Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

5

Suara raungan itu menggema dari lorong sempit di belakangku.

Satu langkah lagi, dan aku tahu semuanya akan berakhir.

Udara dingin menyengat tulang, menusuk seperti ribuan jarum es. Aku bisa merasakan darah di pipiku mulai membeku—setiap napas keluar sebagai asap tipis yang cepat lenyap di udara. Pintu basement masih terbuka sedikit, menggantung miring, berderit pelan diterpa angin dingin. Cahaya darurat dari koridor menyelinap masuk, berkedip-kedip merah seperti jantung yang sekarat.

Petugas keamanan yang bersamaku sudah hampir tak bisa berdiri. Dia gemetar, wajahnya pucat pasi. Di belakang kami, dua sosok mengerikan merangkak keluar dari bayangan—monster-monster itu… tubuh mereka seolah terbuat dari daging membeku dan urat-urat hitam yang berdenyut seperti akar hidup. Matanya kosong, tapi mengintai seperti pemburu yang lapar.

Aku tak tahu harus apa. Kaki dan tanganku berat, pikiranku berputar cepat. Pilihan yang tersisa hanya satu.

Aku menarik napas panjang, menatap pintu yang masih terbuka.

“Maaf, Pak… tapi setidaknya satu dari kita harus hidup.”

Tanpa berpikir dua kali, aku mendorong tubuh petugas itu ke arah pintu dan melemparkannya keluar. Suaranya berteriak kaget, tapi sebelum sempat jatuh, sesuatu di dalam tubuhku berdenyut keras—seperti listrik yang menyambar dari dalam nadi.

Kilatan cahaya biru muncul di telapak tanganku.

Aku menatapnya terkejut. Rasanya… seperti hidup kembali. Tubuhku yang tadi lemas kini terasa penuh kekuatan. Kecepatan pandanganku meningkat—setiap gerakan monster tampak melambat. Bahkan derit logam dari ventilasi terasa seperti gema di kepalaku.

Monster itu melompat ke arahku, cakarnya mengoyak udara. Aku menghindar hanya dengan sedikit gerakan, hampir secepat pikiran. Untuk pertama kalinya sejak semua ini dimulai, aku tidak melarikan diri.

Aku melawan.

Tanganku meraih batu kecil dari lantai—seukuran kepalan tangan. Aku menggenggamnya erat, merasakan getaran energi biru menyalur ke dalam batu itu. Semakin lama aku fokus, semakin kuat cahaya itu menyala. Aku tidak tahu bagaimana, tapi naluriku tahu persis: aku bisa mentransfer kekuatan ke benda yang kusentuh.

Dulu aku hanya tahu melarikan diri. Dari dunia, dari orang-orang, bahkan dari diriku sendiri. Tapi malam ini… aku berhenti lari.

Monster pertama menerkamku, aku berputar cepat, mengayunkan tangan kanan.

Batu itu kulempar seperti sedang bermain bisbol.

Satu lemparan cepat—secepat kilat, menembus udara dingin dan menghantam kepala monster itu.

BRAK!

Tubuh makhluk itu berhenti di tempat, lalu hancur menjadi serpihan es bercampur darah hitam. Batu itu menembus dinding di belakangnya, menyisakan lubang besar berasap biru.

Monster kedua meraung marah, menyerang membabi buta. Aku tak berhenti.

Batu kecil lain kuambil, kekuatanku mengalir lagi, lebih kuat, lebih berat—dan kulemparkan sekali lagi.

Suara retakan tajam terdengar, lalu keheningan.

Kedua monster itu roboh.

Tubuh mereka meleleh perlahan menjadi genangan hitam pekat di lantai basement yang membeku.

Aku berdiri terengah-engah. Tanganku gemetar. Ada rasa puas… dan juga takut. Untuk pertama kalinya, aku menang. Tapi tubuhku terasa seperti terbakar dari dalam.

Tiba-tiba darah mengalir dari hidungku, lalu dari mataku. Aku tersungkur, dan rasa logam dari darah memenuhi lidahku. Suara napasku berat—setiap tarikan seperti disayat dari dada. Aku muntah darah, lalu dunia mulai berputar.

Sebelum gelap menelan pandanganku, aku melihat seseorang berlari mendekat. Petugas keamanan itu—dia kembali.

Aku ingin berteriak agar dia lari, tapi tak ada suara yang keluar.

Dia memapah tubuhku keluar dari basement. Aku hanya bisa mendengar langkah kakinya di lantai dingin dan suara napasnya yang terburu-buru. Begitu melewati pintu, cahaya lampu lobi menyilaukan mataku. Suara orang-orang panik menggema.

“Kenapa pintunya nggak bisa dibuka!?”

“Telepon darurat mati!”

“Apa itu di luar?! Monster lagi!?”

Suara mereka bercampur jadi satu, seperti badai suara. Aku masih setengah sadar, tapi aku bisa merasakan udara di dalam apartemen semakin dingin. Jendela-jendela mulai membeku dari dalam, menimbulkan bunyi retak halus yang menakutkan.

Petugas keamanan itu memelukku lebih erat. “Tahan sedikit lagi, Nak… kita cari bantuan.”

Tapi dia tahu, seperti aku tahu—tidak ada rumah sakit yang bisa dijangkau malam ini.

Pintu keluar beku, jalanan di luar tertutup kabut putih yang tebal.

Aku mendengar seseorang berteriak dari arah belakang lobi.

“Bawa dia ke ruang bawah tanah lantai dua! Ada dokter di sana!”

Seseorang yang kukira pemilik apartemen berlari mendekat, wajahnya tegang tapi masih berusaha tenang. Dia memimpin kami melewati lorong gelap yang diterangi lampu darurat merah. Di setiap langkah, aku mendengar kaca jendela pecah di kejauhan—monster lain mungkin sudah menerobos masuk.

Tubuhku semakin berat, pandangan kabur.

Lalu, gelap.

Aku membuka mata pelan.

Cahaya putih menerpa pandanganku, samar dan bergetar.

Sesuatu menempel di dadaku, dingin. Suara alat medis tua berdetak pelan di sampingku.

Aku di ruang operasi?

Tidak… ini bukan rumah sakit. Atapnya terlalu rendah, lampunya kuning redup. Aroma alkohol campur logam memenuhi udara. Di sisi kananku, petugas keamanan itu duduk terkulai, matanya sayu tapi masih sadar.

Di depanku berdiri seorang wanita.

Rambutnya cokelat muda, sebagian diikat asal-asalan, wajahnya fokus tapi ada senyum kecil di bibirnya.

Dia memakai jas dokter, tapi jelas sudah kusam dan berdebu.

“Jangan banyak gerak,” katanya pelan.

Suaranya lembut tapi tegas. “Kau kehilangan banyak darah… dan apa pun yang ada di dalam tubuhmu, sepertinya bukan hanya darah biasa.”

Aku melirik ke arah botol kaca di meja operasi. Di dalamnya, ada cairan biru bercahaya samar, memantulkan bayangan wajahku sendiri. Di tubuhku, urat-urat berwarna biru itu masih berdenyut pelan di bawah kulit.

“Apa… ini?” suaraku lemah.

Wanita itu menatapku sebentar sebelum menjawab.

“Campuran antara darah manusia dan sesuatu yang belum pernah kulihat. Dan ya… kau masih di apartemen. Tempat ini bekas ruang penyimpanan, aku ubah jadi klinik darurat. Namaku Selene.”

Selene.

Nama yang terdengar lembut, tapi di matanya aku bisa melihat rasa ingin tahu yang dalam—bukan hanya sebagai dokter, tapi seperti seseorang yang menemukan sesuatu yang menantang logika.

“Kenapa kau menolongku?” tanyaku pelan.

Dia tersenyum samar, tapi tidak menjawab langsung.

Tangannya menyentuh sisi meja, memutar botol yang berisi cairan biru itu. Cahaya birunya memantul di wajahnya, membuat matanya berkilat aneh.

“Aku tidak hanya menolongmu,” katanya akhirnya.

“Aku… tertarik padamu. Sangat tertarik.”

Suara itu terdengar seperti bisikan yang menggantung di udara.

Aku ingin bertanya apa maksudnya, tapi tubuhku terlalu lemah. Pandanganku mulai kabur lagi.

Sebelum benar-benar gelap, aku sempat melihat Selene mendekat, menatap cairan biru itu dengan ekspresi kagum dan takut sekaligus.

Di luar, suara ledakan samar terdengar dari arah kota, diikuti raungan panjang monster yang lain.

Lalu semuanya tenggelam dalam keheningan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel