Bab 2: Bayang-Bayang Persahabatan.
Di koridor sekolah yang sepi, hanya ada suara langkah kaki yang sesekali bergema, disertai hembusan angin sore yang menyelinap melalui jendela-jendela terbuka.
Cahaya matahari yang mulai meredup menyelinap di antara celah-celah jendela, menciptakan garis-garis emas yang membentang di lantai keramik yang mengilap.
Grace berdiri menyender di dinding, tangannya dilipat di dada dengan sikap yang seolah menantang dunia. Rambutnya yang panjang dan ikal tergerai lembut, namun sorot matanya tajam, penuh percaya diri yang nyaris arogan.
Di depannya, Revan berdiri dengan postur yang sedikit membungkuk, tangannya sibuk mengutak-atik tali tas ranselnya, tanda nervous yang tak bisa disembunyikan.
“Apa yang ingin kau bicarakan?” tanya Grace.
suaranya datar namun ada nada peduli yang terselip di dalamnya. Matanya menatap Revan, seolah mencoba membaca apa yang ada di pikiran pemuda itu.
Revan menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. Wajahnya yang biasanya tenang kini tampak gelisah, alisnya sedikit berkerut.
“Grace, bisakah kau… menjauh dari mereka?” katanya.
suaranya pelan, hampir seperti bisikan, penuh keraguan.
“APA?” Grace melepaskan tangannya dari dada, berdiri tegak dengan ekspresi kaget bercampur kesal.
Matanya menyipit, dan bibirnya mengerucut, menunjukkan ketidaksenangan yang jelas. “Maksudmu apa, Revan?”
Revan buru-buru mengangkat tangan, seolah ingin menenangkan situasi.
“Ma-maksudku bukan seperti itu, Grace! Kau… kau banyak berubah semenjak bergabung dengan geng Giga,” ucapnya.
suaranya sedikit bergetar. Ia menunduk sejenak, seolah tak sanggup menahan tatapan Grace yang kini terasa seperti menikam.
“Aku cuma… khawatir.” Ucapnya lagi dengan nada lirih.
FLIK! - Tiba-tiba, Grace menyentil mulut Revan dengan jari telunjuknya, gerakan yang cepat dan akurat. Suara kecil itu terdengar nyaring di koridor yang sepi.
“Aawww!” Revan memegang mulutnya.
wajahnya meringis kesakitan sambil melirik Grace dengan ekspresi bingung.
“Grace, apa-apaan sih?”
“Jadi menurutmu aku terlihat buruk begitu?” Grace melangkah mendekat, suaranya setengah meninggi, penuh nada menyerang.
“Kau pikir aku jadi orang jahat hanya karena aku bergaul dengan mereka?” ucapnya lagi.
Matanya kini berkilat, seolah menahan amarah yang siap meledak.
“B-bukan begitu!” Revan menggelengkan kepala dengan panik, tangannya masih memegang bibirnya yang sedikit memerah.
“Bukankah kita sudah bersama sejak kecil, Grace? Aku… aku cuma khawatir tentangmu. Kau tahu kan, aku selalu peduli padamu.”
Grace terdiam sejenak. Sorot matanya melembut untuk sesaat, seolah kenangan masa kecil mereka berdua melintas di benaknya. Ia menghela napas, lalu berkata dengan nada yang lebih tenang.
“Kita memang sudah bersama sejak kecil, Revan. Dan ya, aku memang merasa nyaman bersamamu. Kau tahu itu.”
Revan tersenyum kecil, wajahnya sedikit cerah mendengar kata-kata Grace.
“Te-tentu saja, aku juga sama,” balasnya, suaranya kini lebih mantap, meski masih ada nada gugup di ujungnya.
Namun, senyum itu seketika pudar ketika Grace melanjutkan kata-katanya.
“Tapi, aku sudah menganggapmu seperti keluarga. Dan mendengar kau berbicara buruk tentangku seperti tadi… ternyata aku salah besar tentangmu.”
Nada suaranya kini dingin, penuh kekecewaan. Ia memalingkan wajah, seolah tak ingin menatap Revan lagi.
“Eh, tidak, b-bukan begitu, Grace!”
Revan melangkah maju, tangannya terulur ingin menahan Grace, tapi langkahnya terhenti ketika sebuah suara kasar memecah keheningan koridor.
“Hei, idiot miskin!”
Revan menoleh, dan sebelum ia sempat bereaksi, sebuah tendangan keras mendarat di perutnya.
BAM!.
Tubuhnya terhuyung, lalu jatuh tergeletak di lantai dengan erangan kesakitan.
“Aaahh…” Ia memegang perutnya, wajahnya memucat, napasnya tersengal.
“Na-Nathan!” Grace berseru.
tangannya menutup mulutnya sendiri, matanya melebar karena kaget. Ia melangkah mundur, tubuhnya sedikit gemetar melihat Revan yang kini meringkuk di lantai.
Nathan, pemuda bertubuh tinggi dengan jaket kulit hitam yang menjadi ciri khas geng Giga, berdiri dengan senyum sinis.
Di belakangnya, tiga anggota geng lainnya—Sean, William, dan nicholas tertawa keras, suara mereka bergema di koridor.
“Hahahahaha! Lihat tuh, betapa leletnya dia!”
cibir Sean, tangannya menunjuk ke arah Revan dengan nada menghina.
“Harusnya lo sadar diri, Budak. Lo gak pantes ngomong sama majikan lo kaya gitu,” kata Nathan, suaranya penuh ejekan.
Ia melangkah mendekati Grace, tangannya dengan santai merangkul pinggang gadis itu.
“Sayang, apa yang kalian bicarakan tadi?”
Grace menoleh ke arah Nathan, wajahnya yang tadi penuh keterkejutan kini berubah menjadi ekspresi datar.
“Oh, itu… dia cuma mengajakku makan malam bersama ibunya. Dia memohon supaya aku datang,” katanya.
suaranya terdengar meyakinkan meski ada sedikit getar di ujungnya. Ia berbohong dengan lancar, seolah tak ingin Nathan tahu isi pembicaraan mereka sebenarnya.
“Grace…” Revan menggumam lirih dari lantai, suaranya nyaris tak terdengar.
Matanya memandang Grace dengan campuran kekecewaan dan rasa sakit, baik dari tendangan Nathan maupun dari kata-kata Grace yang terasa seperti pengkhianatan.
Grace tak menoleh ke arah Revan. Ia hanya melangkah pergi bersama Nathan dan geng Giga, tangan Nathan masih melingkar di pinggangnya. Sean dan William masih melempar ejekan ke arah Revan yang tergeletak.
“Dasar idiot tak tahu malu!” cibir Sean, sementara William menambahkan, “Beri tahu ayahmu, Grace. Usir dia dan keluarganya dari hunian milik ayahmu itu!”
Di tengah langkahnya, Grace menoleh sekilas ke arah Revan. Matanya bertemu dengan mata Revan untuk sesaat, dan di situlah ia memberikan kode rahasia mereka: tangannya mengepal, lalu bergerak naik-turun dengan gerakan kecil yang hampir tak terlihat.
Revan tahu persis apa arti kode itu. Itu adalah tanda yang mereka ciptakan saat SMP, sebuah sinyal rahasia mesum yang hanya mereka berdua pahami.
Revan menghela napas, tubuhnya masih terasa nyeri saat ia bangkit perlahan dari lantai. Ia tahu Grace sering berubah sikap saat bersama geng Giga—arogan, dingin, dan tak peduli.
Tapi ketika hanya ada mereka berdua, Grace adalah gadis yang hangat, manja, seperti dulu saat mereka masih kecil, bermain di taman belakang rumah tanpa beban. Kode tadi adalah pengingat bahwa di balik topeng yang Grace kenakan, masih ada sisa-sisa persahabatan mereka yang lama.
---
Sore itu, Revan berjalan pulang dengan langkah gontai. Rasa nyeri di perutnya masih terasa, tapi yang lebih menyakitkan adalah perasaan campur aduk di dadanya.
Ia naik ke tangga rumah hunian tiga lantai tempat keluarganya tinggal. Hunian itu dimiliki oleh Jonathan Charter, ayah Grace, seorang pengusaha kaya raya yang dikenal tak peduli pada para penyewa selama uang sewa mengalir tepat waktu. Revan dan keluarganya menempati lantai dua, sementara lantai tiga adalah wilayah eksklusif Jonathan.
Saat Revan hendak memasukkan kunci ke pintu, tiba-tiba ia mendengar suara desahan dari lantai atas.
“Aahhh… aahhh… aahhh…”
Suara wanita itu terdengar jelas, penuh nafsu, membuat Revan menghentikan gerakannya. Ia mengerutkan kening, kesal namun tak terkejut.
“Apakah pak tua itu ngewe lagi di sini?” gumamnya, suaranya penuh kejengkelan.
Dengan langkah pelan, Revan naik ke lantai tiga, rasa ingin tahunya mengalahkan rasa kesalnya. Ia menempelkan telinga ke pintu, mendengar suara yang semakin jelas.
“Aahhh… lebih dalam, lebih dalam, Tuan!” erang wanita itu, suaranya serak dan penuh gairah.
“Itu pasti suara Sofia, pelayan bar itu,” gumam Revan, mengenali nada suara yang sering ia dengar di malam-malam tertentu.
Sofia adalah wanita yang sering dibawa Jonathan ke hunian ini sejak kematian istrinya sepuluh tahun lalu.
Jonathan dengan koneksi dan uangnya yang melimpah, tak pernah peduli dengan apa yang dipikirkan para penyewa.
Ia bebas melakukan apa saja di tempat ini, termasuk membawa wanita-wanita seperti Sofia untuk memuaskan nafsunya.
“Aahhh… Tuan Jo… aku mau crot!” Suara Sofia semakin keras, disusul tawa puas Jonathan yang terdengar samar.
Revan merasakan wajahnya memanas.
“Sial…” gumamnya, menyadari bahwa tubuhnya bereaksi terhadap suara-suara itu.
Penisnya mengeras di balik celana seragam SMA-nya, membuatnya merasa canggung sekaligus kesal pada dirinya sendiri.
“Aku jadi terangsang mendengar desahan lonte itu,” gerutunya, suaranya penuh kejengkelan.
Ia buru-buru turun kembali ke lantai dua, membuka pintu apartemennya, dan masuk dengan cepat, berusaha mengabaikan sensasi yang mengganggunya.
Di dalam kamarnya yang sederhana, Revan melempar tasnya ke lantai dan langsung merebahkan diri di kasur.
Pikirannya masih penuh dengan kejadian di sekolah tadi, Grace, Nathan, geng Giga, dan kode rahasia itu. Ia menatap langit-langit kamar, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi pada Grace.
“Apa yang membuatmu berubah, Grace?” gumamnya pelan. “Atau… apa aku yang tak pernah benar-benar mengenalmu?”
Dalam hati Revan, pertanyaan-pertanyaan tentang Grace dan masa depan persahabatan mereka terus bergema, seperti bayang-bayang yang tak kunjung hilang.
