Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Persiapan

Setelah beberapa menit berkendara menyusuri jalanan kota yang mulai lengang, Rendra akhirnya tiba di rumahnya. Ia memarkirkan motornya di halaman, lalu masuk ke dalam. Tanpa banyak bicara, ia menuju kamarnya, melepas jaket yang basah oleh keringat dan menggantinya dengan pakaian yang lebih nyaman. Pandangannya lalu tertuju pada kulkas kecil di sudut dapur. Dengan langkah santai, ia membukanya dan mengambil satu kaleng minuman dingin. Saat cairan segar itu menyentuh tenggorokannya, napasnya terlepas panjang.

"Hah, segarnya..." gumamnya pelan, sambil meregangkan tubuh, seolah hendak melepaskan penat yang menumpuk seharian.

Beberapa menit berlalu, dan perutnya mulai berontak. Ia melangkah kembali ke dapur, kali ini untuk menyiapkan makan malam. Aroma tumisan sederhana mulai memenuhi rumah. Setelah makanannya siap, ia kembali ke kamar, mengambil handuk, lalu masuk ke kamar mandi. Air hangat yang mengalir seakan membawa pergi seluruh lelah yang menempel di kulitnya.

Usai mandi, ia kembali ke dapur dan membuat secangkir kopi. Malam yang sejuk seolah mengundangnya untuk duduk bersantai di teras rumah. Ia membawa kopinya ke sana, duduk di kursi rotan, dan menatap langit yang bertabur bintang.

Tangannya meraih ponsel di saku celana. Ia membuka WhatsApp dan melihat banyak pesan masuk di grup KKN. Matanya mulai menelusuri isi pesan, pembagian kelompok KKN telah diumumkan. Dengan cepat, ia mencari namanya.

"Kelompok 12... Desa Melati," ucapnya pelan, seolah memastikan informasi itu benar. Namun, matanya membelalak ketika menemukan nama Wulan di daftar anggota kelompok yang sama.

“Wah, ada Wulan di kelompok gue? Beruntung banget gue,” katanya dalam hati, campur aduk antara gembira dan bingung. Ia tidak menyangka akan berada satu kelompok dengan gadis itu, gadis yang sejak lama diam-diam mengisi ruang hatinya.

Setelah menaruh ponselnya di atas meja, ia kembali menyesap kopinya, namun kali ini pikirannya mengembara. Kata-kata Akbar beberapa waktu lalu terngiang kembali tentang cinlok, cinta lokasi saat KKN.

“Waduh gimana kalau Wulan malah cinlok sama mahasiswa lain? Gimana perasaan gue nanti kalau tahu dia deket sama orang lain?” bisiknya cemas. Dadanya terasa sesak hanya membayangkan kemungkinan itu.

Lamunannya buyar ketika dering ponsel kembali berbunyi. Nama Akbar tertera di layar. Rendra mengerutkan kening.

“Ngapain sih orang ini nelpon malam-malam begini,” gerutunya, namun tetap diangkat juga.

“Halo, ada angin apa nih lu nelpon?” tanya Rendra.

“Santai dong, kawan. Lu udah baca WA grup belum?” sahut suara ceria Akbar dari seberang.

“Baru aja gue selesai baca.”

“Gimana rasanya? Seneng dong, satu kelompok sama Wulan?” goda Akbar.

“Seneng sih tapi gue juga jadi mikir, Bar.”

“Mikir apaan lagi? Hidup lu tuh kebanyakan mikir.”

“Cerita lu soal cinlok itu loh. Gue takutnya Wulan malah cinlok sama orang lain di lokasi nanti. Lu bayangin deh, gimana rasanya?” Suara Rendra terdengar khawatir.

“Hahaha! Ren, sampai segitunya lu mikir? Udahlah, santai aja.”

“Lu malah ketawa.”

“Dengerin gue deh. Justru lu punya banyak waktu nanti bareng dia. Lu bisa bantuin dia kerjain program, ngobrol, bikin dia nyaman. Cewek tuh peka, Ren. Kalau lu tulus, dia pasti bisa ngerasain.”

“Ah, masa sih? Gue nggak yakin, Bar.”

“Udahlah, nanti juga lu bakal ngerti sendiri pas udah jalanin. Gue malas debat panjang.” Lalu sambungan tiba-tiba terputus.

“Yah, asem nih anak. Belum selesai ngomong udah ditutup aja,” gerutu Rendra kesal.

Ia menatap jam di tangannya pukul delapan malam. Ia berdiri dan masuk ke dalam rumah, lalu duduk di meja makan untuk menyantap makan malamnya.

---

Pagi yang cerah menyambut hari baru. Rendra sudah tiba di kampus dan duduk di salah satu bangku taman, menunggu waktu pembekalan KKN. Angin pagi berembus pelan, membuat suasana terasa damai.

“Hai, Dra!” sapa suara lembut dari belakang. Rendra menoleh, terkejut.

“Oh, Wulan. Ada apa?” tanyanya.

“Ngga apa-apa. Cuma mau nanya kamu udah lihat pembagian kelompok KKN, belum?”

“Udah. Kita satu kelompok kan? Kelompok 12, Desa Melati.”

“Iya! Aku senang banget bisa satu kelompok sama kamu. Setidaknya ada yang aku kenal,” katanya sambil tersenyum manis. “Nanti kita belanja bareng ya, buat perlengkapan KKN?”

“Boleh, kabarin aja kapan,” jawab Rendra, mencoba tenang walau jantungnya berdetak cepat.

“Okeee~” balas Wulan manja.

---

Keesokan harinya, Rendra sudah tiba di aula kampus untuk mengikuti pembekalan. Aula mulai dipenuhi oleh mahasiswa dari berbagai jurusan, semua tampak antusias.

“Mana nih si Akbar? Belum kelihatan juga,” gumam Rendra sambil membuka ponsel, hendak menghubungi sahabatnya itu. Tapi sebelum sempat menekan nomor, dua sosok datang menghampiri.

“Rendra!” panggil suara Ranti dan Wulan bersamaan.

“Gue nyariin kalian. Dari mana aja?” tanya Rendra.

“Kita tadi nyari teman kelompok lain. Biar langsung kenalan aja,” jawab Ranti.

Tak lama, suara dari pengeras suara menggema di seluruh ruangan, meminta para mahasiswa untuk masuk dan duduk berdasarkan kelompok masing-masing. Aula telah disusun sedemikian rupa sehingga setiap kelompok memiliki deretan kursi sendiri. Rendra, Wulan, dan Ranti pun mencari posisi mereka dan duduk bersama.

Tak lama kemudian, Rektor universitas naik ke podium.

“Selamat pagi, anak-anak semua.”

“Selamat pagi, Pak!” jawab para mahasiswa serempak.

Rektor memberikan arahan selama sekitar dua puluh menit. Setelah itu, ia membuka acara dengan ketukan palu tiga kali.

Tok. Tok. Tok.

Riuh tepuk tangan memenuhi aula. Hari itu, tiga materi disampaikan oleh para dosen dan pembicara. Waktu pun bergulir cepat, dan tanpa terasa, jam menunjukkan pukul dua siang.

“Baik, adik-adik sekalian,” ujar salah satu panitia, “materi hari ini telah selesai. Besok kita mulai pukul delapan pagi, dan hanya dua materi. Silakan pulang dan istirahat.”

Para mahasiswa bangkit dari tempat duduk. Di luar aula, Rendra bertemu kembali dengan Akbar dan Ranti.

“Gila! Capek banget gue!” keluh Akbar.

“Sama, gue juga pegal banget duduk terus,” timpal Ranti.

“Eh, Rendra, Wulan mana?” tanya Ranti.

“Masih di dalam. Kayaknya lagi kenalan sama anak-anak kelompok,” jawab Rendra.

Beberapa saat kemudian, Wulan muncul.

“Hai semuanya!”

“Kamu dari mana aja sih, Lan?” tanya Ranti.

“Tadi aku kenalan dulu sama teman-teman kelompok. Biar nggak canggung,” jawab Wulan sambil tersenyum.

Rendra hanya tersenyum kecil. Namun, Wulan menatapnya dengan pandangan heran.

“Lho, Dra? Kok kamu nggak kenalan juga?” tanyanya.

“Besok aja deh, Lan. Capek banget. Gue mau langsung pulang,” jawab Rendra singkat.

“Gue juga,” sambung Akbar.

“Ya udah, kalau gitu, kita balik sekarang,” ujar Ranti.

Mereka pun berjalan menuju tempat parkir, lalu berpamitan. Wulan dan Ranti masuk ke mobil, sementara Rendra dan Akbar melaju dengan motor masing-masing. Hari pertama pembekalan KKN pun usai, meninggalkan benih-benih cerita yang belum terungkap sepenuhnya.

---

Sore mulai merangkak menuju malam ketika cahaya jingga terakhir tenggelam di balik tirai jendela kamar Rendra. Tubuhnya terbaring lemas di atas kasur, menyatu dengan empuknya bantal dan selimut yang masih tersibak. Suara detik jam di dinding menjadi satu-satunya nyanyian di ruangan sunyi itu, hingga akhirnya ketenangan itu dipatahkan oleh dering ponsel yang tiba-tiba menggema.

Dengan mata yang masih berat, Rendra mengerang pelan. Tangannya meraba-raba ke arah meja kecil di samping ranjang, meraih ponselnya tanpa benar-benar membuka mata.

“Siapa sih yang nelpon jam segini? Orang lagi tidur juga.” gerutunya dengan suara serak, nyaris seperti orang yang baru terbangun dari mimpi panjang. Ia menekan tombol hijau tanpa melihat nama penelepon. “Halo? Siapa ya?”

Suara ceria langsung menyambutnya dari seberang. “Ehh, halo Rendra. Ini aku, Wulan.”

Mendengar nama itu, mata Rendra langsung terbuka setengah. Suara Wulan memang punya cara tersendiri untuk mengusik rasa kantuknya. “Ohh Wulan to. Kirain siapa. Maaf ya, gue lagi istirahat tadi. Badan gue remuk redam abis pembekalan siang ini.”

“Iya, aku denger kok tadi pembekalannya cukup padat,” jawab Wulan pelan. “Maaf ya, ganggu kamu tidur. Tapi aku cuma mau nanya, besok habis pembekalan kamu ada kegiatan?”

Rendra menguap sebentar sebelum menjawab. “Kayaknya sih enggak, kenapa?”

“Bagus deh. Aku mau ngajak kamu belanja perlengkapan KKN. Sekalian aja rame-rame, nanti kita berangkat bareng habis pembekalan.”

“Wah, boleh tuh,” sahut Rendra sambil meregangkan badan. “Akbar sama Ranti ikut juga?”

“Udah, mereka udah aku hubungin. Mereka setuju. Nanti aku jemput kalian. Kita pakai mobilku aja biar praktis. Kamu nggak usah bawa motor, oke?”

“Siap, komandan,” jawab Rendra sambil tersenyum kecil. “Besok jam berapa?”

“Jam empat-an ya. Abis istirahat sebentar setelah pembekalan.”

“Oke, deal.”

Telepon pun ditutup, meninggalkan layar ponsel yang kembali redup. Rendra meletakkannya di meja samping ranjang lalu menatap langit-langit kamar. Ada senyum samar mengambang di wajahnya. Ia tak menyangka, sejak pembagian kelompok KKN diumumkan, Wulan semakin sering menghubunginya. Gadis itu kini tak hanya sekadar teman kampus, tapi perlahan menjadi pusat dari setiap percakapan harinya.

Malam itu terasa lebih hangat dari biasanya. Rendra turun dari ranjang, berjalan ke dapur untuk mengisi perutnya yang mulai protes. Ia menyendok nasi dan lauk sederhana yang tadi sempat dimasaknya sebelum mandi. Sambil duduk di kursi kayu dekat meja makan, ia teringat kembali pada suara tawa Wulan saat di kampus tadi siang. Ceria, tulus, dan selalu bisa memecah sunyi di kepalanya.

Usai makan, ia mencuci piring dan kembali ke kamarnya. Ia membuka lemari, memeriksa pakaian yang kira-kira bisa dibawa saat KKN nanti. Meski belum berangkat, ada rasa antusias yang mulai tumbuh. Kegiatan ini bukan sekadar pengabdian, tapi juga awal dari babak cerita baru mungkin juga babak baru dalam hubungan perasaannya.

Esok paginya, matahari muncul malu-malu dari balik tirai. Suasana kampus kembali ramai oleh mahasiswa yang berseragam rapi, membawa buku catatan dan semangat untuk menyelesaikan hari kedua pembekalan. Rendra datang sedikit lebih awal dari biasanya. Ia duduk di deretan kursi kelompok 12, memainkan bolpoin di tangannya sambil melamun.

Tak lama, Wulan datang menghampiri. “Pagi, Dra. Kamu rajin juga ya datang pagi.”

“Biar nggak kesiangan,” jawab Rendra, tersenyum kecil.

Mereka mengikuti materi pembekalan dengan serius. Hari ini hanya dua materi, tapi cukup padat dan memberikan gambaran tentang kegiatan di desa nanti. Sesi tanya jawab sempat membuat suasana mencair ketika salah satu mahasiswa bertanya sambil bercanda, membuat seisi aula tertawa.

Setelah pembekalan selesai dan mahasiswa diperbolehkan pulang, Rendra berjalan menuju lobi kampus. Di sana sudah ada Wulan, Ranti, dan Akbar yang menunggunya. Wulan terlihat cantik dengan blouse berwarna pastel dan celana jeans biru muda. Rambutnya dikepang samping, membuatnya tampak lebih segar.

“Ayo, kalian siap?” tanya Wulan ceria sambil membuka kunci mobilnya.

“Siap, bos!” sahut Akbar bersemangat.

Mereka lalu masuk ke dalam mobil dan melaju menuju pusat perbelanjaan terdekat. Sepanjang perjalanan, candaan Akbar dan Ranti membuat suasana mobil riuh. Tapi Rendra diam-diam menikmati momen kecil saat Wulan sesekali menoleh ke arahnya dan tersenyum. Ada sesuatu yang tidak dikatakannya, perasaan yang tumbuh perlahan namun pasti.

Di toko perlengkapan, mereka membeli barang-barang seperti peralatan mandi, obat-obatan pribadi, senter, topi, dan buku catatan. Wulan sesekali menanyakan pendapat Rendra tentang barang-barang yang ia pilih, dan Rendra dengan senang hati membantu.

Setelah selesai belanja, mereka mampir sebentar ke kafe kecil di sudut jalan untuk melepas lelah. Rendra duduk berseberangan dengan Wulan. Obrolan mengalir ringan, dari cerita lucu saat ospek dulu hingga harapan mereka saat di lokasi KKN nanti.

“Aku harap KKN ini bisa jadi pengalaman berharga buat kita semua,” kata Wulan sambil menatap gelas jusnya yang sudah setengah habis.

“Iya,” jawab Rendra pelan. “Dan mungkin jadi awal yang baik buat hal-hal lain juga.”

Wulan menoleh, menatap Rendra dengan alis sedikit terangkat. “Maksudnya?”

Rendra hanya tersenyum. “Nanti juga kamu ngerti.”

Mereka pun tertawa. Sore itu ditutup dengan tawa yang mengalun pelan, seperti nada pembuka dari kisah yang belum selesai ditulis.

---

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel