mencoba menjaga ketenangan meskipun amarahnya mendidih.

Pada awalnya kelurga Smith tidak menyetujui pengadopsian Maya, tapi Darius meyakinkan mereka. Termasuk Nyonya Bella. Dia ini adalah tante dari istrinya kala itu. Karena itu Nyonya Bella sangat membenci Maya. Dan dalam acara apa pun jika bertemu dengan Maya dia akan selalu mencari perkara dengan gadis itu.

Selama beberapa minggu ke depan, Maya bekerja di bawah pengawasan ketat Nyonya Bella. Dia menjalani rutinitas harian yang melelahkan, melakukan semua pekerjaan rumah dan memasak. Setiap kali dia berusaha untuk bersikap normal. Tapi, Nyonya Bella selalu muncul dengan sindiran atau ancaman yang menyakitkan.

Setiap malam, setelah Darius pergi tidur, Maya akan duduk di kamarnya, merenungkan apa yang terjadi. Dia merasa terjebak dalam siklus kekejaman dan ketakutan, tetapi di dalam hatinya, dia bertekad untuk tidak membiarkan mereka menang. Dia akan menemukan cara untuk bebas dari belenggu ini. Suatu malam, saat Maya sedang menyiapkan makanan di dapur, dia mendengar ketukan di pintu. “Buka!” teriak Darius dari luar.

Maya membuka pintu, dan melihat Darius berdiri di ambang pintu, wajahnya tampak lelah. “Aku butuh sesuatu untuk dimakan,” katanya.

“Kau mabuk!” imbuh Maya.

“Tidak! Aku lapar. Cepat buatkan aku makanan!” imbuhnya lagi.

“Sebaikanya aku membawamu ke kamarmu saja!” imbuh Maya sambil memapah Darius yang sedikit terhuyung.

Darius pun patuh dengan sikap acuh tak acuh, tetapi saat melihat Maya, ada yang berbeda di wajahnya.“Kau tahu, aku tidak mengharapkan banyak dari seorang gadis sepertimu,” Darius mulai berbicara, nada suaranya lebih lembut daripada biasanya.

Maya merasa terkejut. “Apa maksudmu?” imbuhnya sambil terus memapah pria yang sedang mabuk itu.

“Banyak yang berusaha menyenangkan hati orang lain, tetapi kau... kau justru berani melawan. Itu mengesankan,” Darius menjelaskan, meskipun suaranya masih terdengar dingin.

“Jadi, apakah itu berarti aku mendapatkan sedikit kebebasan?” tanya Maya dengan penuh harapan.

Darius tertawa sinis. “Kebebasan? Tidak, itu bukan bagian dari rencanaku. Kau harus ingat bahwa ini adalah hukuman.”

“Iya… iya Tuan aku akan selalu mengingatnya!” jawab Maya sembarang karena sudah merasa kesusahan memapah tubuh tinggi tegap Darius.

Maya berhasil membuka pintu kamar Darius, lalu merebahkan tubuh pria itu di ranjang. Baru saja berdiri dan bernapas lega, tangan pria itu malah menariknya sampai jatuh diatas tubunya. Pintu kamar masih terbuka pada saat ini Nyonya Bella melihat adegan itu.

Dengan rasa penuh kemarahan dia pun masuk ke dalam kamar, lalu menarik Maya dari atas tubuh Darius dan melayangkan satu tamparan keras di pipi gadis itu. Maya merasa pipinya kebas dan panas. Nyonya Bella pun mulai memaki, “Dasar jalang!”

“Setelah membunuh Sofia, sekarang kau mau naik ke atas ranjang Darius!” hardik Nyonya Bella.

Maya memegang pipinya yang terasa kebas, memandang Nyonya Bella dengan tatapan sinis seraya berkata dalam hati, “Aku bukan pembunuh!"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel