Pustaka
Bahasa Indonesia

KKN DESA MELATI

170.0K · Ongoing
animar_
121
Bab
6.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Siapa yang gak tau dengan KKN? Kuliah Kerja Nyata yang diperuntukkan untuk mahasiswa tingkat semester 7 yang dilakukan di desa-desa untuk pengabdian kepada masayarakat. Salah satu mahasiswa tersebut adalah Rendra Bagasawan, pria yang dikenal aktif dalam perkuliahan hingga namanya banyak dikenal hampir di seluruh penjuru kampus. Hingga tiba waktunya KKN, Rendra bersama kelompoknya datang ke sebuah desa untuk melakukan kegiatan pengabdian. Rendra yang memang dari awal ganteng, banyak gadis di desa tersebut terpikat oleh Rendra. Ada pengalaman tersendiri baginya di desa tempat dia melaksanakan KKN itu.

DewasaKampusPetualanganCoganGenitDrama

Perkenalan

Namaku Rendra Bagasawan. Aku adalah mahasiswa semester tujuh di sebuah kampus kesehatan ternama di Kota B. Di kelas, aku cukup dikenal. Bukan hanya karena sering aktif dalam diskusi, tetapi juga karena nilai-nilaiku yang stabil dan sikapku yang terbuka terhadap siapa saja. Tak jarang, jika ada tugas kelompok, beberapa teman berebut ingin satu tim denganku. Aku tak pernah memilih-milih, siapa pun yang ingin bergabung selalu aku terima dengan tangan terbuka.

Namun, ada satu hal yang sejak awal tak pernah menarik minatku, organisasi kampus. Bukan karena aku anti sosial atau enggan berbaur, tapi aku merasa lebih nyaman fokus pada perkuliahan. Setiap kali ada yang mengajakku ikut bergabung dalam organisasi, aku selalu menolak dengan alasan ingin mengutamakan akademik. Itu saja.

Di tengah kesibukan kuliah, aku memiliki tiga sahabat yang sudah seperti keluargaku sendiri, Akbar, Wulan, dan Ranti. Kami bersahabat sejak awal masuk kuliah dan hubungan kami terasa sangat erat. Dari mereka bertiga, Wulan selalu menjadi sosok yang istimewa bagiku. Sejak awal perkenalan, aku sudah menyimpan rasa. Bukan hanya karena kecantikannya, tapi juga karena sikapnya yang hangat dan cerdas. Tapi aku terlalu pengecut untuk mengatakannya. Entah karena takut ditolak, atau karena aku takut merusak persahabatan yang telah kami jaga bertahun-tahun. Aku sendiri tak tahu bagaimana perasaan Wulan padaku. Yang kutahu, dia menganggapku sahabat tidak lebih.

Ranti tahu soal ini. Dia satu-satunya yang bisa membaca perasaanku dengan baik. Ia sering menyarankan agar aku segera menyatakan perasaanku pada Wulan, sebelum semuanya terlambat. Aku tahu dia peduli, tapi ketakutanku selalu menang.

Sore itu, di sebuah bangku panjang kampus yang menghadap ke taman kecil, Akbar tiba-tiba menegurku dengan nada kesal.

"Woi, bro! Sampai kapan sih lu mau begini terus? KKN bentar lagi, loh!" serunya.

Aku menatapnya heran. “Memangnya kenapa kalau KKN sudah dekat?”

Akbar mengusap jidatnya pelan sambil menghela napas panjang. “Ya ampun, kerjaannya cuma jadi kutu buku sama main game. Gak peka banget, sih.”

"Maksudmu apa sih, Bar? Kalau ngomong, jangan setengah-setengah dong," ujarku agak kesal.

"Tenang dulu, bro. Dengerin gue. Lu itu, kan, punya rasa sama Wulan. Gue cuma mau ngasih saran."

Aku mendengus pelan. “Ah, sok-sokan kayak bapakku aja.”

"Bukan gitu. Lu udah suka sama Wulan dari lama, kan? Ya udah, ngaku aja deh. Gue tahu kok."

Aku diam sejenak. “Terus, kalau iya, kenapa? Lu nggak suka, atau cemburu?”

Akbar tertawa kecil. “Bukan, bego. Gue cuma pengin lu sadar kalau waktunya udah makin sempit. KKN udah di depan mata.”

“Trus? Apa hubungannya KKN sama perasaanku ke Wulan?”

Akbar menatapku lekat-lekat, lalu bertanya, “Lu tahu istilah ‘cinlok’, kan?”

Aku mencibir. “Yalah, masa nggak tahu. Emangnya gue sepolos itu?”

“Nah, itu maksud gue. Sadar gak sih, banyak banget yang cinlok pas KKN? Lu bayangin kalau Wulan nanti satu kelompok sama cowok lain, terus mereka deket karena bareng tiap hari?”

Aku terdiam. Jantungku mulai berdetak tak beraturan. “Gak mungkinlah.”

“Yakin?” Akbar menantang. “Lu tahu sendiri, dia belum punya pacar. KKN itu momen yang bisa bikin orang berubah pikiran. Siapa tahu, ada yang lebih berani dari lu.”

Aku menghela napas berat. “Terserah, deh. Ngomong sama lu bikin kepala gue pusing.”

Akbar berdiri, menepuk pundakku pelan. “Saran gue cuma satu, kalau lu emang punya rasa, bilang. Jangan tunggu sampai semuanya telat.”

Ia pun berlalu, meninggalkanku yang masih terdiam dengan pikiran yang berkecamuk. Kata-katanya berulang kali terngiang di kepalaku. Benarkah sesimpel itu? Hanya karena KKN, seseorang bisa jatuh cinta pada orang lain? Tapi kalau itu benar, dan Wulan dekat dengan cowok lain di sana, apa aku bisa terima?

Sambil menghela napas panjang, aku mengayuh motorku pulang dengan kepala penuh tanya. Saat melewati deretan warung makan, perutku mulai menggerutu. Lapar. Tapi aku memilih langsung pulang dan makan di rumah saja.

Sesampainya di rumah, aku langsung mandi, membersihkan diri dari debu jalanan. Setelah mengenakan celana pendek dan singlet, aku menuju dapur, membuat secangkir kopi, lalu duduk di teras. Angin sore menyapa pelan, dan kopi yang masih mengepul di tanganku memberikan sedikit rasa tenang. Sampai sebuah notifikasi dari ponsel mengusik ketenangan itu.

Ting.

Pesan dari Akbar masuk lewat aplikasi pesan singkat berwarna hijau.

[Dre, lu di rumah? Gue main ke tempat lu, bosan di kosan.]

Aku menjawab singkat [Datang aja, gue lagi di rumah.]

Tak lama, balasan masuk: [Wokehh, gue otw.]

Ponselku kutaruh kembali di meja, dan aku kembali menyesap kopi yang mulai hangat. Beberapa menit kemudian, deru motor matic terdengar memasuki halaman rumah. Seperti biasa, tanpa permisi, Akbar langsung masuk dan memarkir motornya seenaknya.

“Widih, enak nih sore-sore ngopi,” katanya sambil melompat turun dari motor. “Pasti lagi mikirin Wulan ya, kalau dia nanti cinlok di lokasi KKN.”

Aku menghela napas. “Ngaco lu, Bar. Tapi jujur ya gue jadi kepikiran juga habis lu ngomong gitu tadi.”

Akbar tertawa puas. “Nah, akhirnya sadar juga nih bocah. Lu tuh kebanyakan mikir ditolak. Belum nyoba aja udah takut.”

Dia lalu berjalan menuju dapur. “Gue bikin kopi dulu deh. Dasar tuan rumah gak tahu diri, gak nyuguhin apa-apa.”

Aku berseru dari teras, “Bikin sendiri aja! Lu pikir rumah gue ini warteg?”

Suara Akbar terdengar dari dalam dapur, “Santai dong, jangan cepat tua gitu. Nanti Wulan ilfeel lagi.”

Aku menggeleng, lalu tertawa pelan. Dasar Akbar. Seenaknya saja kalau bicara. Tapi bisa jadi, dia memang benar.

---

Setelah menuangkan kopi ke dalam dua cangkir, Akbar kembali ke teras depan, tempat Rendra masih duduk santai di kursi rotan, dikelilingi semilir angin malam yang mulai menggigit kulit. Percakapan mereka begitu mengalir hingga tak terasa waktu merambat cepat. Langit sudah menghitam sepenuhnya, dan jarum jam nyaris menyentuh angka delapan malam.

"Bar, udah jam delapan, lo nggak lapar?" tanya Rendra sambil melirik jam dinding yang tergantung di dinding rumah.

Akbar memeriksa jam tangannya. “Wah iya, gue sampai nggak nyadar. Lu ada makanan apa di dapur? Perut gue udah konser nih.”

“Lah makanan apaan? Gue belum sempat masak. Gara-gara kebanyakan ngobrol nggak jelas sama lo tadi,” sahut Rendra dengan nada menggerutu tapi masih sambil tertawa kecil.

“Mending pesen makanan aja deh. Kalau lu masak sekarang, bisa-bisa kita baru makan pas tengah malam.”

Rendra mendesah pelan. “Iya, iya. Udah, lo pesen aja, nanti gue yang bayarin.”

“Wih, mantap. Baru gitu dong!” kata Akbar girang, langsung mengeluarkan ponselnya untuk membuka aplikasi pemesanan makanan.

Tak sampai setengah jam, makanan mereka pun datang. Setelah mengambil bungkusan dari kurir, keduanya masuk ke dalam rumah dan menyantap makan malam mereka dengan lahap. Hening sejenak, hanya terdengar suara sendok garpu beradu dan sesekali komentar tentang betapa enaknya ayam goreng yang mereka pesan. Usai makan, mereka kembali ke teras untuk melanjutkan cerita yang tadi sempat tertunda.

Tapi waktu terus berjalan.

“Dra, gue balik dulu ya. Udah jam sebelas malam nih, besok ada kuliah pagi. Takut bangun telat,” ucap Akbar sambil berdiri dan meregangkan badannya yang mulai pegal.

“Ya udah, gue juga udah ngantuk. Hati-hati di jalan ya, Bar.”

“Ciye... perhatian banget,” goda Akbar sambil terkekeh.

“Sembarangan lu. Udah sana, pulang.”

“Siap, Komandan!”

Setelah Akbar pergi, Rendra masuk dan mengunci pintu rumahnya. Ia merebahkan diri di kasur, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam empuknya busa dan berharap kantuk segera datang menjemput.

---

Keesokan paginya, suara alarm dari ponsel menyentak Rendra dari tidurnya. Dengan malas, ia duduk di pinggir tempat tidur, mengumpulkan kesadaran yang masih tercerai-berai. Setelah mandi dan mengenakan pakaian kasual, ia menuju dapur dan menyeduh segelas susu putih hangat—kebiasaannya sejak dulu yang sulit ditinggalkan. Sarapan tidak pernah jadi prioritasnya; segelas susu sudah cukup untuk menyambut hari.

Setelah memastikan rumah terkunci, ia meluncur menuju kampus. Sesampainya di halaman parkir, sebuah suara memanggil dari kejauhan.

“Ren! Rendra!”

Ia menoleh dan menemukan sosok Wulan melambaikan tangan sambil berjalan cepat ke arahnya.

“Eh, Wulan. Kenapa? Ada yang bisa gue bantu?” tanya Rendra.

“Enggak kok. Gue cuma mau ngajak lo ke LPM nanti setelah kuliah buat daftar KKN. Semalam Akbar telepon, katanya kita berempat mau daftar bareng.”

Belum sempat menjawab, mata Rendra terpaku pada penampilan Wulan pagi itu. Ada yang berbeda. Hari ini ia mengenakan atasan yang agak ketat, memperlihatkan lekuk tubuhnya dengan cukup jelas. Sesuatu yang tak biasa ia lihat dari Wulan. Wajahnya segar, riasannya sederhana tapi menawan.

“Gila… cantik banget dia hari ini,” gumam Rendra dalam hati. “Pakaian ketat gitu... duh, jangan sampe gue ngelantur pikiran.”

“Eh, kenapa lo diam aja? Lagi mikirin apa?” tanya Wulan sambil menepuk pelan bahunya.

Rendra tersentak. “Eh, nggak... ngga apa-apa kok. Jadi, habis kuliah kita langsung daftar aja ya?”

Wulan mengangguk sambil tersenyum. Mereka kemudian berjalan ke kelas bersama.

Hari itu hanya ada satu sesi kuliah karena dosen di jam kedua mendadak berhalangan hadir dan hanya mengirim tugas lewat email. Seusai kelas, ketika Rendra sedang memasukkan buku ke tas, Akbar muncul bersama Wulan dan Ranti.

“Gimana kalau sekarang aja kita ke LPM? Kan udah nggak ada kelas lagi,” usul Akbar.

“Oke, biar cepet selesai,” balas Rendra.

“Lu bareng Wulan, ya. Gue sama Ranti,” tambah Akbar sambil tersenyum penuh arti.

Rendra mengernyit. “Loh, bukannya Wulan bawa mobil?”

“Mobilku mogok tadi pagi. Makanya aku naik ojek ke kampus,” jawab Wulan.

“Sama. Tadi aku juga naik ojek, soalnya biasanya numpang Wulan,” timpal Ranti.

Rendra mengangguk pelan. “Oke deh, kita langsung ke LPM aja ya. Mumpung belum rame.”

---

Pendaftaran berjalan cepat dan lancar. Tak ada antrean panjang seperti yang mereka bayangkan.

“Langsung balik aja yuk?” kata Akbar setelah semuanya beres.

“Iya, gue juga mau istirahat,” sahut Rendra.

“Bar, lo anterin gue ya. Biar Wulan sama Rendra,” kata Ranti santai.

“Iya, Lan, lu bareng Rendra aja. Daripada nunggu ojol kelamaan,” ujar Akbar sambil melirik nakal ke arah Rendra.

Wulan hanya tertawa kecil. “Nggak apa-apa kok, asal nggak merepotkan.”

“Nggak lah. Kan udah temenan lama. Ya kan, Dra?” kata Akbar.

“Iya, nggak repot kok. Santai aja,” sahut Rendra sambil menyalakan motornya.

Mereka kemudian berpisah di gerbang kampus. Rendra dan Wulan melaju di jalur yang berbeda dari Akbar dan Ranti. Sepanjang jalan, keduanya diam. Suasana canggung menyelimuti karena ini pertama kalinya Rendra membonceng Wulan. Biasanya gadis itu ke kampus naik mobil pribadi. Duduk Wulan agak menjauh, tangannya hanya sesekali menyentuh bahu Rendra, cukup sopan dan menjaga jarak.

Tak lama, suara Wulan memecah keheningan.

“Ren, gue lapar. Lu lapar nggak?”

“Sama. Tadi pagi gue juga belum makan. Di depan sana ada warteg langganan gue, mau mampir?”

“Boleh,” jawab Wulan singkat.

Beberapa menit kemudian, mereka tiba di warteg yang dimaksud. Tempatnya sederhana, tapi bersih dan tidak terlalu ramai. Rendra memarkir motornya, lalu mereka masuk dan memilih tempat duduk di pojok dekat jendela.

“Kamu sering makan di sini, Dra?” tanya Wulan sambil melihat sekeliling.

“Nggak juga. Baru kemarin sih, tapi makanannya enak. Jadi kayaknya bakalan langganan,” jawab Rendra.

Tak lama kemudian, pesanan mereka datang. Mas warteg menghidangkannya dengan senyum ramah. “Silakan, Mas, Mbak. Selamat makan.”

“Makasih, Mas,” jawab Rendra dan Wulan bersamaan.

Mereka menikmati makan siang dalam keheningan nyaman. Setelah kenyang, obrolan kembali mengalir.

“Kira-kira kita dapet tempat KKN di mana ya?” tanya Wulan, menatap ke luar jendela.

“Belum tau. Tapi biasanya sih di desa. Kita tunggu aja infonya,” jawab Rendra.

“Gue sih pengen satu lokasi sama kalian. Biar ada temen yang dikenal,” ucap Wulan pelan.

Rendra tersenyum. “Gue juga gitu, Lan. Semoga aja bisa.”

Jam di pergelangan tangan Wulan sudah menunjukkan pukul tiga sore. Ia berdiri. “Udah sore, Dra. Balik yuk.”

“Lo ke depan duluan aja, gue mau bayar dulu,” kata Rendra.

“Wah, jadi ditraktir nih?” goda Wulan sambil tertawa.

“Sekali-sekali lah. Kan baru pertama kali kita makan bareng.”

Usai membayar, Rendra mengantar Wulan pulang ke rumahnya yang berada di kompleks perumahan elit. Setibanya di depan gerbang rumah, Wulan menoleh.

“Nggak mau mampir dulu?” tanyanya.

“Lain kali aja deh. Gue mau istirahat dulu,” jawab Rendra.

“Ya udah. Makasih banyak ya udah nganterin.”

“Sama-sama. Bye, Lan.”

“Hati-hati ya,” sahut Wulan sambil melambaikan tangan.

Rendra pun berlalu, meninggalkan rumah itu dengan senyum samar di wajahnya.

---