Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

6

Suhu luar telah jatuh ke minus 40 derajat. Bukan lagi sekadar cuaca ekstrem—ini adalah angka yang seharusnya membunuh siapa pun hanya dalam menit. Salju menumpuk sampai setinggi lutut, angin menggulung seperti bilah pisau, dan setiap jendela di apartemen dipenuhi retakan halus akibat tekanan dingin. Tidak ada lagi siaran peringatan dari pemerintah. Tidak ada lagi suara sirene. Tidak ada lagi yang memeriksa keadaan.

Hanya diam.

Diam yang menusuk telinga.

Di lorong lantai 4, dua anak buah Bos Gwi—pemimpin para preman apartemen—duduk melingkar dekat pemanas portable kecil yang mereka rebut dari penghuni lain.

“Jujur saja…” salah satu dari mereka berkata sambil menatap nyala kecil itu, wajahnya terlihat pucat diterangi cahaya jingga. “Waktu aku kecil, aku sering lihat ayahku menjaga tungku perapian. Kupikir… aku tidak mau jadi seperti dia. Hidup seperti pecundang. Tapi… sekarang aku sadar… dia pria paling keren yang pernah kutahu…”

Anak buah lain mendengus sambil menggosok tangannya. “Hei, hei… di luar cuma cuaca dingin ekstrem kan? Temperatur bakal balik normal. Nggak usah lebay soal ayahmu yang pecundang itu.”

“Diam.”

Suara berat memotong percakapan dari ujung lorong.

Bos Gwi muncul dari bayangan. Napasnya mengepul saat ia berjalan, mantel tebalnya penuh butiran es. Ia menatap orang-orangnya dengan mata merah lelah.

“Kau pikir semua ini akan membaik?” katanya datar. “Kau pikir suhu minus 40 akan kembali ke nol dalam ‘beberapa hari’? Kau idiot.”

“B-boss, m-maaf…” anak buahnya menelan ludah.

Bos Gwi menghela napas panjang. “Pemerintah biasanya memberi siaran tiap 20 menit. Sekarang? Sudah enam jam tidak ada apa pun. Artinya mereka sudah menyerah.”

Salah satu anak buahnya meremas salib kecil di lehernya. “Ini hukuman… hukuman Tuhan kepada manusia…”

“Lalu kenapa Tuhan tidak menghukum pendosa sepertimu?” suara serak menyela.

Itu suara Satpam Park, petugas keamanan yang mereka ikat di kursi. Mukanya bengkak dan berdarah, bibirnya pecah, tapi matanya masih menyala menantang.

“Aku hanya mengurus apartemen ini,” kata Bos Gwi santai. “Aturanku sangat sederhana: mereka memberi makanan, aku hidupkan pemanas. Mereka tidak memberi? Aku matikan. Pertukaran yang setara.”

“Itu bukan peraturan…” Satpam Park meludah. “Itu pemerasan! Kau memaksa orang keluar mencari makanan di cuaca mematikan seperti ini! Kau vampir!”

Bos Gwi tersenyum. “Dan kau tidak salah menyebutku begitu.”

Satpam Park tertunduk, lalu tiba-tiba matanya melebar.

“409… apa katamu barusan? Penghuni 409… mati?”

Bos Gwi mengangguk ringan. “Sayang sekali. Padahal aku butuh satu jari lagi untuk membuka kamarnya.”

Wajah Satpam Park berubah menjadi abu-abu, seolah harapannya dicungkil dari dadanya. Ji Hon… mati? Setelah ia sendiri membantunya menyelamatkannya semalam? Itu mustahil… mustahil…

— Ruang Klinik Bawah Tanah Rhea —

“Ji Hon,” suara lembut namun tegas terdengar dari balik tirai. “Apakah kau sudah selesai berganti pakaian? Kemarilah kalau sudah siap.”

“Sebentar…” keluh Ji Hon. “Baju ini susah sekali dipakai…”

Setelah beberapa menit, Ji Hon akhirnya keluar—meski pakaian itu sedikit miring dan kerahnya tidak benar. Rhea menghela napas panjang, memegangi pinggang.

“Benar-benar menyedihkan melihatmu kalah dari kaus lengan panjang,” gumamnya.

“Apa ada yang ingin kau jelaskan?” tanya Ji Hon, wajah masih kusut karena frustasi.

“Ya.” Rhea menatapnya tajam. “Apakah kau sadar sudah berapa lama kau tidak sadarkan diri?”

“Enam jam,” jawab Ji Hon santai.

“Enam hari, idiot.”

Ji Hon terpaku. “Apa?!”

Rhea menjentik dahinya keras. “Dalam enam hari itu, banyak hal terjadi. Bos Gwi sekarang menguasai seluruh sistem pemanas apartemen. Dia meminta ‘balasan’ dari para penghuni: makanan sebagai harga untuk tetap hidup.”

Ji Hon mengepalkan tinjunya.

Rhea melanjutkan, “Dan banyak penghuni terpaksa keluar mencari pasokan makanan. Dengan suhu sekarang… itu sama saja dengan bunuh diri. Mereka keluar karena tidak punya pilihan. Mereka memilih kematian perlahan daripada membeku bersama keluarga mereka.”

Darah Ji Hon mendesak deras ke seluruh tubuhnya. Giginya bergemeletuk bukan karena dingin—tapi karena marah.

Bos Gwi… kau benar-benar binatang.

“Rhea,” ujar Ji Hon perlahan. “Apa ada cara untuk… memulihkan tubuhku?”

Rhea tersenyum lebar—senyum yang hanya ia keluarkan saat menemukan sesuatu yang sangat menarik.

“Tentu saja ada,” katanya sambil menyalakan monitor. “Namun… ada syaratnya.”

“Apa pun. Selama aku bisa melakukannya.”

Rhea mendekat, wajahnya hanya berjarak beberapa inci. “Aku ingin kau menjadi subjek penelitianku. Hanya aku yang boleh mempelajari tubuhmu. Aku tidak akan menyakitimu… tapi aku ingin semuanya. Setiap perubahan. Setiap reaksi. Setiap rahasia.”

“…Baik. Sepakat.”

Rhea menyeringai puas. “Kalau begitu dengarkan baik-baik.”

Ia menampilkan data darah Ji Hon di layar. Di antara sel-sel merah, tampak kilatan garis biru tipis.

“Di dalam darahmu, ada zat yang tidak dikenal. Zat ini bekerja seperti spons termal—menyerap radiasi panas dan mengubahnya menjadi energi yang dapat kau gunakan. Fenomena ini memuncak ketika tubuhmu kekurangan panas. Tapi sebelum energinya mencukupi… tubuhmu akan berada dalam kondisi ‘dingin ekstrem’.”

Ji Hon mengelus perutnya. “Jadi aku hanya perlu makan banyak untuk mengisi energi itu kembali?”

“Tepat sekali. Tapi jumlah makanan yang kau butuhkan sangat besar.” Rhea mengangkat bahu. “Aku tidak punya stok sebanyak itu. Jadi… cari sendiri.”

— Kamar 409 —

Ji Hon membuka pintu kamar. Dan langsung terdiam.

Segalanya membeku.

Dinding, lantai, meja, bahkan selimutnya—semua mengeras menjadi lapisan es setebal dua jari.

“…Mereka benar-benar mematikan pemanas kamarku…” Ji Hon mengepalkan gigi. “Ini… pembunuhan.”

Ia mencari kotak makanan darurat yang dulu ia simpan.

Dan akhirnya… ia menemukannya.

Coklat.

Kalori tinggi. Gula tinggi. Tepat seperti yang dibutuhkan tubuhnya.

Ji Hon memakannya cepat, membuka bungkus demi bungkus, tetapi tidak ada reaksi apa pun.

“Masih kurang… aku harus menambah dosisnya.”

Ia makan lagi. Lebih cepat. Lebih banyak.

Begitu keping terakhir masuk ke mulutnya—

Tubuhnya mendadak memanas.

“Ini… buruk…” Ji Hon memegangi dada. “Aku akan… kehilangan kendali lagi—”

— Lorong Lantai 4 —

Dua anak buah Gwi berada di depan pintu 409.

“Hah? Kenapa pintunya kebuka sendiri?”

“Boss bilang dia mau potong jarinya buat buka pintu ini tadi…”

Mereka saling pandang lalu masuk.

Persediaan makanan menumpuk di meja.

“Liat ini… banyak juga ya…”

Saat mereka mendekat—

Seseorang berdiri di sudut ruangan.

Ji Hon.

Kedua mata preman itu melebar.

“B-bajingan… siapa kau?! Apa kau yang buka pintunya?!”

Ji Hon tersenyum, aura panas mengalir dari kulitnya.

“Apa menurut kalian…”

Ia menunduk sedikit.

“…aku terlihat seperti orang yang butuh izin untuk masuk kamar sendiri?”

Aura biru yang biasanya ia keluarkan…

berubah merah.

Seperti bara yang baru saja tersulut.

— Ruang Klinik Rhea —

Rhea mengetik cepat di depan monitor.

“Simulasi pengisian energi… selesai.”

Ia menelan ludah.

“…Proses pembalikan saraf terlalu cepat. Ini… buruk. Jika glikogen meningkat terlalu tinggi, itu akan menyebabkan—”

Layar berkedip merah.

“—overload.”

Rhea berdiri.

“…Ji Hon, hentikan pengaktifan sekarang juga.”

— Kamar 409 —

Preman itu menggertak ketakutan.

“Semua yang ada di ruangan ini adalah milik kami!! Mengerti?!”

Ji Hon mengangkat wajah.

Dan tersenyum.

“Sayang sekali,” katanya pelan.

“Aku sedang mood bertarung.”

Aura merah itu berkobar, membuat udara bergetar.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel