Bab 4: Jemari grace yang terampil.
Suasana intim menyelimuti kamar kecil Revan dalam kegelapan yang hanya dipatahkan oleh cahaya lampu meja yang redup, menciptakan bayang-bayang lembut yang menari di dinding.
Grace, dengan jaket kulitnya yang longgar dan rambut ikal yang sedikit berantakan, berjongkok di depan Revan, matanya berkilau nakal namun penuh kehangatan yang hanya Revan kenali dari masa kecil mereka.
Tangannya, lentik dan penuh percaya diri, meraba paha Revan dengan gerakan pelan, seperti aliran air yang mengalir di permukaan batu, membuat bulu kuduk Revan berdiri.
Rasa dingin dari sentuhan itu bercampur dengan panas yang menjalar di tubuh Revan, membuatnya menegang, napasnya tersendat di tenggorokan.
Perlahan, dengan sengaja, Grace menurunkan celana kolor Revan, kain usang itu meluncur ke lantai, diikuti celana dalamnya, meninggalkan Revan dalam kerentanan yang membuat wajahnya memerah seperti bara api.
“Kenapa kamu masih gugup saja, ini bukan pertama kalinya aku melakukan ini padamu,” ucap Grace.
suaranya lembut namun mengandung nada ejekan yang main-main, seperti angin yang menggoda dedaunan.
Revan hanya diam, lidahnya kelu, wajahnya terasa panas oleh rasa malu yang membakar, matanya terpaku pada lantai yang penuh goresan.
Dengan gerakan yang penuh kendali, Grace memegang penis Revan, jari-jarinya membelai dengan ritme yang lambat namun terasa seperti arus listrik yang menyengat.
“Hnghhh,” erang Revan.
suaranya pecah, tangannya mencengkeram sandaran kursi begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih.
“Oh, wajahmu begitu manis, Revanku,” kata Grace.
senyumnya melebar, matanya menangkap setiap kedutan di wajah Revan, seperti seorang pelukis yang terpesona oleh kanvasnya.
Gerakan tangan Grace tetap pelan, penuh irama, seperti memainkan melodi yang hanya mereka berdua pahami, membuat udara di kamar terasa semakin berat.
“Apa kamu menikmatinya, Revan?” tanyanya.
nada suaranya bercampur antara godaan dan kelembutan, seolah ingin mendengar pengakuan dari bibir Revan yang gemetar.
“Hhaaa… Aahhh… I-iya… A-aku menikmatinya,” balas Revan.
suaranya serak, wajahnya merona merah, matanya menghindari tatapan Grace yang terasa seperti menembus jiwanya.
“Kenapa kau memalingkan muka?” tanya Grace.
alisnya terangkat, tangannya terus bergerak, kini sedikit lebih cepat, seperti menarik tali yang semakin kencang.
“A-aku hanya sedikit malu,” gumam Revan.
suaranya nyaris hilang, tenggelam dalam lautan rasa malu dan gairah yang berputar-putar di dadanya.
Grace tersenyum, senyum licik yang penuh pesona, matanya berkilau seperti bintang di malam yang kelam, sementara tangannya terus mengocok dengan ritme yang kini lebih cepat, penuh maksud.
“Aahhh… Hnghhh…” erang Revan.
suaranya semakin tak terkendali, seperti ombak yang menghantam karang, tubuhnya mulai bergetar di kursi.
Grace memandang wajah Revan dengan penuh perhatian, menikmati setiap ekspresi birahi yang membuat wajahnya tampak begitu sangat menggemaskan.
“Aaahhhh… Sshhhh… Uuhhh,” erang Revan lagi.
suaranya kini lebih keras, napasnya tersengal, seperti pelari yang hampir mencapai garis akhir.
Grace mempercepat kocokannya, jari-jarinya menari dengan lincah, namun di dalam hatinya, ia mulai merasa lelah, sebuah keluhan kecil muncul di pikirannya.
"Kenapa gak mau crot sih?, Tanganku sudah sangat pegal,” gumamnya dalam hati.
meski wajahnya tetap tersenyum, menyembunyikan rasa frustrasinya di balik pesona yang tak pernah pudar.
“Aahhh… Hnghhh…” erang Revan lagi.
tubuhnya semakin menegang, otot-ototnya kaku seperti tali yang ditarik hingga batasnya.
Grace melumasi penis Revan dengan ludahnya, gerakan itu licin dan sengaja, mempercepat tempo kocokannya, seperti seorang musisi yang memainkan nada-nada terakhir sebelum klimaks.
“Ohhh… Hnghhh…” erang Revan.
suaranya kini lebih dalam, penuh dengan keputusasaan yang bercampur kenikmatan, tubuhnya bergetar hebat.
“G-Grace, A-aku… A-aku mau keluar,” ucap Revan.
suaranya pecah, matanya memohon, seolah tak mampu lagi menahan gelombang yang mengguncang tubuhnya.
Grace mempercepat gerakannya, tangan kirinya ia tadahkan di depan kepala penis Revan, instingnya melindungi wajahnya dari semburan yang ia tahu akan segera datang.
“HNGHHHH… AAAAHHHHH,” erang Revan.
orgasmenya meledak seperti petir, tubuhnya tersentak keras di kursi.
CROOTTT CROOTTT CROOTTT
sperma menyembur deras, memenuhi telapak tangan Grace, cairan hangat itu terasa seperti bukti dari ketegangan yang baru saja pecah.
Revan terkulai di kursi, tubuhnya lemas seperti boneka yang talinya dipotong, napasnya tersengal, wajahnya masih memerah namun kini dipenuhi kepuasan yang tak terucapkan.
Grace menarik napas panjang, lega bahwa Revan akhirnya selesai, tangannya terasa pegal, seperti telah menempuh perjalanan panjang tanpa henti.
“Penismu terbuat dari apa, Revan? Kenapa susah banget untuk crot? Tanganku sampai sakit begini,” ucap Grace.
nadanya bercanda namun ada nada capek yang terselip, sambil mengambil tisu dari meja untuk membersihkan tangannya.
“Maafkan aku, itu salahku,” balas Revan.
suaranya lemah, penuh rasa bersalah, matanya masih menghindari tatapan Grace, seolah takut melihat reaksinya.
“Kalau kau masih saja lama crot-nya, aku tak mau lagi mengocok penismu,” canda Grace.
senyumnya melebar, matanya berkilau dengan ejekan yang lembut.
“Bagaimana mungkin kamu…” ucap Revan.
kata-katanya terhenti, wajahnya panik sejenak, takut Grace serius dengan ancamannya.
“Aku hanya bercanda, sayang” kata Grace.
tertawa kecil, suaranya seperti lonceng kecil yang menggema di kamar yang sunyi, menghapus ketegangan di udara.
“Ka-kamu nakutin aku,” gumam Revan.
wajahnya masih memerah, namun ada sedikit senyum di sudut bibirnya, lega mendengar candaan Grace.
Grace memandangnya dengan tatapan yang lebih lembut, seperti sinar bulan yang menyelinap melalui celah awan, lalu bertanya.
“revan, Apa kamu pernah berpikir mau menyentuhku?” ucap grace.
“Oh, ti-tidak, Grace, tidak sama sekali,” jawab Revan buru-buru.
tangannya melambai canggung, wajahnya kembali memanas, seperti bara yang kembali menyala.
“Benarkah? Apa kamu gak cemburu melihatku dengan Nathan?” tanya Grace.
alisnya terangkat, nada suaranya penuh teka-teki, seperti sedang menggali rahasia yang tersembunyi.
“Dia mengelus pahaku, juga menepuk bokongku, kamu juga melihatnya, kan?” lanjut Grace.
suaranya kini lebih tajam, seperti pisau yang mengiris hati Revan dengan lembut.
“Katakan sejujurnya padaku, Revan, apa kamu mau menyentuhku?” desaknya, matanya menelusuri wajah Revan, mencari kebenaran di balik ekspresi gugupnya.
“Ti-tidak, Grace,” jawab Revan, suaranya nyaris bergetar, matanya terpaku pada lantai, seolah lantai itu bisa menyelamatkannya dari tatapan Grace.
“Lalu kenapa tadi kamu terus melirik payudaraku?” tanya Grace.
nada suaranya bercampur antara ejekan dan rasa ingin tahu, senyum kecil di bibirnya membuat Revan semakin gelagapan.
“I-itu…” Revan tergagap.
kata-katanya tersangkut di tenggorokan, wajahnya kini merah seperti tomat matang, tak tahu bagaimana membela diri.
“Sudahlah, lupakan,” kata Grace.
melambaikan tangan dengan santai, seolah ingin menghapus ketegangan itu, namun matanya masih menyimpan kilau nakal.
“Aku pulang dulu, sampai ketemu di sekolah,” ucapnya.
lalu dengan gerakan yang anggun, ia mendekat dan mencium pipi Revan, sentuhan bibirnya terasa hangat, seperti jejak api yang ditinggalkan di kulitnya.
Grace melangkah keluar, langkahnya ringan namun penuh percaya diri, meninggalkan Revan yang masih terpaku di kursi, jantungnya berdetak kencang, pikirannya terperangkap antara nostalgia, gairah, dan rahasia yang kini mengikat mereka lebih erat.
Di luar, hari semakin pekat, angin bertiup pelan, membawa aroma embun dan kenangan, sementara di dalam kamar kecil itu, udara masih terasa hangat oleh sisa-sisa momen yang baru saja terjadi.
