Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4

Aku masih ingat rasa hawa dingin yang menempel di kulit saat melangkah menjauh dari gedung biro keamanan. Udara menusuk, langit berwarna kelabu kusam, dan angin menggigit seperti ingin menelan dunia ini bulat-bulat. Orang-orang berlarian di jalan, beberapa menatap layar ponsel mereka, menunggu pengumuman resmi dari pemerintah. Tapi aku tahu—mereka semua salah. Apa yang terjadi ini bukan sekadar perubahan cuaca, bukan badai sementara. Ini adalah permulaan kehancuran.

Suara dari pengeras suara di atas menara biro menggema di seluruh kota.

"Kepada seluruh warga, tetaplah di rumah. Jaga kehangatan dan jangan keluar tanpa keperluan mendesak."

Suaranya datar, seperti rekaman lama yang diputar ulang tanpa perasaan.

Di dalam gedung itu, aku sempat melihat kerumunan pejabat berjas tebal dan wajah panik yang mereka sembunyikan dengan senyum palsu. Mereka menyebut ini sebagai “anomali musim.” Aku menahan tawa getiranomali? Dunia sudah di ambang mati membeku, dan mereka masih menamainya seolah ini laporan cuaca biasa.

Aku menoleh ke arah koridor panjang biro, di mana suara sepatu beradu dengan lantai marmer bergema samar. Sekilas aku sempat ingin masuk, melapor pada mereka, memberitahu bahwa dunia akan membeku total dalam hitungan minggu. Tapi kemudian aku sadar—percuma. Tak ada yang akan percaya.

Yang harus kulakukan sekarang adalah bertahan.

Aku meninggalkan tempat itu dengan langkah cepat, menembus kabut es yang mulai menelan jalanan kota. Dalam perjalanan pulang, pikiranku hanya fokus pada satu hal: menyiapkan wadah tanam. Satu-satunya harapan untuk menumbuhkan makanan di dunia yang perlahan membeku.

Sesampainya di apartemen, aku melepas sarung tangan yang sudah kaku, lalu menyalakan pemanas kecil di sudut ruangan. Tanganku mulai bekerja membuat bakul-bakul dari bahan sisa wadah sederhana untuk menyimpan benih yang kupungut beberapa waktu lalu.

“Kalau dunia ini mau mati, setidaknya aku masih bisa mencoba memberi kehidupan,” gumamku pelan.

Namun di tengah kesunyian itu, sebuah bunyi ‘klik’ dari layar TV menarik perhatianku. Siaran darurat dari biro keamanan kembali muncul: seorang pria bersetelan rapi sekretaris biro menyatakan dengan tenang bahwa suhu ekstrem ini hanyalah fenomena sementara akibat badai kutub. Ia bahkan tersenyum di akhir pernyataannya, seolah menenangkan dunia yang sebentar lagi berhenti bernafas.

Aku menghela napas berat.

“Bahkan kebohongan pun terasa hangat di musim seperti ini,” kataku sambil kembali menatap bakul yang sedang kususun.

Sementara itu, di tempat lain, di bawah lantai-lantai beton apartemen ini…

Sebuah ruangan remang-remang diterangi lampu oranye yang berkelip lemah. Bau logam dan darah bercampur dalam udara yang lembap. Di sana, sekelompok pria berjas hitam berdiri mengelilingi seseorang yang terikat di kursi besi.

“Jadi, kau masih ingin berpura-pura tidak tahu?” suara berat dan dingin keluar dari pria dengan setelan terbaik di ruangan itu—Bos Riko, pemimpin cabang kecil dari sindikat besar kota ini.

Pria yang diinterogasi hanya tertawa kecut. “Aku tak tahu apa yang kau bicarakan.”

Bos Riko tersenyum tipis, lalu mengeluarkan selembar foto dari jaketnya dan melemparkannya ke wajah pria itu.

Foto itu jatuh di pangkuan korban—memperlihatkan gambar seorang wanita muda cantik dengan mata kosong, dikelilingi botol minuman dan serbuk putih di meja kaca. Di sampingnya, pria yang diinterogasi tampak sedang tersenyum lebar.

“Putri ketua besar,” gumam Riko datar. “Kau membuatnya kecanduan.”

Wajah pria di kursi mendadak pucat. “Aku… aku hanya diundang pesta—”

Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Riko menendang kursi itu hingga terjatuh.

“Pesta?” ujarnya lirih. “Kau tahu berapa banyak uang yang harus kukeluarkan untuk menutupi aib ini? Untuk menenangkan orang tua si gadis?”

Ia memberi isyarat dengan tangan. Seorang anak buah maju membawa kotak kecil berisi pisau dan kantong plastik transparan.

Riko berjongkok di samping korban, menatapnya dengan dingin. “Kau suka menggunakan tanganmu untuk membuat orang hancur, kan? Sekarang lihat bagaimana rasanya kehilangan bagian dari dirimu sendiri.”

Jeritan menggema keras saat pisau itu turun. Darah memercik ke lantai.

Riko mengambil jari yang terputus itu dengan tenang, menaruhnya ke dalam botol kaca berisi cairan bening menambah satu koleksi di raknya yang sudah penuh.

“Untuk pelajaran,” katanya singkat, berdiri dan menyuruh anak buahnya menyelesaikan sisanya.

Beberapa pukulan lagi terdengar.

Sampai akhirnya ruangan itu kembali sunyi, hanya tersisa denting logam dan napas berat.

“Buang mayatnya,” perintah Riko.

“Ke mana, Bos?” tanya salah satu anak buah.

“Boiler bawah apartemen ini. Airnya cukup panas untuk menghapus bukti.”

Mereka mengangguk dan menyeret tubuh tak bernyawa itu menuruni tangga sempit menuju ruang mesin. Tak ada yang menyadari boiler tua itu bergetar halus, seperti sedang menahan sesuatu yang hidup di dalamnya.

Kembali ke kemarku

Aku masih sibuk dengan bakul-bakul tanamku, hingga suara bel apartemen memecah keheningan.

“Siapa malam-malam begini…” gumamku kesal.

Saat kubuka pintu, dua orang pria berdiri di depan. Seragam keamanan apartemen—satu wajahnya masih muda, satunya tampak berpengalaman.

“Maaf mengganggu, Pak,” kata si senior sopan. “Kami berkeliling mengingatkan para penghuni. Mesin penghangat utama apartemen rusak. Mohon pastikan pemanas pribadi Anda berfungsi.”

“Oh…” jawabku, mencoba menahan rasa gugup. “Jadi… sudah diperbaiki?”

“Kami sedang periksa,” tambah yang muda cepat. “Beberapa orang melaporkan suhu di lorong bawah tiba-tiba turun drastis.”

Lorong bawah.

Aku langsung teringat peringatan pemilik apartemen dulu—jangan pernah turun ke ruang bawah. Itu wilayah teknisi, dan berbahaya.

Tapi jika mesin itu rusak… apartemen ini akan membeku lebih cepat dari yang lain.

“Kalau begitu, biar saya bantu,” kataku spontan.

Si senior tampak ragu. “Anda yakin? Itu bukan area penghuni.”

“Aku sedikit tahu soal mesin. Mungkin bisa mempercepat perbaikan.”

Akhirnya mereka setuju, dan kami bertiga mulai berjalan melewati tangga darurat. Suara langkah kami menggema, semakin lama semakin sunyi. Lampu-lampu lorong berkelip, menimbulkan bayangan panjang di dinding yang berembun es.

Begitu kami tiba di lantai dasar, hawa dingin langsung menyerang, menusuk tulang. Bau aneh menyeruak seperti daging terbakar.

Boiler besar di ujung ruangan tampak retak di tengahnya, separuh terkelupas, dan ada bekas goresan seperti cakar besar di sisi logamnya.

“Apa-apaan ini…” bisik si petugas muda.

Tiba-tiba, dari balik tumpukan pipa, terdengar suara berat seperti napas hewan. Asap putih keluar dari celah gelap.

Salah satu penjaga menyorotkan senter, dan di saat itulah… sesuatu bergerak.

Dua sosok tinggi dengan kulit putih memantulkan cahaya lampu muncul dari balik kegelapan

“White Skins.”

Monster itu melangkah pelan, matanya kosong tapi lapar. Giginya bergetar seperti menggiling udara.

“Lari!” teriakku.

Tapi belum sempat si penjaga muda berbalik, kepala dan tubuhnya diremas bersamaan retakan tulang terdengar jelas sebelum tubuhnya ambruk tak bernyawa.

Aku sempat kehilangan fokus sepersekian detik. Dunia tiba-tiba berjalan lambat. Segalanya seperti membeku udara, debu, darah yang melayang.

Itu tandanya kekuatanku aktif.

Aku menarik tubuh petugas senior menjauh, berlari secepat mungkin menuju pintu basement. Tubuhku bergerak menembus udara, hampir tak terlihat mata biasa. Tapi suara berat di belakangku membuat bulu kudukku berdiri monster itu mengejarku.

Aku menoleh.

Yang kulihat membuat napasku tercekat makhluk itu bergerak secepat aku. Setiap kali aku menjejak lantai, ia mengikuti, langkah demi langkah, jaraknya tidak berkurang sedikit pun.

“Tidak mungkin…” bisikku.

Udara semakin dingin. Asap putih keluar dari napasku, menciptakan kabut di antara kami. Cahaya redup dari pipa uap memantul di mata monster itu dan untuk pertama kalinya, aku melihat pantulan diriku di sana.

Seolah… kami adalah cerminan satu sama lain.

Aku menegakkan tubuh, napasku berat, tangan terkepal.

Suara langkah monster bergema keras, menggema di antara dinding logam dan embusan angin.

Saat itu aku tahu ini bukan sekadar makhluk biasa.

Dan malam itu, di ruang bawah tanah apartemen yang membeku, aku menyadari sesuatu: dunia ini baru saja membuka pintu menuju neraka.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel