Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3: Rahasia di Balik Persahabatan.

Sore telah menyelimuti hunian tiga lantai itu, menyelubunginya dalam senja yang memancarkan cahaya kuning pucat, seolah berbisik tentang rahasia yang tersimpan di balik dinding-dinding tua.

Ketukan pelan di pintu Rumah Revan memecah keheningan, membuatnya tersentak dari lamunan di atas kasur yang sudah usang. Jantungnya berdegup cepat, seolah merasakan sesuatu yang tak biasa di balik ketukan itu.

Dengan langkah ragu, kakinya menyeret di lantai yang dingin, Revan membuka pintu. Di depannya berdiri Grace, sosok yang selalu mampu mengacaukannya dengan kehadirannya yang penuh kontradiksi.

Jaket kulitnya yang longgar menggantung di bahunya, seolah memeluk tubuhnya dengan santai, sementara rambut ikalnya yang sedikit berantakan menari-nari di bawah cahaya temaram, menciptakan bayang-bayang lembut di wajahnya yang penuh percaya diri.

Ada sesuatu di matanya—kilau nakal yang bercampur dengan kehangatan yang hanya Revan kenali dari masa kecil mereka.

“Grace, kenapa kamu di sini?” tanya Revan.

alisnya berkerut, wajahnya mencerminkan kebingungan yang bercampur dengan kewaspadaan yang tak bisa disembunyikan. Suaranya terdengar serak, seolah terperangkap di antara rasa ingin tahu dan ketakutan akan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Grace menyilangkan tangan di dadanya, bibirnya mengerucut dengan ekspresi yang seolah menantang, namun ada sedikit canda yang berkilau di matanya.

“Memangnya kenapa? Ini gedung milik ayahku, apa aku nggak boleh ke sini?” balasnya.

nada suaranya ketus namun dihiasi dengan senyum kecil yang membuat Revan merasa seperti sedang dipancing untuk bereaksi.

Revan menggeleng cepat, tangannya tanpa sadar menggosok tengkuknya, gerakan canggung yang selalu muncul saat ia kehilangan kata-kata di hadapan Grace.

“Bu-bukan begitu, maksudku… aku cuma kaget aja,” ucapnya.

suaranya pelan, nyaris seperti bisikan, seolah takut kata-katanya akan memicu sesuatu yang tak bisa ia kendalikan.

Tanpa menunggu undangan, Grace melangkah masuk, sepatunya bergesekan dengan lantai, menciptakan suara kecil yang bergema di ruangan yang sunyi, seperti irama yang menggoda keheningan.

“Kenapa kau lama banget membuka pintu?” tanyanya.

matanya menyipit, seolah mencoba menembus dinding-dinding pertahanan yang Revan bangun di sekitar dirinya. Tatapannya tajam, namun ada kelembutan tersembunyi di dalamnya, seperti pisau yang dibalut beludru.

Revan menunduk, menghindari tatapan Grace yang terasa seperti sinar matahari yang membakar, mampu melihat setiap keraguan yang tersembunyi di hatinya.

“Apa karena kejadian di sekolah tadi kau marah padaku?”

lanjut Grace suaranya kini lebih lembut, hampir memohon, membawa serta aroma penyesalan yang samar.

“Oh, ti-tidak, Grace, aku nggak marah padamu,” balas Revan buru-buru.

tangannya melambai kecil dengan gerakan canggung, seolah ingin menghapus ketegangan di udara.

Namun, matanya masih menyimpan bayang-bayang luka dari kejadian di sekolah, meski ia berusaha menyembunyikannya.

Grace memiringkan kepala, mempelajari wajah Revan dengan tatapan yang sulit diartikan,.

“Baguslah,” katanya.

lalu melangkah lebih dekat, setiap langkahnya terasa seperti menarik udara di sekitar mereka, membuat ruangan terasa semakin sempit.

“Apa ibumu ada di rumah?”

Revan menggeleng, jantungnya mulai berdetak lebih kencang, seperti drum yang dipukul dengan ritme yang tak terkendali.

“Tidak, ibuku belum pulang,” jawabnya, suaranya serak, tercekat oleh gugup yang menjalar di nadinya.

Grace tersenyum, senyum kecil yang licik namun penuh pesona, seperti rahasia yang hanya dimiliki oleh mereka berdua.

“Itu bagus,” ucapnya, nadanya rendah, hampir seperti bisikan yang membawa janji yang tak terucapkan.

“Seperti janjiku, aku akan memuaskanmu dengan tanganku di dalam rumah ini.”

Tanpa menunggu respons, Grace nyelonong masuk, langkahnya penuh percaya diri menuju ruang tengah, seolah ruangan itu adalah panggungnya dan ia adalah bintang utamanya.

“Ayo, masuk ke kamarmu,” perintahnya.

suaranya tegas namun dihiasi nada main-main yang membuat jantung Revan berdegup lebih kencang.

Revan menelan ludah, merasakan detak jantungnya seperti genderang perang yang bergema di dadanya.

“Oh, i-iya,” gumamnya.

Ia mengikuti Grace dengan langkah yang hampir tersandung, kakinya terasa seperti melangkah di atas awan yang rapuh.

Di kamar Revan yang sederhana, bau kertas dari buku-buku bekas di meja belajarnya. Kamar itu kecil, hanya berisi kasur sempit yang berderit setiap kali diduduki, meja kayu tua yang penuh goresan, dan poster band rock yang mulai mengelupas di dinding, seperti kenangan yang perlahan memudar.

Grace langsung duduk di kursi belajar, menyilangkan kakinya dengan anggun, seperti seorang ratu yang baru saja menduduki takhtanya. Cahaya lampu meja yang redup menciptakan bayang-bayang di wajahnya, menonjolkan garis rahangnya yang tegas dan matanya yang penuh misteri.

“Revan,” panggil Grace.

suaranya lembut namun penuh otoritas, membuat Revan tersentak, seolah namanya adalah mantra yang mampu mengguncang dunia kecilnya.

“Iya,” jawab Revan, berdiri kaku di tengah kamar.

tangannya sibuk mengutak-atik ujung bajunya, seolah mencari pegangan di tengah badai emosi yang melandanya.

Grace memandangnya dengan mata yang hangat, berbeda dari sikap arogannya di sekolah tadi. Ada kelembutan di tatapannya, seperti sinar bulan yang menyelinap melalui celah-celah awan.

“Maafkan aku atas kejadian di sekolah,” ucapnya.

suaranya tulus, namun ada sedikit rasa bersalah yang menggantung di ujung kata-katanya,.

Revan menggeleng cepat, berusaha menenangkan suasana, meski dadanya masih terasa sesak oleh kenangan luka itu.

“Oh, nggak apa-apa, Grace, jangan khawatirkan itu,” katanya.

meski nada suaranya masih menyimpan getar yang tak bisa disembunyikan.

Grace tersenyum manis, senyum yang hanya ditunjukan pada Revan , penuh kehangatan dari masa kecil mereka, ketika mereka berbagi rahasia di bawah pohon tua di halaman sekolah.

“Sini, duduklah di pangkuanku,” katanya.

menepuk pahanya dengan gerakan yang menggoda, namun ada kelembutan di baliknya yang membuat Revan tak bisa menolak.

Revan ragu sejenak, wajahnya memerah seperti langit senja, tapi ia melangkah dan akhirnya duduk di pangkuan Grace, merasakan kehangatan tubuhnya yang seolah menyelimuti setiap keraguan di hatinya.

Grace memeluknya erat dari belakang, dagunya bersandar di bahu Revan, napasnya terasa hangat di lehernya, seperti hembusan angin musim panas yang lembut.

“Aku tahu kamu pasti sangat nggak nyaman tadi, apalagi Nathan menendang perutmu,” bisiknya.

suaranya penuh penyesalan, setiap kata terasa seperti belaian yang ingin menghapus rasa sakit itu.

Revan merasakan kehangatan pelukan Grace, membuatnya nyaris lupa pada nyeri samar yang masih terasa di perutnya.

“Nathan sangat sensitif sejak tahu kamu sahabatku dari kecil,” lanjut Grace.

tangannya mengelus lengan Revan perlahan, gerakannya lembut namun penuh maksud.

“Kamu tahu kan, aku bersikap begitu hanya saat bersama geng Giga,” tambahnya.

suaranya nyaris seperti berbisik, seolah rahasia itu terlalu berharga untuk diucapkan dengan keras.

Revan mengangguk pelan, jantungnya masih berdetak kencang, seperti burung yang terperangkap dalam sangkar.

“Ya, aku tahu itu,” jawabnya.

suaranya pelan, seolah tak ingin memecah keintiman momen itu, yang terasa seperti benang tipis yang bisa putus kapan saja.

Grace menghela napas, napasnya terasa hangat di telinga Revan, membawa aroma samar dari parfum vanila yang selalu ia kenali. Ia mendekatkan wajahnya, bibirnya hampir menyentuh kulit Revan, membuat bulu kuduknya berdiri.

“Nathan adalah pacarku, tapi ada satu hal yang nggak pernah aku lakukan dengannya,” katanya, nadanya penuh teka-teki, seperti pintu yang setengah terbuka, mengundang namun penuh bahaya.

Revan menelan ludah, merasakan napasnya tersendat, tahu persis ke mana arah pembicaraan ini, namun tak mampu menghentikan aliran panas yang menjalar di tubuhnya. Grace tersenyum kecil, lalu berbisik.

“Tapi, aku bisa melakukannya denganmu.”

Lidahnya menyentuh ujung telinga Revan, gerakan kecil yang seperti percikan api, membuat seluruh tubuh Revan tersentak, wajahnya kini memerah seperti tomat matang, jantungnya berdegup tak terkendali.

“Sekarang, kamu duduk di kursi,” perintah Grace,.

suaranya lembut namun penuh kendali. Revan menurut, bangkit dari pangkuannya dengan gerakan canggung, kakinya terasa seperti melangkah di atas tali yang goyah, lalu duduk di kursi belajar, tangannya mencengkeram ujung meja untuk menahan getaran di tubuhnya.

Grace berdiri, langkahnya anggun namun penuh maksud, seperti seekor kucing yang mendekati mangsanya dengan penuh percaya diri.

Ia berdiri tepat di depan Revan, matanya menangkap cahaya lampu, menciptakan kilau yang membuat jantung Revan hampir berhenti. Tatapannya bercampur antara nakal dan penuh kasih, seperti dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan.

“Aku tahu kamu selalu ada untukku, Revan,” katanya, suaranya kini lembut, hampir seperti nyanyian yang mengalun pelan, mengisi ruangan dengan kehangatan.

“Tapi kadang, aku harus memainkan peran di depan mereka,” lanjutnya.

tangannya meraih ujung rambutnya sendiri, memainkannya dengan jari-jarinya yang lentik, gerakan yang sederhana namun penuh makna.

Revan hanya bisa mengangguk, lidahnya terasa kelu, seperti terjebak dalam mantra yang diciptakan oleh kehadiran Grace.

Grace melangkah lebih dekat, tangannya kini bertumpu di sandaran kursi, membuat wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter.

Napasnya terasa hangat di wajah Revan, membawa aroma vanila yang kini bercampur dengan ketegangan di udara.

“Hadiah ini,” bisiknya, suaranya seperti benang sutra yang melilit hati Revan, “adalah rahasia kita, Hanya kita berdua yang tau.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel