Pustaka
Bahasa Indonesia

KING OF THE COLD

13.0K · Baru update
Lumenexus_
10
Bab
0
View
9.0
Rating

Ringkasan

【Ambisi besar×Harem si mc dengan tubuh seksi+Harem menjadi power+Komedi Romantis】Peringatan ini mengandung 18+ Novel ini bercerita tentang mimpi basah si MC yang punya kekuatan, tapi ketika MC terbangun itu semua hanya mimpi. Dalam menjalani kehidupan sehari-harinya mc terlibat masalah dengan mafia dan membangkitkan kekuatan sistem nya. Mc mulai menguasai dunia dengan bantuan sistem dan haremmnya

petarungPengembara WaktuBalas DendamPlot TwistCoganplayboyKiamatGenitKepribadian GandaDewasa

1

Tinju pertama datang begitu cepat hingga aku tak sempat menegangkan tubuh.

Suara tulang patah terdengar samar di antara desir angin yang menembus celah rumah.

“Kau pikir kami akan terus hidup dengan sisa-sisa yang kau simpan sendiri, hah!?”

Tendangan lain menghantam rusukku. Lantai kayu yang membeku menyerap darahku yang jatuh, meninggalkan noda merah tua di atas permukaan putih.

Aku menatap kabur ke arah perempuan yang berdiri di balik mereka.

Hae-Rin.

Pacarku.

Orang terakhir yang kupercaya di dunia ini.

Dia tak mengatakan apa-apa. Hanya menatapku dengan mata yang sudah kehilangan warna.

Aku tak tahu mana yang lebih menusuk — rasa sakit di tubuhku, atau di dada.

“Kau... benar-benar tega...”

“Berhenti berpura-pura jadi korban, Ji-Hoon.” Suaranya datar. “Kau cuma penghalang. Dunia baru tak butuh orang lemah sepertimu.”

Suara pintu dibanting menutup semuanya.

Dan di tengah ruangan yang kosong, hanya aku dan gemerisik salju yang jatuh lewat celah atap.

Beberapa minggu sebelumnya...

Dunia sudah membeku.

Secara harfiah.

Tiga minggu sejak fenomena yang disebut orang-orang terakhir sebagai “Frostfall” — hari ketika suhu dunia turun begitu drastis hingga lautan membeku, dan matahari kehilangan sinarnya.

Tidak ada siang. Tidak ada malam.

Hanya senja panjang yang tak berakhir.

Langit berwarna abu kelabu.

Udara begitu dingin sampai setiap embusan napas terasa seperti meminum kaca.

“Minus enam puluh dua derajat,” gumamku, menatap termometer pecah di tanganku.

Sebagian besar manusia sudah mati. Mereka yang bertahan tinggal di bawah tanah, atau di antara reruntuhan bangunan yang masih berdiri.

Tidak ada listrik, tidak ada sinyal. Hanya api, logam, dan naluri yang tersisa.

Aku masih hidup, tapi rasanya seperti hukuman.

Setiap hari adalah perjuangan antara lapar dan mati kedinginan.

Pickaxe tua di tanganku sudah tumpul, tapi itu satu-satunya alat yang menemaniku menjelajahi reruntuhan kota.

Aku menuruni lereng bersalju, menelusuri sisa-sisa toko yang tertimbun setengah di bawah salju.

“Hanya butuh sedikit keberuntungan... cuma sedikit...”

Tapi keberuntungan di dunia ini adalah lelucon.

Langkahku salah.

Tanah es di bawahku retak.

Seketika aku kehilangan pijakan dan jatuh ke jurang.

“Sial!”

Aku menancapkan pickaxe ke dinding es. Percikan serpihan putih beterbangan. Lengan kiriku hampir tertarik lepas, tapi aku berhasil menahan diri.

Beberapa detik kemudian, aku tergantung di udara, napas memburu, jantung berpacu seperti mesin rusak.

Setelah berjuang turun beberapa meter, aku akhirnya menjejak dasar jurang.

Kegelapan menyambutku.

Dunia di bawah sini sunyi — terlalu sunyi.

“Hah... aku masih hidup.”

Tapi hanya sebentar.

Ada sesuatu yang bergerak di balik kabut dingin.

Dua mata biru menyala menembus gelap.

Kulit putih pucat, wajah tanpa bibir, gigi yang runcing seperti pecahan es.

White Skin.

Salah satu makhluk baru yang muncul setelah Frostfall.

Tidak punya suara, tapi selalu lapar.

Mereka memakan apa saja yang masih hidup.

“Sial... kenapa harus sekarang...”

Aku bersiap dengan pickaxe di tangan, tapi tubuhku terlalu kaku karena dingin.

Makhluk itu melompat.

Dan dunia berguncang.

Bongkahan es raksasa runtuh dari atas tebing, menghantam White Skin itu langsung.

Suara tulang retak bercampur deru badai.

Ketika debu salju mereda, monster itu sudah tak bergerak.

“Aku... benar-benar selamat?”

Aku mendekati tubuhnya.

Dingin di udara terasa berubah, seperti ada sesuatu yang mengalir.

Cahaya biru keluar dari dada makhluk itu — berputar, melayang, lalu menempel di belakang leherku.

Rasa dingin tajam menembus kulit. Tapi hanya sesaat.

Aku menyentuh leherku — tidak ada apa-apa.

“...Mungkin cuma ilusi.”

Aku tak tahu, hal itulah yang mengubah segalanya.

Perjalanan pulang menembus lorong bawah tanah memakan waktu dua jam.

Lorong itu dulunya jalur pembuangan kota — sekarang jadi satu-satunya jalan aman menuju tempat manusia bertahan.

Lampu-lampu darurat menyala redup, beberapa mati tertutup embun beku. Bau logam dan asap api memenuhi udara.

Ketika aku sampai di rumah, pintu terbuka, dan Hae-Rin berdiri di sana.

Senyumnya lembut, matanya berbinar di bawah cahaya api perapian.

“Kau pulang juga,” katanya dengan suara lembut. “Kupikir kau takkan kembali.”

“Aku tak akan pergi sejauh itu.”

Aku tersenyum, lelah tapi hangat. Untuk sesaat, dunia seolah berhenti.

Dia menghampiriku, memelukku pelan, dan aku membalasnya.

Bau sabun dari jaketku masih melekat di tubuhnya.

Di tengah dunia yang membusuk, pelukannya terasa seperti rumah.

Aku membuka tas besar di punggungku.

Di dalamnya hanya ada sebatang cokelat dan beberapa biji benih beku.

“Aku hanya menemukan ini.”

“Cokelat?” senyumnya tulus, seolah benda kecil itu adalah emas. “Terima kasih, Ji-Hoon.”

Aku memberikannya padanya, lalu duduk di dekat perapian, menatap potongan daging putih pucat yang kubawa dari jurang.

Aku tahu makhluk itu — White Skin — tidak bisa dimakan oleh manusia.

Beberapa orang pernah mencobanya, dan tubuh mereka membeku dari dalam.

Namun... aku tetap membawa sepotong, entah kenapa.

Sekarang aku tahu.

Bau daging itu bahkan tidak seperti daging — seperti es dan darah basi.

Aku melemparkannya ke api.

Api mendesis keras. Asap kebiruan naik, memenuhi ruangan.

“Busuk…” gumamku pelan.

Hae-Rin menatapku dari balik nyala api, wajahnya lembut, senyumnya manis.

Tidak ada kebencian di sana. Tidak ada jarak.

Aku bahkan sempat berpikir... mungkin aku salah menilai dunia.

Mungkin kami bisa bertahan bersama.

Malam itu aku duduk di depan api.

Suara kayu terbakar dan deru angin di luar seperti musik pengantar tidur yang menyedihkan.

Aku menatap benih yang kutemukan — mungkin dari rumah kaca di distrik timur.

Tapi aku tahu:

tidak ada kehidupan yang bisa tumbuh di bawah suhu seperti ini.

Dunia sudah mati.

Aku menatap jam retak di dinding. Hari itu... 14 Februari.

Valentine’s Day.

Aku tersenyum getir.

“Selamat Valentine, Hae-Rin…”

Aku tidak bisa menemukan Hae-Rin

Bel rahasia berbunyi — tiga ketukan pendek, dua panjang.

Itu kode antara aku dan Hae-Rin.

Aku berdiri dari dekat perapian dan berjalan ke arah pintu, mengira dia kembali setelah menghilang.

Senyum kecil muncul tanpa sadar di wajahku.

“Akhirnya pulang juga…”

Aku membuka pintu.

Dan dunia langsung runtuh.

Lima pria bertubuh besar berdiri di luar, membawa linggis dan tongkat besi.

Salju menempel di bahu mereka, napas mereka mengepul.

Di tengah-tengah mereka berdiri seorang pria berjaket kulit hitam dengan bekas luka panjang di pipinya.

“Siapa… kalian?” tanyaku pelan.

Pria itu menyeringai. “Kau Ji-Hoon, ‘kan? Kami cuma mau sesuatu yang berharga. Buka jalannya.”

Sebelum aku bisa menutup pintu, salah satu dari mereka mendorongku keras. Tubuhku terpental dan menabrak meja.

Rasa sakit menyalak di seluruh badan.

“Tunggu—!”

“Diam!”

Suara tawa kasar memenuhi ruangan. Mereka mulai menggeledah setiap sudut rumah, membalik lemari, menendang perabot, membuka tas ranselku yang kutaruh di lantai.

Aku berusaha bangkit, tapi salah satu menendangku lagi, membuat napasku terhenti.

Darah mengalir di bibirku.

“Hae-Rin… di mana kau…” gumamku di sela batuk.

Langkah sepatu terdengar dari luar.

Dan aku melihatnya.

Hae-Rin masuk perlahan, wajahnya pucat, tapi matanya tidak kosong dingin.

Tangannya bergetar sedikit saat ia melihatku, tapi tak ada air mata di sana.

“Kau... membawa mereka?” tanyaku dengan suara serak.

Dia tak menjawab.

Hanya menunduk, seolah tak sanggup menatapku.

Preman berjaket kulit itu membuka tas besarku.

Yang keluar hanya beberapa biji benih beku, sebatang pisau kecil, dan sisa pembungkus cokelat.

“Ini... ini saja isinya?”

“Katanya dia masih punya stok makanan!” bentak salah satu preman lain.

“Kau yakin orang ini nyembunyiin sesuatu?”

Pria berjaket kulit menatap Hae-Rin.

Tatapan itu… aneh. Terlalu akrab.

Aku menatap mereka berdua dan semuanya mulai masuk akal.

Tapi aku tak berani menuduh.

Aku hanya berbisik, nyaris tak terdengar, “Jadi begitu, ya…”

Hae-Rin menggigit bibirnya. “Kau tidak mengerti, Ji-Hoon… aku”

“Sudahlah. Ambil saja semuanya,” potong pria berjaket itu.

Salah satu preman menendang meja, satu lagi menyambar jaketku.

Rumah kecilku yang tadinya hangat kini berantakan total.

Aku hanya bisa melihat — lemah, tak berdaya.

Aku mendengar suara logam bergesekan.

Pisau.

Pria itu mendekat, menatapku dengan jijik.

“Tidak ada yang berharga di sini,” katanya dingin. “Setidaknya kita buat pelajaran. Dunia ini bukan tempat bagi orang bodoh yang masih percaya pada cinta.”

Pisau itu menembus dadaku.

Aku tersentak, darah mengalir hangat di antara jari-jariku.

Semuanya terasa lambat.

Suara mereka memudar, dan hanya detak jantungku yang tersisa di telinga.

Sebelum pandanganku benar-benar hilang, sesuatu di belakang leherku menyala panas, lalu dingin sekali, seperti es yang menembus tulang.

Lalu suara…

Bukan dari luar, tapi dari dalam pikiranku.

[Time Reversal Activated – 28 Hours Before the Frostfall.]

Ketika mataku terbuka, langit tidak lagi kelabu.

Matahari bersinar lembut di balik awan.

Udara hangat menelusup ke kulitku — bukan dingin, bukan salju.

Suara anak-anak bermain di kejauhan. Burung-burung berkicau.

Aku terdiam, menatap telapak tanganku yang bersih tanpa luka.

“Tidak mungkin…”

Jam di dinding menunjukkan pukul 7:42 pagi.

Tanggalnya — dua hari sebelum Frostfall.

“Aku… kembali?”