Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Malam yang Menggoda

Udara malam di Desa Melati terasa berbeda. Bukan hanya karena angin semilir yang membawa bau tanah basah sisa hujan sore tadi, tetapi juga karena ada sesuatu yang menggantung di udara, sesuatu yang tak terlihat, namun terasa mengganjal di dada.

Rendra masih terjaga di teras bascamp, memandangi langit malam yang mulai menggelap sempurna. Suara jangkrik terdengar riuh di kejauhan, sesekali diselingi suara burung malam yang terdengar seperti panggilan dari dunia lain.

Langkah ringan terdengar dari arah belakang. Tanpa ia sadari, Dila kembali muncul. Tapi kali ini, ekspresi wajahnya jauh berbeda dari sebelumnya. Tidak ada lagi canda atau senyum iseng. Hanya sorot mata yang sulit dibaca.

Dila mendekat, tanpa sepatah kata pun, lalu dengan gerakan pelan mengejutkan, ia mencium bibir Rendra.

Rendra tersentak. "Dila...?" bisiknya nyaris tak terdengar, tapi Dila tak menjawab. Tangan Dila bergerak, meraba dada Rendra, mencari sesuatu yang mungkin selama ini hanya ia bayangkan diam-diam. Sementara satu tangannya menarik tangan Rendra dan meletakkannya di bagian tubuhnya sendiri yang tersembunyi di balik piyama tipis.

Rendra membeku. Antara terkejut, heran, dan jujur saja tergoda. Tapi bukan berarti ia tidak bisa berpikir jernih.

“Lo kenapa sih? Udah gila?” serunya akhirnya, mendorong tubuh Dila perlahan, bukan dengan amarah, tapi lebih dengan kekhawatiran.

Dila menatapnya dengan sorot mata yang kini terlihat luka. “Ren... masa lo gak mau sih? Tadi sore lo kan udah liat... kenapa gak sekalian aja?”

Rendra menggeleng pelan, menatap ke arah tanah. “Gue cowok, Dil. Gue bukan malaikat. Tapi bukan berarti gue harus ikutin semuanya yang bisa bikin kita nyesel nanti. Kalau ketahuan teman-teman gimana?”

“Semua udah tidur. Gak akan ada yang tahu. Ayolah, Ren. Gak usah pura-pura suci...” Dila menarik nafas panjang, nadanya lebih pelan, hampir seperti memohon.

Rendra menatapnya lama, mencoba membaca isi hati Dila yang sebenarnya. Tapi akhirnya ia menggeleng lagi.

“Bukan soal suci. Gue cuma gak mau hubungan kita jadi berubah gara-gara hal ini. Dan... gue takut bukan cuma ketahuan. Gue takut lo nyesel. Gue juga.”

Tanpa menunggu tanggapan, Rendra memutar badan dan melangkah cepat kembali ke dalam rumah. Tapi langkahnya terhenti ketika Dila mengejarnya sampai ke pintu belakang.

Rendra berbalik. Wajah Dila terlihat penuh kecewa. “Udah, lo masuk aja. Tidur. Udah malam,” ujarnya.

Dila mengangguk pelan. “Iya... tapi jangan bilang siapa-siapa ya soal tadi. Ini rahasia kita aja.”

“Tenang aja. Aman,” jawab Rendra datar. Dila pun masuk ke dalam rumah, meninggalkan Rendra yang kembali terduduk di depan teras.

Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantung yang belum juga reda. Pikirannya berputar—antara rasa bersalah, lega, dan jujur saja, sedikit menyesal.

“Gila... bener-bener gak nyangka,” gumamnya. “Kalau gue tadi gelap mata, bisa tamat hidup KKN gue.”

Namun, ketenangan malam itu tak bertahan lama.

Pintu kembali terbuka, dan kini giliran Mita yang keluar. Jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam.

“Mit? Mau ke mana malam-malam begini?” tanya Rendra, heran.

“Pipis. Temenin gue ya,” jawab Mita dengan suara malas.

Tanpa protes, Rendra kembali menyalakan senter ponsel dan menemani Mita ke belakang. Setelah selesai, mereka berjalan kembali ke depan.

“Lo ngapain masih di sini? Gak tidur?” tanya Rendra.

“Nanti aja. Gue temenin lo dulu.” Mita duduk di samping Rendra. Tanpa diduga, ia merebahkan kepalanya di paha Rendra.

“Heh... kalau mau tidur, tidur di bantal. Paha gue bukan bantal,” protes Rendra, meski nadanya tidak terlalu keras.

“Paha lo nyaman juga, Ren,” jawab Mita santai, malah mengelus perlahan.

Rendra menegang. “Jangan remas gitu dong. Gue capek, bukan... mainan.”

“Paha lo keras ya. Gak tau deh batangnya,” goda Mita sambil terkikik.

“Lo ngomong apa sih?” tanya Rendra, heran sekaligus malu.

“Lo udah pernah belum?” bisik Mita, kini suaranya lebih rendah.

Rendra menarik napas. “Pernah sih... tapi bukan sembarangan gini juga kali. Mit, udah ya. Gue capek, mau tidur.”

Ia pun berdiri dan berjalan ke dalam. Mita tersenyum, lalu mengikuti, masuk ke kamarnya sendiri. “Bye, Ren. Selamat tidur,” katanya sambil mengedipkan mata.

Rendra hanya mengangguk dan masuk ke kamarnya. Ia rebahkan tubuhnya di kasur tipis sambil menatap langit-langit. Pikirannya bercampur aduk.

“Anjir... apaan sih ini malam? Dua cewek... dua-duanya godain gue? Bisa-bisa gue gila kalau tiap malam begini...”

---

Keesokan harinya, setelah sarapan singkat, para mahasiswa KKN kembali menjalankan program kerja masing-masing. Rendra dan Wulan mendatangi posyandu untuk menyerahkan beberapa dokumen penyuluhan, dan disambut baik oleh pengurus desa.

Sesampainya kembali di bascamp, Panca menghampiri Rendra dan bertanya, “Gimana, lancar program lo?”

“Lancar. Lo gimana?”

“Lancar juga. Eh... sore ini kita mandi di sungai yuk. Sekalian ambil air buat cewek-cewek,” ajak Panca.

“Boleh tuh. Tapi kasih tahu Wulan dulu ya, biar gak dicariin.”

“Beres!” sahut Bagas yang langsung bergegas memberitahu Wulan.

Tak lama, mereka bertiga berjalan menuju sungai yang terletak di pinggir hutan. Beberapa warga juga terlihat menuju arah yang sama, membawa ember dan pakaian.

Di pinggir sungai, seorang bapak menunjuk ke arah dangkal. “Dek, mandi dan nyucinya di sini aja ya. Yang sebelah sana dalam.”

“Baik, Pak. Makasih infonya,” ucap Rendra sopan.

Saat mereka sedang asyik menyiram badan dengan air segar, Rendra melihat seorang wanita berjalan ke arah sungai, memikul keranjang pakaian di atas kepala. Ia hanya mengenakan kain panjang yang membungkus tubuhnya dengan rapi, meski tetap memperlihatkan lekuk anggun.

Rendra menyipitkan mata. “Eh... kayaknya itu... Bidan Fani, deh,” bisiknya ke Bagas.

“Iya bener. Cantik banget ya,” timpal Panca.

Fani meletakkan keranjangnya dan mulai mencuci. “Maaf ya, saya nyucinya di sini,” ucapnya sopan.

“Gak apa-apa, Mbak,” jawab Rendra. Pandangannya sempat terpaku, namun cepat-cepat dialihkan agar tidak terlihat tak sopan.

“Eh, kamu mahasiswa KKN ya?” tanya Fani sambil menoleh.

“Iya, Mbak. Saya Rendra.” Ia memperkenalkan diri, lalu menunjuk ke arah dua temannya. “Itu Bagas dan Panca.”

Fani tersenyum. “Saya Fani. Bidan di sini. Pak kades bilang, kamu yang bantu posyandu ya?”

“Iya, betul, Mbak. Saya sama Wulan.”

Setelah selesai mencuci, Fani mulai mandi. Rendra mencoba tidak melirik, walau sesekali matanya mencuri pandang.

“Kamu jurusan kesehatan?” tanya Fani.

“Iya, Mbak. Kesehatan masyarakat.”

“Sama dong. Saya juga dari kesehatan, dulu kuliahnya di kota,” jelas Fani sambil membasuh wajah.

“Eh, malam ini kamu sibuk gak?” tanyanya lagi, setelah selesai membilas tubuhnya.

“Enggak sih. Emangnya kenapa?”

“Ada data timbangan balita yang belum saya rekap. Kalau kamu bisa bantu, kita bisa kerjain bareng di rumah saya. Biar gak dadakan pas posyandu nanti.”

“Siap, Mbak. Nanti saya langsung ke sana aja habis mandi.”

---

Rendra berdiri ragu-ragu di ambang pintu, mengamati rumah yang sederhana namun terasa hangat. Dari luar terlihat tenang, dipagari tanaman hijau yang menjalar di sisi dinding. Fani muncul di depan pintu, menyambutnya dengan senyum lembut.

"Ayo masuk, kita kerja di ruang tamu saja. Lebih nyaman," ujarnya, sembari membuka pintu lebar-lebar.

Rendra mengikuti langkahnya masuk ke dalam. Aroma khas rumah kampung segera menyambut inderanya, perpaduan kayu tua, bunga melati, dan sedikit aroma kopi dari dapur.

Namun ketika Fani membalikkan badan, mata Rendra tak sengaja menangkap penampilannya. Wanita itu mengenakan tank top tipis berwarna terang dan celana pendek santai yang tampak menyesuaikan lekuk tubuhnya. Bukan sesuatu yang mencolok atau dimaksudkan menggoda, tapi cukup membuat Rendra salah tingkah. Ia cepat-cepat memalingkan pandangan, menelan ludah, lalu berdeham pelan.

"Maaf, habis nyuci baju jadi belum sempat ganti baju yang lebih rapi," ucap Fani, seolah menyadari sorotan Rendra meski tidak mempermasalahkannya. Ia melangkah ringan ke ruang tamu dan mulai membuka laptop yang diletakkan di atas meja rotan kecil.

"Nggak apa-apa, Mbak. Santai aja. Saya udah biasa kerja lapangan juga kok," jawab Rendra gugup, mencoba mengalihkan perhatian pada setumpuk dokumen di meja.

Suasana menjadi lebih tenang setelah mereka duduk berhadapan. Kipas angin tua di sudut ruangan berputar lambat, menciptakan suara menderu halus yang mengiringi kerja mereka. Fani menjelaskan satu per satu data balita yang perlu direkap, mulai dari penimbangan berat badan hingga catatan imunisasi.

Rendra bekerja dengan teliti. Setiap kali tangannya menyentuh dokumen, ia berusaha tetap fokus, walau sesekali ia merasa jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya. Bukan karena takut, tapi karena kehadiran Fani yang begitu dekat dan terasa berbeda.

Fani, di sisi lain, tampak tenang. Ia bicara lembut, kadang tersenyum, kadang mengernyit ketika membaca tulisan tangan yang sulit dibaca. Mereka bekerja hampir tanpa jeda, hingga akhirnya suara adzan ashar berkumandang dari kejauhan.

"Kita istirahat sebentar ya," kata Fani sambil berdiri dan merapikan beberapa berkas. "Aku bikin teh dulu."

Rendra mengangguk, memanfaatkan jeda itu untuk menarik napas panjang. Ia menyandarkan tubuh ke kursi dan memejamkan mata sebentar, mencoba menenangkan pikirannya yang sempat kacau.

Tak lama, Fani kembali dengan dua gelas teh hangat dan sepiring kue kering. "Ini, buat nambah tenaga."

"Terima kasih, Mbak. Ini enak banget," kata Rendra setelah menyeruput teh hangat yang manisnya pas di lidah.

Mereka kembali duduk bersebelahan, tapi suasana kini lebih santai. Obrolan pun meluas, tidak hanya seputar data posyandu, tetapi juga tentang kehidupan Fani di desa, tentang masa kecilnya, dan bagaimana akhirnya ia memilih jadi bidan.

Rendra mendengarkan dengan penuh minat. Ada ketulusan dalam cerita-cerita Fani. Meski penampilannya terlihat modern dan terbuka, ada sisi sederhana dan tulus dalam dirinya. Rendra merasa nyaman, seperti berbincang dengan seseorang yang sudah ia kenal lama.

Senja mulai merayap masuk lewat celah jendela ketika mereka akhirnya menyelesaikan tugas itu. Fani menatap Rendra dengan senyum puas. "Kamu cepat juga ya kerjanya. Aku kira bakal sampai malam."

"Karena yang ngajarin juga jelas," jawab Rendra sambil tertawa.

Fani berdiri dan melipat tangannya. "Kalau gitu, aku traktir kamu makan malam. Tapi jangan bilang siapa-siapa ya. Nanti dikira aku menyogok tim KKN."

Rendra ikut tertawa. "Tenang aja, rahasia kita."

Malam itu terasa berbeda bagi Rendra. Bukan karena dia merasa didekati atau digoda. Tapi karena dia mulai menyadari bahwa di balik segala kesibukan KKN dan semua drama yang menyertai, ada orang-orang seperti Fani yang hangat, bersahaja, dan tulus. Dan mungkin, justru dari pertemuan yang tak direncanakan inilah, ada cerita lain yang akan mulai tumbuh.

---

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel