Bab 5: Gairah dan Bayang-Bayang Kenangan
Di kediaman megah Jonathan Carter, yang berdiri kokoh dengan dinding-dinding marmer yang memantulkan cahaya lampu kristal, udara malam terasa berat oleh aroma parfum mahal dan nafsu yang tak terkendali.
Kamar tidur utama, dengan ranjang berukir emas dan seprai sutra merah, menjadi panggung bagi hasrat yang membara, diterangi hanya oleh lampu temaram yang menciptakan bayang-bayang erotis di dinding.
Sofia, dengan rambut cokelatnya yang tergerai liar dan gaun tipis yang nyaris transparan, terbaring di ranjang, tubuhnya bergetar di bawah sentuhan Jonathan Carter, yang dikenal sebagai Tuan Jo.
“Aahhh, Tuan Jo, pelan-pelan,” desah Sofia.
suaranya parau, penuh campuran kenikmatan dan kepasrahan, matanya berkaca-kaca di bawah kilau lampu.
“Kau nikmati saja hisapanku, dasar lonte,” balas Tuan Jo.
suaranya dalam dan penuh otoritas, bibirnya melengkung dalam senyum predator yang menikmati setiap detik kekuasaannya.
“Hnghhh… Tuan Jo, ini sangat nikmat,” erang Sofia.
tubuhnya melengkung, jari-jarinya mencengkeram seprai sutra, seolah mencari pegangan di tengah badai gairah.
SLURRRPP SLURRRPP
suara hisapan Tuan Jo menggema di kamar, seperti ritme primitif yang memenuhi udara dengan ketegangan yang nyaris terasa di kulit.
“Sshhh… Aahhh… Hisapanmu sangat enak, Tuan Jo, memekku sampai kesemutan,” ucap Sofia.
suaranya pecah, wajahnya memerah, keringat mulai menetes di dahinya seperti embun di pagi hari.
“Memekmu sangat enak, Sofia, aku tak bisa berhenti,” balas Tuan Jo.
matanya berkilau penuh nafsu, giginya hampir menggigit kulit Sofia yang lembut, seolah ingin menelan setiap inci tubuhnya.
“Hnghhh… Aahhh… Bagaimana kalau… Aahhh… Anakmu melihat kita?” tanya Sofia.
suaranya tersendat, campuran antara kenikmatan dan kekhawatiran yang tiba-tiba menyelinap di hatinya.
“Hmphhh… Tenang saja, anakku selalu mengerti keadaan ayahnya, jadi jangan khawatirkan itu,”
jawab Tuan Jo, nada suaranya penuh percaya diri, seolah dunia di luar kamar ini tak lagi relevan.
Dengan gerakan yang penuh kekuatan, Tuan Jo menindih tubuh Sofia, memasukkan penisnya ke dalam dirinya, gerakan itu seperti petir yang menyambar, menggetarkan ranjang yang megah.
“Aahhh,” erang mereka serentak saat tubuh mereka menyatu.
suara itu bergema seperti simfoni yang penuh gairah, mengisi ruangan dengan panas yang membakar.
Tuan Jo menggerakkan pinggulnya dengan ritme yang kuat, setiap dorongan seperti pernyataan dominasi, membuat Sofia terhanyut dalam gelombang kenikmatan yang tak terkendali.
“Oh, Tuan Jo… Aahhh… Aahhh… Aahhh…” desah Sofia.
suaranya semakin liar, seperti nyanyian yang terputus-putus, tubuhnya bergoyang mengikuti irama Tuan Jo.
Tuan Jo semakin dalam menusuk, gerakannya penuh tenaga, seperti mesin yang tak pernah lelah, membuat ranjang berderit di bawah tekanan tubuh mereka.
“Aahhh… Hnghhh… Oohhh,” erang Sofia.
jari-jarinya semakin kuat meremas seprai, keringat mengucur deras, membasahi kulitnya yang berkilau di bawah cahaya lampu.
“Tuan Jo, kau sungguh sangat kuat, memekku rasanya mau sobek,” ucap Sofia.
suaranya penuh keputusasaan yang bercampur kenikmatan, matanya memohon namun penuh hasrat.
“Kamu terlalu meremehkan pria 65 tahun, Sofia, staminaku tidak kalah dengan pria muda, jadi nikmatilah kontolku ini,” balas Tuan Jo.
suaranya penuh kebanggaan, bibirnya melengkung dalam senyum yang menantang.
“Aahhh… Aahhh… Hnghhh, kau yang terbaik, Tuan Jo,” desah Sofia.
kata-katanya nyaris tenggelam dalam erangan, tubuhnya bergetar hebat di bawah kekuatan Tuan Jo.
Tuan Jo lalu menunduk, bibirnya menghisap payudara Sofia dengan rakus, gerakan itu penuh nafsu, seperti seorang yang kelaparan menemukan oasis di padang pasir.
SLURRPP SLURRPP
suara hisapan itu seperti melodi erotis, mengisi kamar dengan ritme yang memabukkan, membuat udara semakin panas dan berat.
“Oh, Tuan Jo… Hnghhh… Jangan digigit,” protes Sofia.
suaranya bercampur tawa dan erangan, tubuhnya melengkung, seolah ingin menjauh namun tak mampu melawan kenikmatan.
“Tetekmu rasanya sangat enak, aku bisa gila bila tidak menghisapnya sehari saja,” balas Tuan Jo.
suaranya serak, matanya berkilau seperti binatang buas yang sedang menikmati mangsanya.
Di luar kamar, pintu utama rumah itu terbuka perlahan, dan Grace melangkah masuk, jaket kulitnya masih menempel di tubuhnya, rambut ikalnya sedikit berantakan oleh angin malam.
Langkahnya terhenti sejenak ketika suara desahan dari kamar ayahnya menggema, seperti pisau yang menusuk hati, membawa perasaan yang bercampur antara jijik dan kepedihan.
“Aahhh… Aahhh… Aahhh… Tuan Jo, aku mau crot,” teriak Sofia.
suaranya penuh keputusasaan, bergema hingga ke koridor, membuat Grace mengatupkan rahangnya dengan kesal.
“Orang tua itu, hanya urusan Lonte saja yang dipikirin, gak pernah mikirin anaknya,” gumam Grace.
nada suaranya penuh kegetiran, langkahnya berat menuju kamarnya di ujung koridor.
Ia membanting pintu kamarnya, suara itu seperti pernyataan kemarahan yang tak terucapkan, lalu membaringkan tubuhnya di kasur mewah berbalut seprai satin hitam, yang kontras dengan kekacauan di hatinya.
“Revan,” bisik Grace, namanya meluncur dari bibirnya seperti doa, penuh kerinduan yang tak bisa ia ungkapkan dengan keras.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia membuka galeri di ponselnya, jari-jarinya mengusap layar, membuka foto-foto lama yang menyimpan kebersamaan mereka dari kecil hingga SMP.
Wajah tampan Revan, dengan senyum manis yang selalu membuat hatinya hangat, terpampang di layar, seperti jendela menuju masa lalu yang penuh kebebasan.
Ada foto Revan kecil yang tertawa di bawah pohon, matanya berbinar saat mereka bermain petak umpet di halaman sekolah yang penuh rumput.
Ada pula foto saat Grace jatuh saat hujan karena takut petir, wajah Revan penuh kekhawatiran, tangannya menggenggam erat tangan Grace, seperti janji diam bahwa ia akan selalu ada.
Grace tersenyum kecil, namun senyum itu penuh kepedihan, karena kebersamaan itu seolah telah terkubur di bawah bayang-bayang SMA Galaksi yang penuh intrik.
Lebih tepatnya, kenangan itu mulai memudar sejak Grace mulai berpacaran dengan Nathaniel Edward, penguasa sekolah yang karismanya seperti badai, menarik semua orang ke dalam pusarannya.
Nathan, dengan sikapnya yang dominan dan sentuhan yang tak pernah ragu, telah mengubah Grace, membuatnya memainkan peran yang asing bagi dirinya sendiri.
Namun, di balik topeng itu, gambar Revan di ponselnya seperti mercusuar, mengingatkannya pada dirinya yang dulu, gadis yang bebas, yang bisa tertawa tanpa beban bersama sahabatnya.
“Apa kau masih ingat kebersamaan kita, Revan?”
bisik Grace pada dirinya sendiri, suaranya nyaris tak terdengar, matanya berkaca-kaca menatap foto Revan yang tersenyum polos.
Ia mengusap layar ponsel, seolah ingin menyentuh wajah Revan, merasakan kembali kehangatan yang hilang di antara mereka sejak SMA mengubah segalanya.
Di luar, angin malam bertiup pelan, membawa aroma embun dan kesunyian, sementara di dalam kamar Grace, udara terasa berat oleh kerinduan dan penyesalan yang tak terucapkan.
Grace memejamkan mata, membiarkan bayang-bayang Revan mengisi pikirannya, namun suara desahan dari kamar ayahnya masih samar-samar terdengar, seperti pengingat pahit akan realitas yang ia hadapi.
Malam itu, di antara kemewahan rumah Carter, Grace terjebak antara masa lalu yang hangat dan masa kini yang penuh dengan topeng dan rahasia.
