Berangkat KKN
Langit senja baru saja merona jingga ketika ponsel Rendra tiba-tiba berdering kencang, memecah kesunyian kamar kosnya yang hanya diterangi lampu temaram. Rendra menggeliat malas dari tidurnya yang nyenyak, meraba-raba asal suara sambil mengerang pelan.
“Siapa sih yang nelpon jam segini?” gumamnya dengan suara serak, matanya masih setengah terpejam. Tapi begitu melihat nama yang muncul di layar, wajahnya berubah. Wulan.
Rendra segera mengangkat telepon itu, masih dengan nada malas. “Halo… siapa sih?”
“Halo, Dra. Ini gue, Wulan,” suara ceria Wulan terdengar di seberang.
“Oh lu to, Lan. Kirain siapa. Sorry, gue lagi istirahat nih. Pegel banget habis pembekalan tadi,” balas Rendra sambil menguap.
“Wah maaf ya, ganggu istirahat lo,” kata Wulan tulus. “Gue cuma mau nanya, besok lo sibuk nggak setelah pembekalan?”
Rendra duduk perlahan di kasurnya, mulai sedikit lebih sadar. “Besok? Kayaknya nggak deh. Kenapa?”
“Gue pengen ngajak lo beli perlengkapan KKN. Sekalian bareng Akbar sama Ranti juga. Lo ikut, ya?”
“Boleh. Jadi lo yang nyetir?”
“Iya dong. Gue jemput kalian bertiga. Nggak usah bawa motor,” jawab Wulan.
“Oke, siap,” kata Rendra singkat. Tak lama kemudian telepon pun ditutup.
Rendra masih terduduk di tepi ranjang, memandangi layar ponselnya yang kini mati. Dalam hati ia tersenyum kecil.
“Memang perhatian banget si Wulan. Dari dulu nggak pernah berubah.” gumamnya lirih. Ia mengusap kumis tipis di atas bibirnya sambil tertawa kecil. “Gue jadi makin suka nih sama dia.”
Tak ingin membuang waktu, Rendra langsung menekan kontak ibunya. Setelah beberapa dering, terdengar suara lembut dari seberang.
“Halo, nak. Gimana kabarmu?”
“Rendra baik, Bu. Ibu sama Bapak gimana kabarnya?”
“Alhamdulillah baik juga. Tumben nelpon, ada apa, nak?”
Rendra menghela napas sejenak. “Gini, Bu. Hari Senin nanti Rendra udah mulai KKN. Terus Rendra butuh uang buat beli perlengkapan.”
“Oh iya, udah mau KKN, ya? Kamu butuh berapa?”
“Paling lima juta aja, Bu. Buat beli keperluan pokok aja.”
“Ya udah, nanti Ibu transfer sepuluh juta, ya. Buat jaga-jaga kalau kurang. Uang bulanan kamu masih ada?”
“Masih, Bu. Cukup kok.”
“Baiklah. Ibu transfer sekarang ya. Jaga kesehatan, ya, Nak.”
“Makasih ya, Bu. Love you. Salam buat Bapak juga.”
Setelah telepon ditutup, Rendra berbaring kembali. Namun kali ini pikirannya tak sepenuhnya tenang. Ia mulai membayangkan bagaimana hari-hari ke depan akan berjalan. Perasaan aneh mulai tumbuh tiap kali Wulan muncul dalam pikirannya.
---
Pagi berikutnya, pukul delapan tepat, Rendra sudah duduk kembali di dalam aula kampus bersama kelompok KKN-nya. Meski ia belum mengenal siapa pun di kelompoknya, kehadiran Wulan memberinya kenyamanan. Setidaknya, ada satu wajah yang membuatnya merasa tidak asing.
Usai pembekalan, Wulan menghampirinya dengan senyum lebar.
“Ren, sini. Gue kenalin sama temen-temen kelompok kita.”
Rendra berdiri, menghampiri Wulan yang sudah dikelilingi beberapa mahasiswa lainnya.
“Ini Riko, Mita, Indah, Bagas, Panca, Dinar, Dila, sama Sopia.”
Rendra mengangguk ramah. “Halo semuanya, gue Rendra dari FKM. Salam kenal, ya.”
Mita, seorang mahasiswi dengan dandanan mencolok dan rambut sebahu yang diikat manis, langsung menjulurkan tangan lebih dulu.
“Gue Mita, Fakultas Hukum. Salam kenal juga ya, Rendra,” katanya genit.
Rendra agak terkejut dengan sambutan yang terlalu antusias itu. “Wah, cewek ini agresif juga,” pikirnya. Ia buru-buru menarik tangannya dan lanjut bersalaman dengan yang lain.
Setelah perkenalan, mereka bertukar nomor dan membuat grup WhatsApp khusus kelompok KKN. Riko, yang terlihat paling dominan, langsung ditunjuk menjadi ketua kelompok secara aklamasi. Tak lama kemudian, ia menunjuk Wulan sebagai bendahara.
Rendra memperhatikan tatapan Riko pada Wulan. Tatapan itu membuatnya tidak nyaman.
“Dia dari tadi ngelirik Wulan terus,” pikirnya. Tapi ia memilih diam, enggan memperkeruh suasana hanya karena urusan jabatan kelompok.
Saat hendak bubar, Riko menghampiri Wulan.
“Lan, lo udah beli perlengkapan KKN belum? Kalau belum, sore ini bareng gue aja,” tawarnya.
Rendra yang mendengar ajakan itu langsung merasa darahnya naik sedikit. Ia tak suka cara Riko menyodorkan diri seperti itu.
Namun Wulan menjawab dengan tenang, “Maaf ya, Ko. Gue udah janjian sama Rendra, Ranti, sama Akbar. Kita beli bareng nanti sore.”
“Oh gitu. Ya udah deh, gue ajak yang lain aja,” jawab Riko, jelas terdengar kecewa.
Rendra langsung menggandeng lengan Wulan dengan santai, namun cukup untuk menunjukkan sikapnya. “Ya udah, kami pamit duluan ya. Teman-teman udah nungguin,” katanya pada yang lain.
Wulan melambaikan tangan. “Sampai jumpa, ya.”
---
Sekitar pukul 16.30, suara klakson mobil berbunyi di depan rumah Rendra. Ia bergegas keluar dan melihat Wulan di balik kemudi. Akbar dan Ranti duduk di kursi belakang.
“Ayo, kita berangkat,” seru Wulan dengan semangat.
Rendra masuk ke kursi depan, dan mobil segera melaju ke arah swalayan terbesar di kota. Mereka bercengkerama sepanjang jalan, membahas perlengkapan yang harus dibeli.
“Lan, kira-kira apa aja nih yang kita butuhin?” tanya Akbar.
“Banyak, Bar. Mulai dari tas, senter, perlengkapan mandi, alat tulis, lotion anti nyamuk, cemilan. Pokoknya siap tempur deh.”
Setelah satu jam berkeliling, keranjang mereka penuh. Mereka lanjut menuju apotek, membeli obat-obatan darurat. Antisipasi selalu lebih baik daripada menyesal, pikir Wulan.
Setelah semua selesai, perut pun mulai berontak.
“Gue lapar parah,” keluh Rendra.
“Sama. Makan dulu yuk,” sahut Ranti.
Mereka sepakat menuju warung makan favorit di pinggir kota, yang terkenal dengan ayam geprek super pedasnya.
Saat mereka tengah menikmati makanan, ponsel Rendra berbunyi. Notifikasi dari nomor tidak dikenal.
Pesan masuk [Hai Ren, ini gue Mita, temen kelompok KKN. Ini nomor gue, save ya.]
Rendra membaca sekilas, lalu membalas sopan [Ohiya. Oke gue save ya.]
Tak lama, balasan kembali masuk.
Mita [Ren, lo sibuk? Kalo nggak, gue boleh telpon?]
Rendra mengangkat alisnya. [Nggak. Emang ada apa?]
Dan telepon pun masuk. Dengan enggan, Rendra menjawab.
“Halo, Mita. Ada apa?”
“Gue mau nanya lo udah beli perlengkapan KKN belum?”
“Udah. Tadi bareng Wulan, Ranti, sama Akbar.”
“Oh gue kira lo belum. Tadinya gue mau ngajak lo,” jawab Mita, nadanya jelas kecewa.
“Sorry ya, Mit. Gue capek banget nih, baru selesai semua. Mau istirahat.”
“Oke deh. G’night, Ren.”
“Night.”
Setelah menutup telepon, Rendra menyandarkan tubuhnya ke kursi.
“Mita emang cantik, badannya juga… ya, oke lah. Tapi buat gue, Wulan tetap yang nomor satu,” gumamnya pelan.
Malam itu, setelah diantar pulang, Rendra langsung merebahkan diri di kasur. Kepalanya dipenuhi bayangan perjalanan KKN yang akan segera dimulai. Namun, satu hal yang lebih mendominasi pikirannya: Wulan.
Mungkin KKN ini bukan cuma soal pengabdian, tapi juga tentang pengakuan dan perasaan.
---
Jam dinding di kamar Rendra berdetak pelan. Jarum pendek sudah menunjuk ke angka delapan, tapi suasana kamar masih sunyi. Di luar, matahari sudah tinggi, sinarnya menembus tirai jendela dan menyinari sebagian wajah Rendra yang masih terlelap. Ponselnya, yang tergeletak di meja kecil dekat ranjang, tiba-tiba berdering nyaring. Ringtone khas dari Wulan memecah keheningan.
Rendra menggeliat dan mengerang pelan, tangan kanannya meraba meja dan meraih ponsel.
“Halo?” suaranya berat dan serak, belum sepenuhnya sadar.
“Ren, lu di mana? Gue di depan rumah lu nih,” suara ceria Wulan membuat mata Rendra langsung terbuka lebar.
“Lah?! Di depan rumah gue?” Rendra terduduk kaget di ranjang. “Sumpah gue baru bangun, Lan. Sorry ya, bentar gue keluar.”
Ia bangkit secepat mungkin, menyambar kaos yang tergeletak di lantai dan langsung berlari ke depan rumah. Nafasnya masih terengah saat membuka pintu dan berjalan ke arah gerbang.
Begitu matanya menangkap sosok Wulan yang berdiri santai di samping mobilnya, langkah Rendra melambat tanpa sadar. Wulan mengenakan kaos oblong putih yang membentuk tubuhnya dengan sempurna, dibalut jaket Lavis abu-abu yang terbuka di bagian depan. Celana legging hitam yang membungkus kakinya menegaskan siluet tubuhnya yang ramping. Rambutnya dikuncir kuda, memberi kesan santai tapi tetap menawan.
Rendra hanya berdiri terpaku.
“Dra, lu ngelamunin apa sih?” tanya Wulan sambil tersenyum, satu alisnya terangkat.
Rendra tersentak dari lamunannya. “Eh nggak, nggak. Ayo masuk,” ujarnya gugup, membuka gerbang dan memberi jalan.
Setelah Wulan masuk, Rendra membantu memarkir mobilnya di halaman. Wulan berdiri di teras, matanya menyapu halaman rumah yang penuh tanaman hias.
“Maaf ya rumah gue masih berantakan. Gue baru bangun soalnya,” kata Rendra sambil mengusap lehernya.
“Tenang aja, Dra. Gue udah terbiasa lihat cowok bangun kesiangan,” candanya ringan.
Rendra tertawa pelan. “Gue mandi dulu ya. Minuman ada di kulkas. Lo ambil aja sendiri.”
“Siap, Bos.”
Rendra masuk ke kamar mandi dengan langkah cepat. Air dingin menyegarkan tubuhnya yang masih mengantuk. Beberapa menit kemudian, ia keluar hanya mengenakan celana pendek berbahan katun, tanpa baju. Dadanya yang bidang dan perut yang memperlihatkan garis-garis otot terlihat jelas.
Di saat yang sama, Wulan sedang berdiri di dapur kecil, membuka kulkas untuk mengambil botol minum. Ketika pintu kulkas ditutup, pandangannya langsung jatuh pada sosok Rendra yang muncul dari balik pintu kamar mandi.
Tubuh Rendra yang baru selesai mandi masih sedikit basah. Rambutnya acak-acakan, namun justru itu menambah kesan maskulin. Wulan terdiam. Pandangannya menuruni dada bidang itu, lalu berhenti di bagian bawah celana Rendra yang menonjol cukup mencolok karena bahannya yang tipis.
Ia tersadar bahwa ia sudah terlalu lama memperhatikan.
“Eh.” Wulan berdeham. “Udah, Dra?”
Rendra tak menyadari pandangan Wulan. “Iya, bentar gue ganti baju dulu ya.”
“Oke.”
Wulan memalingkan wajah, pura-pura fokus membuka botol minumnya.
Beberapa menit kemudian, Rendra keluar dengan pakaian yang lebih layak: kaos hitam polos dan jeans biru yang sedikit pudar. Mereka segera bersiap, memindahkan beberapa barang perlengkapan dari rumah ke mobil. Tenda kecil, sleeping bag, perlengkapan mandi, alat masak portable, dan kotak P3K.
Setelah semua siap, mereka meluncur dari rumah Rendra menuju rumah Akbar dan Ranti untuk menjemput. Suasana dalam mobil terasa ringan. Tawa Wulan yang renyah mengisi ruang sempit itu, membuat Rendra merasa nyaman.
“Eh, barusan lo lihat nggak grup WA kita?” tanya Rendra.
“Yang Mita nanya siapa aja yang udah siap?” sahut Wulan.
“Iya. Gue rasa dia nungguin gue bales. Tapi gue males bales dulu. Pasti ntar jadi panjang obrolannya.”
Wulan tertawa kecil. “Dia emang agak agresif ya, sama lo.”
“Agak?” Rendra menoleh sekilas. “Menurut gue, udah kelewat sih.”
Tak lama, mereka menjemput Akbar dan Ranti. Mobil Wulan kini terisi penuh, tidak hanya dengan orang tapi juga suara riuh percakapan.
Sampai di kampus, suasana sudah ramai. Mahasiswa dari berbagai fakultas berdatangan, membawa koper dan tas besar. Sebagian mengenakan seragam KKN yang baru dibagikan kemarin sore. Ada yang terlihat semangat, ada juga yang tampak enggan.
Wulan turun lebih dulu, kemudian membuka bagasi. “Ayo kita angkut barang-barangnya,” katanya.
Mereka bahu membahu membawa perlengkapan menuju titik kumpul kelompok. Mobil Wulan akan ditinggalkan di kampus dan akan dijemput sopir keluarganya nanti.
“Gila, panas banget ya,” keluh Ranti sambil mengelap keringat.
“Namanya juga pengabdian,” jawab Akbar dengan gaya sok bijak. “Kita harus rela, bahkan kalau kulit kita terbakar sekalipun.”
Rendra tertawa. “Lu ngomong gitu sambil ngipasin diri sendiri pakai kertas absensi. Ironis banget, Bar.”
Sesampainya di pos kelompok, mereka disambut oleh Mita yang langsung menghampiri Rendra.
“Eh Ren, lo udah datang ya. Gila, lo bawa banyak banget barang,” katanya sambil tersenyum manis.
“Iya, bawaan wajib,” jawab Rendra singkat.
Mita mendekat lebih jauh, terlalu dekat untuk kenyamanan Rendra. “Kalau butuh bantuan nyusun di penginapan nanti, bilang gue ya.”
Wulan hanya melirik sekilas. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya, tapi ekspresi wajahnya cukup menunjukkan bahwa ia menyadari intensi Mita.
Rendra mengangguk sopan. “Makasih, Mit. Tapi gue udah ada temen kok.”
“Siapa? Wulan?” tanya Mita dengan nada menggoda.
“Bisa jadi,” jawab Rendra datar.
Mita tertawa, tapi matanya menyipit sesaat ke arah Wulan, lalu ia berjalan menjauh.
Wulan melirik Rendra. “Lo suka digituin?”
“Enggak,” jawab Rendra cepat. “Gue malah risih.”
Wulan tertawa kecil. “Tenang, selama ada gue, lo aman dari gangguan Mita.”
“Serius?”
“Serius. Tapi ya... lo juga jangan bikin gue risih,” katanya sambil tersenyum menggoda.
“Apaan?” tanya Rendra, pura-pura bingung.
“Keluar kamar mandi cuma pakai celana pendek tipis, terus jalan-jalan depan cewek. Tau nggak, itu bisa bikin orang berdosa.”
Rendra tergelak. “Emang kenapa? Lo lihat?”
Wulan tak menjawab, hanya tersenyum sambil memalingkan wajah.
Hari itu menjadi awal dari perjalanan panjang mereka selama KKN. Di antara keributan mahasiswa, sinar matahari yang menyengat, dan beban tas yang berat, ada sesuatu yang mulai tumbuh perlahan di hati Rendra dan mungkin, di hati Wulan juga. Entah itu cinta, atau sekadar ketertarikan yang belum menemukan arahnya. Tapi yang jelas, sejak pagi itu, mereka sudah tak sama lagi.
---
