Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Desa Melati

Pagi itu, udara kampus terasa berbeda. Hiruk-pikuk mahasiswa memenuhi pelataran parkir fakultas. Tas besar, koper, dan kardus bekal memenuhi sisi-sisi trotoar. Suara riuh canda tawa bercampur dengan bisik-bisik gugup semua bersiap memulai perjalanan panjang menuju lokasi Kuliah Kerja Nyata (KKN).

Dari pengeras suara terdengar pengumuman yang membuat semua kepala menoleh.

> "Perhatian! Semua mahasiswa peserta KKN diharapkan untuk berdiri di depan busnya masing-masing. Bus telah diberi nomor sesuai nomor kelompok kalian."

Wulan menoleh ke Rendra dan Barbara dengan senyum tipis. "Oke, kalau gitu kita pisah di sini ya, Ran, Bar. Hati-hati di tempat KKN, jangan lupa kabar-kabarin."

Ranti mengangguk sambil memeluk Wulan singkat. "Lu juga, Lan. Jangan ilang-ilangan."

Tangan-tangan melambai perpisahan, lalu masing-masing berjalan menuju bus mereka. Rendra menatap deretan kendaraan yang berjajar rapi. Ia mencari-cari angka yang mereka kenal baik selama beberapa minggu terakhir, 12.

"Lan, itu bus kita. Teman-teman kelompok juga udah di sana."

Mereka mempercepat langkah. Wulan sempat membenahi tali ranselnya yang terjatuh dari pundak, lalu menyapa hangat teman-teman yang telah berdiri di depan bus.

"Hai semuanya! Selamat pagi!" ucapnya riang.

"Selamat pagi juga," jawab Mita, matanya sempat menatap Rendra sesaat, sebuah tatapan yang tidak ditangkap oleh pemuda itu, karena pikirannya sudah sibuk memikirkan keberangkatan.

Tak lama, seorang pria paruh baya dengan kemeja lengan panjang datang menghampiri mereka. Sosok yang begitu familiar: dosen pembimbing mereka.

"Pagi, anak-anak," ucapnya mantap. "Saya akan menjadi dosen pembimbing kalian selama kegiatan KKN. Nomor saya sudah disimpan oleh ketua kelompok. Kalau ada apa-apa, silakan hubungi. Saya akan mengantar kalian ke lokasi, tapi setelah itu saya harus kembali mengajar."

"Baik, Pak. Terima kasih," serempak mereka menjawab.

Setelah itu, barang-barang dinaikkan ke bagasi bus. Suasana riuh, sedikit kacau tapi penuh semangat. Rendra memilih duduk di bangku paling belakang, sementara Wulan duduk dekat sopir bersama Riko, temannya sejak orientasi kampus. Mita kemudian masuk dan dengan sopan meminta izin duduk di samping Rendra.

Sebelum bus bergerak, doa bersama dipanjatkan dalam hening yang khidmat.

Tepat pukul 10.00, bus kelompok 12 meluncur dari halaman kampus, membawa harapan, rasa penasaran, dan cerita-cerita yang belum ditulis.

---

Dua jam pertama terasa ringan. Tawa dan obrolan memenuhi bus. Beberapa orang sudah memejamkan mata, mungkin berusaha mengejar waktu tidur yang tak sempat semalam.

"Capek?" tanya Rendra pada Mita, yang mengubah posisi duduknya.

"Nggak juga, cuma mau nyender bentar," jawab Mita sambil menghela napas. Mereka tertawa kecil, lalu masing-masing memandang keluar jendela. Kota perlahan berganti dengan hamparan sawah, pohon-pohon tua, dan langit yang lebih luas.

Setelah tiga jam, bus berhenti di rumah makan sederhana di pinggir jalan. Pak Dosen berdiri dan memberi instruksi, "Kita istirahat makan siang dulu. Masih tiga jam lagi perjalanan ke Desa Melati."

Rendra langsung menghampiri Wulan yang turun dari bus. "Lan, ayo makan bareng?"

Wulan mengangguk. Mereka masuk dan memilih meja pojok. Tak lama kemudian, Mita dan Riko bergabung, diikuti beberapa anggota kelompok lain. Suasana makan siang itu hangat. Sesekali terdengar lelucon dari Riko, atau komentar Wulan soal menu yang rasanya seperti masakan rumahan.

Satu jam berlalu. Pak Dosen kembali mengajak mereka naik bus. "Yuk, kita lanjutkan perjalanan."

---

Memasuki jalan desa, guncangan bus mulai terasa. Jalanan berbatu, penuh tanjakan dan turunan membuat beberapa penumpang terantuk ringan. Tapi pemandangan di luar mengalihkan segalanya, sawah hijau yang luas, anak-anak kecil yang melambai, dan rumah-rumah sederhana di kejauhan.

Rendra duduk tenang, matanya sesekali melirik ke arah Wulan yang terlihat tertidur dengan kepala miring ke jendela. Entah kenapa, wajah itu membuat hatinya terasa aneh. Ada rasa nyaman, sekaligus asing.

Mita di sebelahnya memeluk lengan sendiri sambil menahan dingin. AC bus terlalu dingin untuk ukuran siang hari.

"Masih jauh, ya?" gumamnya.

"Setengah perjalanan lagi," sahut Rendra.

Mereka berbincang ringan tentang dosen pembimbing, tentang harapan mereka di desa nanti, tentang siapa yang akan jadi ketua sub kelompok. Tak ada yang serius, tapi semua terasa berarti. Semacam jembatan untuk saling mengenal lebih dalam.

---

Pukul lima sore, akhirnya bus memasuki jalan kecil yang kanan-kirinya ditumbuhi pohon bambu. Sebuah papan kayu berdiri sederhana.

> Selamat Datang di Desa Melati.

Wulan mencondongkan tubuhnya ke jendela. "Akhirnya..."

Di sepanjang jalan desa, rumah-rumah kayu berdiri berdampingan dengan sawah yang mulai menguning. Beberapa warga tampak berdiri di depan rumah, melambaikan tangan menyambut.

Bus berhenti di depan sebuah rumah besar setengah tembok, dicat kuning muda dengan atap seng bergelombang. Di halaman rumah, sudah berdiri beberapa warga. Seorang pria tua dengan pakaian adat lengkap berdiri paling depan, tersenyum lebar. Di sampingnya, seorang perempuan membawa nampan berisi selendang warna-warni.

"Akan ada penyambutan adat," bisik Pak Dosen yang sudah lebih dulu turun. "Ayo anak-anak, turun dan berbaris ya."

Satu per satu mahasiswa turun dari bus. Wulan berdiri di barisan depan, matanya tak lepas dari suasana sekitar. Mita berdiri di sampingnya, sementara Rendra menyusul dari belakang, membawa tas besarnya.

Warga mulai menyematkan selendang pada masing-masing mahasiswa sebagai simbol penerimaan. Beberapa ibu tersenyum, beberapa anak kecil bersembunyi di balik kain ibunya sambil mengintip malu.

Saat tiba gilirannya, Wulan menunduk hormat. Seorang ibu menyematkan selendang merah marun di lehernya. "Selamat datang, Nak."

"Terima kasih, Bu," jawab Wulan lembut.

Rendra juga menerima selendangnya. Saat selendang itu disematkan, dia menatap sejenak ke arah Wulan yang kini sudah melangkah ke arah rumah induk tempat mereka akan tinggal sementara.

Hatinya menghangat. Ada sesuatu yang berubah sore itu.

Mungkin udara desa yang bersih. Mungkin senyuman Wulan. Atau mungkin... kisah mereka baru saja dimulai.

---

Suasana di Desa Melati terasa begitu berbeda. Udara sore yang segar menyapu lembut wajah-wajah lelah para mahasiswa KKN yang baru saja menempuh perjalanan panjang dari kota. Bus berhenti perlahan di depan rumah adat berwarna kuning pucat, setengah tembok, tempat sejumlah warga telah menanti dengan penuh antusiasme. Di antara mereka, berdiri seorang pria paruh baya berpakaian adat lengkap. Wajahnya teduh, penuh wibawa, dan senyumnya menyambut dengan hangat.

"Selamat datang di desa kami, Desa Melati. Semoga kalian semua betah berada di sini selama kegiatan KKN berlangsung," ucapnya dengan suara mantap namun ramah.

Bapak dosen, yang berdiri paling depan di antara para mahasiswa, membalas dengan anggukan sopan lalu maju selangkah.

"Terima kasih banyak atas sambutan hangat ini, Pak. Kami sangat menghargai kesempatan yang diberikan. Semoga kami dapat belajar banyak dari masyarakat di sini. Saya titip anak-anak kami selama dua bulan ke depan, mohon bimbingan dan bantuannya."

"Tentu, Pak. Kalian sudah seperti anak-anak kami sendiri," jawab sang tetua dengan penuh keikhlasan.

Tak lama kemudian, para mahasiswa diarahkan menuju aula desa, sebuah bangunan kayu yang luas dengan atap tinggi dan pilar-pilar kayu tua yang kokoh. Di sana, mereka disambut oleh warga dengan berbagai hidangan tradisional yang menggoda selera. Nasi liwet hangat, sambal terasi, ikan bakar, serta kue-kue tradisional disusun rapi di atas daun pisang.

Rendra, Wulan, Mita, dan teman-teman lainnya duduk bersama di lantai beralaskan tikar pandan. Wajah mereka menunjukkan kelelahan, tapi juga rasa penasaran dan semangat yang tumbuh seiring matahari sore yang mulai turun ke barat. Di sudut aula, anak-anak kecil mengintip malu-malu, sementara beberapa ibu tersenyum ramah, membawakan gelas-gelas minuman hangat.

Setelah beberapa saat menikmati hidangan dan suasana kekeluargaan itu, tetua desa kembali berdiri di depan aula, menyentuh mikrofon dengan hati-hati.

"Bapak ibu serta adik-adik mahasiswa, izinkan saya menyampaikan sambutan resmi sebagai tuan rumah. Kami sangat senang dan merasa terhormat desa kami terpilih sebagai lokasi KKN. Semoga kehadiran kalian dapat memberi manfaat dan menjadi pengalaman berharga. Kami terbuka untuk kalian semua."

Tepuk tangan meriah memenuhi ruangan. Setelahnya, giliran Bapak Dosen yang kembali berdiri. Ia memperkenalkan satu per satu mahasiswanya yang akan tinggal dan berkontribusi di desa ini. Rendra berdiri dengan tenang saat namanya dipanggil, menyebutkan jurusannya dan asal kampus, diikuti oleh Wulan, Mita, Riko, dan lainnya.

Setelah perkenalan selesai, acara ditutup dengan doa bersama. Suasana begitu khidmat. Ketika senja benar-benar merayap ke malam, para mahasiswa digiring menuju tempat penginapan mereka, sebuah bangunan sederhana yang biasanya digunakan sebagai Posyandu. Bangunan itu berada tak jauh dari balai desa, dikelilingi pohon rambutan dan suara jangkrik yang mulai terdengar.

Gedung itu memiliki dua ruangan utama dan satu kamar mandi di belakang. Para mahasiswa perempuan akan menempati ruangan sebelah kanan, sementara laki-laki menempati sisi kiri. Tikar-tikar dan kasur tipis sudah disediakan, dan barang-barang mereka sudah diturunkan dari bus oleh warga desa yang dengan sukarela membantu.

"Akhirnya sampai juga..." gumam Rendra sambil menaruh tasnya ke pojok ruangan. Peluh di keningnya masih terasa, namun matanya berbinar, seolah tak sabar memulai petualangan baru.

Wulan datang menghampirinya dari luar. "Eh, Rendra... jangan lupa malam ini kita ada briefing sama Pak Dosen di aula lagi ya. Katanya mau bahas rencana kerja minggu pertama."

"Oke, Lan. Nanti gue ke sana bareng Mita aja," jawab Rendra sambil melirik sekilas ke arah Mita yang sedang sibuk merapikan selimut di ruang sebelah.

Wulan hanya tersenyum kecil, lalu berbalik kembali ke ruangannya.

Malam itu, langit Desa Melati bertabur bintang. Cahaya lampu aula temaram, menyinari wajah-wajah penuh harapan yang duduk melingkar di dalamnya. Suara jangkrik menyatu dengan suara dosen yang menjelaskan program kerja. Tak ada hiruk-pikuk kendaraan, hanya ketenangan yang menyelimuti malam itu.

Dan di sanalah mereka, sepuluh anak muda dengan sejuta harapan, duduk memulai perjalanan yang akan mengubah cara pandang mereka tentang dunia.

Besok adalah awal dari segalanya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel