
Ringkasan
WARNING!!!!! ----------- NOVEL INI BERGENRE 21++ DENGAN DESKRIPSI SEKSUAL EKSPLISIT DAN KONTEN KEDEWASAAN VULGAR. TIDAK DITUJUKAN UNTUK PEMBACA DI BAWAH UMUR. JIKA ANDA BELUM CUKUP UMUR, SILAKAN MEMBACA NOVEL LAIN. ----------------- cerita ini mengandung sisi gelap kekuasaan, kekerasan fisik, trauma, obsesi, hubungan seksual yang melanggar batas dan kehidupan moralitas yang abu-abu. ----------------- Premis: Terjerat hutang dan kesalahan orang tuanya kepada keluarga Carter, Revan Mahendra dipaksa menjadi budak Gracelina Evangeline Carter, putri bungsu jonathan Carter, pengusaha kaya raya yang maniak seks dan tak bermoral, bahkan menjadikan Hana salsabila, ibu Revan, salah satu korban kebejatan Seksualnya. Tumbuh dalam bayang-bayang ayahnya yang kejam, Grace membentuk diri menjadi sosok keras dan dominan. Di sekolah, ia dielu-elukan sebagai ratu berkat pacarnya sang bos geng disekolahnya, namun di balik itu ia hanyalah gadis rapuh yang menyembunyikan luka batin. Ironisnya, satu-satunya tempat ia menemukan Sandaran kekuatan adalah pada Revan, sang budak yang sejak kecil diam-diam mengikat hatinya, bahkan gairah seksualnya.
Bab 1: Pangkuan Kekuasaan
Di kelas IPS 2 SMA Galaksi, sebuah sekolah elit yang berdiri megah di puncak bukit kota, keindahan arsitektur modernnya kontras dengan kelamnya dinamika yang menguasai koridor-koridornya.
Dinding-dinding kelas, dihiasi poster motivasi bertuliskan “Keberhasilan Dimulai dari Diri Sendiri,” seolah menertawakan realitas yang jauh lebih kejam.
SMA Galaksi adalah medan perang hierarki sosial, tempat kekuasaan, status, dan intimidasi menentukan siapa yang bertahan dan siapa yang tersingkir.
Di sudut kelas, sinar matahari yang lembut menyelinap melalui jendela kaca patri, menerangi Gracelina Evangeline Charter yang duduk dengan anggun di pangkuan Nathaniel Edward.
Posisi ini bukan sekadar keakraban dua sejoli, ini adalah simbol kekuasaan, pernyataan tak terucapkan bahwa mereka adalah raja dan ratu di kerajaan kecil yang penuh intrik ini.
Nathaniel Edward, ketua geng Giga, adalah sosok yang memerintah dengan karisma yang dingin dan penuh perhitungan.
Wajahnya yang tampan dengan rahang tegas dan mata kelabu yang tajam diselimuti aura yang membuat orang-orang di sekitarnya merasa kecil.
Ia bukan hanya ditakuti, tapi juga dikagumi, seperti dewa yang kejam namun memikat. Setiap gerakannya, dari caranya menyandarkan tubuh di kursi hingga tatapan yang seolah menembus jiwa, adalah bagian dari pertunjukan kekuasaan yang ia mainkan dengan sempurna.
Di pangkuannya, Grace tampak seperti perhiasan mahkota, namun jauh dari sekadar aksesori. Gracelina, atau Grace, adalah ratu yang tahu bagaimana memainkan permainan ini.
Rambutnya yang panjang dan berkilau seperti sutra, senyumnya yang manis namun penuh perhitungan, serta seragam sekolah yang dimodifikasi dengan cerdik rok lebih pendek, dasi yang sengaja dilonggarkan membuatnya menjadi pusat perhatian tanpa perlu berusaha keras.
Ia duduk di pangkuan Nathaniel dengan sikap yang penuh kendali, seolah dunia ini adalah panggungnya dan semua orang hanyalah penonton yang menunggu arahannya.
Namun, di balik fasad kemewahan dan kekuasaan ini, ada retakan kecil yang hanya sedikit orang yang menyadarinya.
Grace bukan sekadar ratu yang sempurna; ada sesuatu di balik senyumnya yang tidak pernah benar-benar mencapai matanya.
Matanya yang cokelat hangat, yang seharusnya penuh dengan kelembutan, sering kali menyimpan kilatan keraguan atau mungkin penyesalan yang hanya bisa dilihat oleh mereka yang benar benar mengenalnya.
Nathaniel, di sisi lain, adalah badai yang terkendali. Ia memerintah geng Giga dengan tangan besi, tapi ada kegelapan di dalam dirinya yang bahkan anggota gengnya sendiri tidak berani menyinggung.
Geng Giga terdiri dari William Atmawijaya, Nicholas Pradipta, dan Sean Samudra adalah perpanjangan dari kekuasaannya, masing-masing dengan peran mereka sendiri dalam menjaga hierarki SMA Galaksi tetap utuh.
William dengan ejekannya yang tajam, Nicholas dengan sikap santainya yang menipu, dan Sean dengan loyalitas butanya, adalah pilar-pilar yang menopang kerajaan Nathaniel.
Keharmonisan kecil di antara para elit ini terganggu ketika sebuah bayangan muncul di pintu kelas.
Revan Mahendra berdiri di sana, tubuhnya kaku, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Seragamnya yang sedikit kusut dan sepatunya yang sudah usang adalah tanda nyata bahwa ia tidak termasuk dalam lingkaran emas SMA Galaksi.
Bagi banyak orang di sini, Revan adalah “kacung” sebutan yang dilemparkan dengan nada menghina oleh anggota geng Giga untuk siapa saja yang dianggap berada di bawah mereka.
Namun, di balik penampilan sederhananya, ada api di mata Revan. Matanya yang cokelat tua menatap Grace dengan campuran tekad dan luka yang tak terucap, seolah ia sedang memohon pada kenangan masa kecil mereka, ketika Grace masih gadis yang tertawa bebas bersamanya di bawah pohon kelapa di desa kecil mereka.
“Yoyo! Lihat siapa yang datang!”
William Atmawijaya berseru dari sudut kelas, suaranya penuh ejekan.
Rambutnya yang disisir rapi dan kacamata desainer yang bertengger di hidungnya membuatnya tampak seperti penutur satire yang kejam.
“Kacungmu datang tuh, Grace,”
sambung Nicholas Pradipta, yang bersandar di meja dengan sikap santai namun penuh provokasi.
Tawa kecil mengiringi kata-katanya, membuat beberapa siswa lain di kelas menoleh sebagian dengan rasa takut, sebagian lagi dengan rasa ingin tahu yang terselubung.
Di SMA Galaksi, menjadi penonton adalah cara bertahan hidup, dan tidak ada yang berani menantang status quo.
Revan tidak bergeming, meski kata-kata itu seperti pisau yang menusuk harga dirinya.
“Grace, bisakah kita bicara sebentar?” ucap revan.
suaranya tenang, tapi ada nada memohon yang terselip di dalamnya, seperti seseorang yang mencoba menjangkau sesuatu yang sudah lama hilang.
Grace menoleh, alisnya sedikit terangkat, seolah permintaan Revan adalah gangguan kecil yang harus ia selesaikan secepat mungkin.
“Baiklah,” jawabnya singkat.
suaranya lembut namun dingin, seperti angin musim dingin yang membelai sebelum menggigit.
Ia mulai bangkit dari pangkuan Nathaniel, gerakannya anggun namun penuh kendali, seolah setiap langkahnya adalah bagian dari tarian yang telah ia kuasai.
Namun, Nathaniel tidak begitu saja melepaskannya. Tangannya yang kuat menahan pinggang Grace, jari-jarinya dengan sengaja mengelus paha Grace, gestur yang sekaligus menunjukkan kepemilikan dan provokasi.
“Mau ke mana, sayang?”
tanyanya dengan nada rendah, hampir seperti ancaman yang diselimuti kelembutan.
Matanya menatap Grace, lalu beralih ke Revan dengan sorotan yang penuh penghinaan, seolah Revan hanyalah serangga yang tidak layak berada di hadapannya.
Grace menoleh padanya, senyum kecil menghiasi bibirnya, tapi ada ketegangan halus di sudut matanya.
“Oh, Nathan sayang, aku akan kembali secepat mungkin. Gak bakal lama,” katanya dengan nada manja.
tangannya dengan ringan menyentuh dada Nathaniel, seolah menenangkan seekor binatang buas yang siap menerkam.
Nathaniel menyipitkan mata, jelas tidak senang, tapi ia akhirnya mengangguk.
“Baiklah. Aku beri kau waktu dua menit untuk bicara dengan kacungmu yang idiot dan miskin itu,” ucapnya.
nadanya penuh ejekan. Sebagai penutup, ia dengan sengaja meremas bokong Grace, gerakan yang membuat beberapa anggota geng Giga terkekeh dan Revan menunduk, menahan amarah yang menggelegak di dadanya.
Grace tidak menunjukkan reaksi apa pun terhadap sentuhan itu, wajahnya tetap sempurna seperti topeng porselen. Ia melangkah keluar kelas dengan anggun, kepalanya tegak, seolah tidak ada yang bisa menggoyahkan posisinya sebagai ratu.
Di belakangnya, Sean Samudra bersandar di kursinya, matanya mengikuti Grace dengan kekaguman yang nyaris buta.
“Hei, Nat, dari semua cewek di sekolah ini, Grace yang paling cantik. Lo beruntung bisa pacaran dengannya,” katanya, suaranya penuh keyakinan.
Nathaniel tidak menjawab segera. Ia hanya tersenyum tipis, matanya masih tertuju pada pintu tempat Grace menghilang.
Senyum itu tidak mencapai matanya—ada sesuatu yang gelap, sesuatu yang licik, di balik ekspresinya. Bagi Nathaniel, Grace bukan hanya kekasih; ia adalah trofi, senjata, dan mungkin juga ancaman.
Di SMA Galaksi, cinta bukanlah soal hati, ini soal kekuasaan, dan Nathaniel tahu bahwa Grace adalah pemain yang sama berbahayanya dengan dirinya.
