Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Tinggal di Posyandu

“Mari, anak-anak. Saya antar kalian ke Posyandu,” ujar Pak Lurah sambil melangkah lebih dulu di jalan setapak yang mengarah ke barat.

Langkah mereka ringan namun diselimuti rasa penasaran. Jalanan tanah merah yang mereka lalui mulai berubah menjadi susunan batu kali saat sebuah bangunan sederhana muncul di depan mata. Gedung Posyandu itu berdiri dengan tembok setengah tinggi, warnanya kusam dan sudah mulai terkelupas. Atap sengnya tampak ringkih, namun cukup menaungi dua kamar tidur kecil di dalamnya.

Pak Lurah berhenti di depan pintu, lalu menoleh ke belakang. “Inilah tempat tinggal kalian selama dua bulan ke depan. Dua kamar di dalam, yang satu untuk laki-laki, satu lagi untuk perempuan. Ruangan depan bisa kalian gunakan sebagai ruang bersama. Tapi listrik di sini belum masuk. Untuk penerangan, kami pakai genset, nyala dari jam enam sore sampai jam sepuluh malam. Setelah itu, kalian bisa pakai lampu pelita.”

Beberapa mahasiswa saling pandang, sebagian hanya bisa mengangguk menerima kenyataan.

“Untuk mandi, maaf ya, belum ada kamar mandi. Tapi ada toilet di belakang,” lanjut Pak Lurah sambil menunjuk jalan setapak yang mengarah ke pekarangan belakang.

Riko mengernyitkan dahi. “Loh, Pak? Hanya toilet? Kamar mandinya di mana, ya?”

Pak Lurah tersenyum maklum. “Masyarakat sini biasa mandi di sungai. Nggak jauh, hanya sekitar dua puluh menit jalan kaki dari sini.”

“Waduh,” gumam Bagas pelan. “Tapi air buat kebutuhan sehari-hari, gimana, Pak?”

“Sudah kami siapkan dua tangki fiber di samping Posyandu. Tapi setelah itu habis, ya, kalian harus ke sungai.”

“Baik, Pak. Terima kasih banyak atas bantuannya,” ucap Rendra penuh hormat.

Setelah melihat-lihat lingkungan sekitar, mereka kembali ke Posyandu. Pak Dosen tampak menunggu di teras, wajahnya serius namun tenang.

“Bagaimana, sudah lihat-lihat?” tanyanya.

“Sudah, Pak,” jawab Riko.

“Kalau begitu, Bapak pamit pulang ke kota sekarang. Jaga diri baik-baik, jaga nama baik kampus, dan tetap jaga sopan santun. Kalau ada masalah, langsung kabari Bapak.”

“Bapak nggak istirahat dulu, Pak? Ini sudah sore,” tanya Riko, sedikit khawatir.

“Nggak usah. Perjalanan masih jauh. Kalian juga harus segera istirahat.”

Mereka mengantar sang dosen ke bus yang sudah menunggu, lalu melambai hingga kendaraan itu hilang dari pandangan.

Pak Lurah pun ikut berpamitan. “Kalau begitu, Bapak juga pulang dulu, ya.”

“Terima kasih banyak, Pak,” ujar Rendra.

Setelah semua pergi, Riko mengambil alih. “Ayo kita masuk, atur kamar tidur kita.”

Di dalam, dua kamar kecil menyambut mereka tanpa tempat tidur. Hanya lantai keramik yang dingin dan kosong. Mereka membentangkan tikar dan kasur lipat yang mereka bawa, menyiapkan tempat beristirahat seadanya.

Riko, sebagai ketua kelompok, berjalan ke kamar perempuan. “Kalian butuh bantuan nggak?”

“Sudah beres semua, Kak,” jawab Dinar.

“Kalau gitu, tolong masak makan malam, ya. Sudah jam setengah sembilan. Masak Indomie aja biar cepat.”

“Oke,” jawab Wulan. “Besok kita mulai pakai tungku, biar hemat minyak.”

Wulan dan teman-temannya memasak, sementara para cowok berbincang santai di kamar. Tak lama kemudian, aroma mi rebus menguar.

“Din, tolong panggil yang cowok ya. Mienya udah matang,” kata Wulan.

“Siap.”

Dinar mengetuk pintu kamar laki-laki. “Ayo makan. Sudah siap.”

Bagas membuka pintu dan tersenyum. “Oke, siap.”

Ia membangunkan Rendra, Panca, dan Riko yang tertidur kelelahan. “Woi, bangun! Makan dulu.”

Mereka menuju ruang depan. “Silakan makan, masih hangat,” ujar Wulan.

Semua mengantri dan mengambil bagian. Setelah doa singkat, mereka makan dalam keheningan yang hangat. Malam mulai menebar sunyi, ditemani nyala lampu genset yang redup.

Usai makan, Riko berdiri. “Teman-teman, sebelum tidur, gue mau ngomong sebentar.”

“Bisa besok aja, nggak?” celetuk Panca, sambil menguap.

“Sekarang aja, penting. Ini malam pertama kita di desa,” sahut Riko.

Mereka pun duduk melingkar. Riko menjelaskan tiga poin penting: dilarang ke toilet malam-malam sendirian, tugas pagi para cowok menyiapkan kayu bakar dan tungku, serta besok pukul delapan pagi mereka harus ke balai desa.

Rendra menimpali, “Gue setuju. Terutama soal keamanan malam hari. Ini tempat baru, dan kita harus saling jaga.”

“Bener tuh,” sahut Bagas dan Panca.

“Kami ikut aja, yang penting dijaga,” ucap Dila sambil tertawa kecil.

“Siap,” jawab Panca, memberi hormat setengah bercanda.

Malam itu mereka akhirnya masuk kamar masing-masing. Lampu genset padam pukul sepuluh, menyisakan suara malam dan bintang di langit.

---

Pagi harinya, udara desa yang segar menyambut mereka. Sang kepala desa mengajak keliling, menunjukkan kebun, sawah, balai desa, serta jalan keluar desa. Tak terasa waktu berlalu hingga siang.

Usai makan siang di rumah Pak Lurah, mereka kembali ke Posyandu. Namun Rendra, Bagas, dan Panca memutuskan untuk melanjutkan eksplorasi desa.

Mereka berjalan santai, menyusuri kebun-kebun dan sawah yang menghampar hijau. Di beberapa titik, warga tampak beristirahat di pondok kecil pinggir sawah. Tiga mahasiswa itu menyapa ramah.

“Siang, Pak,” sapa mereka.

“Siang, Nak. Kalian dari KKN ya?”

“Iya, Pak. Kami dari kampus di kota,” jawab Rendra.

“Oh, mana teman-teman kalian? Habis dari mana?”

“Yang lain balik ke Posyandu. Kami masih keliling, liat-liat desa,” ujar Rendra sopan.

“Makan siang dulu, Nak. Mari bergabung,” ajak sang bapak ramah.

“Wah, terima kasih, Pak. Tapi kami baru saja makan di rumah Pak Lurah,” kata Rendra.

“Oh, begitu. Ya sudah, lain kali mampir, ya.”

“Pasti, Pak. Oh iya, boleh kami minta air minum, Pak?”

“Tentu, tentu. Istriku!”

Seorang wanita paruh baya keluar dari pondok. “Nak, tolong bawakan air minum,” katanya pada seseorang di dalam.

Tak lama, muncul seorang gadis muda. Rambut panjangnya diikat sederhana, matanya jernih, dan senyumnya lembut. Ketiganya tertegun sesaat.

“Ini airnya, silakan,” ucap sang bapak, menyadarkan mereka dari lamunan.

“Terima kasih, Pak,” kata mereka bergantian, lalu meneguk air dingin dari gelas aluminium.

“Kenalkan, ini anak saya, Maulida. Dia juga mahasiswa, jurusan pertanian. Libur semester sekarang dia pulang kampung,” ujar sang bapak.

“Salam kenal. Gue Panca,” ujar Panca, langsung menjulurkan tangan.

“Maulida,” jawab gadis itu sambil menjabat tangannya.

“Saya Bagas. Senang kenal kamu,” sambung Bagas.

Maulida tersenyum, lalu menoleh pada Rendra. “Kalau Kakak siapa namanya?”

“Rendra,” jawabnya, singkat.

“Kakak jurusan apa?”

“Kesehatan. Teman saya ini dari keguruan.”

“Wah, seru ya. Nginep di mana, Kak?”

“Di Posyandu. Dua bulan lebih di sini.”

“Oh, begitu.”

Mereka berbincang ringan, hingga waktu berlalu tanpa terasa. Angin sawah meniup pelan, membawa harum tanah dan daun yang menyatu dengan percakapan hangat mereka. Dari tatap mata Maulida pada Rendra, ada rasa penasaran yang lebih dari sekadar perkenalan biasa.

Dan dari cara Rendra menundukkan kepala setiap kali Maulida bicara, ada sesuatu yang bergetar di dadanya, meski ia belum tahu namanya apa.

Langit mulai redup. Mereka berpamitan untuk kembali ke Posyandu, membawa sedikit cerita, dan mungkin secercah rasa yang belum mereka sadari kini mulai tumbuh di tengah hijau dan sunyinya Desa Melati.

---

Angin malam berembus lembut melalui celah-celah bangunan posyandu yang sudah mulai sunyi. Lampu minyak yang diletakkan di sudut ruang hanya memberi cahaya temaram yang menari-nari di dinding. Sebagian besar anggota tim KKN sudah tertidur, lelah setelah aktivitas sepanjang hari.

Namun, Rendra masih terjaga. Ia duduk di teras depan posyandu dengan hoodie menutupi kepala dan secangkir kopi sachet hangat di tangan. Pandangannya menembus gelap, seolah sedang memikirkan sesuatu yang jauh.

Dari balik pintu, Dila muncul dengan langkah pelan. Ia tampak sedikit terkejut melihat Rendra masih terjaga.

“Loh, Dra... lo belum tidur?” tanyanya pelan.

Rendra menoleh dan tersenyum kecil. “Belum ngantuk gue. Lo sendiri kenapa? Bukannya udah tidur?”

Dila mengangkat bahu. “Bangun kebelet pipis. Eh, ternyata lo di luar. Yaudah, temenin gue ya.”

Rendra berdiri dan menyalakan senter dari ponselnya. “Ayo.”

Mereka berjalan menelusuri samping posyandu menuju bagian belakang, tempat toilet satu-satunya berdiri di bawah rindangnya pohon pisang. Tanah masih sedikit becek bekas hujan sore tadi. Daun-daun pisang bergerak pelan ditiup angin, menimbulkan suara gesekan yang samar, nyaris seperti bisikan.

Sampai di depan pintu toilet yang terbuat dari kayu tua, Dila berhenti dan menatap Rendra sambil tersenyum iseng. Sorot matanya tampak nakal dalam cahaya redup dari senter.

“Ren, masuk yuk bareng ke dalam,” godanya ringan, seperti menggoda teman akrab.

Rendra mengernyit. “Hah? Udah, sana masuk. Dingin gue berdiri di sini.”

Dila tertawa pelan, tapi tak segera masuk. Ia melipat tangan di dada dan kembali bersuara, “Yakin lo gak mau masuk juga? Seru loh.”

Rendra menarik napas panjang, mulai jengah. “Dil, udah deh. Masuk aja. Kalo lo gak mau masuk, gue tinggal.”

Melihat nada suara Rendra yang mulai kesal, Dila akhirnya menyerah. Ia masuk ke dalam toilet sambil tersenyum geli. Tak berapa lama, suara gemericik air terdengar. Rendra berdiri memunggungi pintu, mengamati sekeliling sambil memainkan lampu senter di tangannya.

Beberapa menit kemudian, Dila keluar dan kembali berdiri di depan Rendra.

“Udah?” tanya Rendra.

“Udah. Gantian lo sekarang,” jawabnya ringan.

“Lo tunggu sini ya.”

Dila mengangguk dan bersandar di dinding luar toilet. Rendra masuk, dan tak lama kemudian terdengar suara air mengalir dari dalam. Tapi tiba-tiba, sebelum Rendra selesai, pintu toilet didorong pelan dari luar dan Dila masuk begitu saja.

“Eh! Lo ngapain?” seru Rendra kaget.

Dila mendekat dengan gerakan pelan, lalu tanpa peringatan, menarik bahu Rendra dan mendorongnya ke dinding kayu toilet. Pandangan matanya kini berbeda. Bukan sekadar godaan, tapi ada semacam ketegangan aneh yang membuat suasana jadi canggung.

“Dil, serius. Lo ngapain?” tanya Rendra, suaranya tegang tapi masih menahan diri.

Dila diam. Nafasnya sedikit memburu. Jarak mereka kini sangat dekat. Rendra merasa situasi ini mulai melenceng jauh dari batas wajar.

“Dila, ini gak lucu. Serius deh.”

Namun, Dila tetap tak mundur. Ia menatap Rendra seolah mencari sesuatu perhatian, mungkin perasaan, atau mungkin hanya pelarian dari kesunyian desa yang asing bagi mereka.

---

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel