3
Suara sirene kota menggema di kejauhan, samar tertelan angin malam. Lampu-lampu jalan berkelap-kelip seperti akan padam kapan saja. Di bawah langit yang mulai berwarna ungu dingin, aku berlari—tidak, lebih tepatnya, melesat—menembus gelapnya gang sempit, meninggalkan dua tubuh polisi yang tergeletak di jalan.
Napas memburu. Dadaku bergetar hebat. Aku tidak tahu bagaimana bisa bergerak secepat itu—seperti tubuhku dikendalikan sesuatu yang bukan aku.
“Apa… ini kekuatanku?”
Aku menatap telapak tanganku. Bekas darah hangat masih menempel. Tapi di baliknya, ada getaran halus… seperti energi yang berdenyut dari nadi. Pandanganku sedikit kabur; dunia di sekeliling melambat setiap kali aku fokus.
Angin menggigit pipi. Tubuhku berhenti di depan apartemen tua di distrik barat kota. Jubah putih kebiruan yang kukenakan masih berayun, memantulkan cahaya lampu jalan seperti bias es.
Aku masuk ke dalam gedung tanpa suara. Nafasku mulai stabil. Perlahan, sensasi kekuatan tadi memudar—seolah hanyut bersama detak jantung yang menenangkan.
“Jadi… aku benar-benar berubah.”
Aku melangkah ke kamar, menatap pantulan diriku di cermin kecil di dinding. Pucat, rambut berantakan, mata merah—tapi ada sesuatu yang berbeda di sana. Di balik pupil mataku, ada kilau samar berwarna biru muda.
Untuk memastikan, aku mengambil pistol kecil dari tas. Jari gemetar, tapi ada rasa ingin tahu yang kuat. Satu peluru kupasang, lalu kukokang perlahan.
“Kalau aku salah, ini bakal jadi akhir yang cepat.”
Suara letusan menggema.
Cermin retak.
Namun sebelum pecahan kaca jatuh, tanganku sudah terulur—dan peluru yang seharusnya menembus dadaku kini berhenti di antara dua jari.
Semuanya terasa melambat. Waktu berhenti.
Aku menatap peluru itu lama, lalu tertawa kecil.
“Kecepatan… secepat kilat. Bahkan lebih.”
Perlahan, cahaya biru di mataku memudar. Denyut di nadi melemah. Kekuatan itu—seperti api yang cepat menyala, lalu padam sendiri.
Sebelum sempat merenung lebih jauh, bel kamar tiba-tiba berbunyi.
Ding-dong.
Aku menatap pintu dengan dahi berkerut.
“Siapa juga yang datang jam segini?”
Aku membuka pintu, dan mendapati sosok wanita paruh baya berdiri di sana—pemilik apartemenku.
Rambutnya berwarna cokelat terang, terurai hingga bahu. Ia mengenakan pakaian tidur tipis dengan jubah wol di atasnya. Cahaya dari lorong membuat wajahnya tampak hangat… anehnya, lebih menarik dari biasanya.
Biasanya aku tak pernah memperhatikannya seperti ini. Tapi entah kenapa, malam ini naluriku terasa berbeda—tajam, peka, seolah tubuhku menangkap setiap detail kecil dari sosok di depanku.
Mungkin karena kekuatan itu.
Atau karena aku tak lagi punya siapa pun untuk disebut “kekasih”.
“Maaf mengganggu, Nak,” katanya lembut, suaranya sedikit serak tapi hangat. “Kau… tidak apa-apa? Tadi aku dengar suara seperti tembakan.”
Aku langsung menegakkan tubuh, menyembunyikan pistol di balik meja kecil di sebelahku.
“Oh, itu… TV-ku. Suara film aksi, remote-nya rusak, jadi agak bising,” jawabku cepat.
Ia menatapku beberapa detik, lalu tersenyum tipis. “Kau benar-benar harus istirahat. Anak muda sepertimu jangan terlalu sering lembur, nanti stres. Oh, dan hati-hati, ya. Tadi polisi lewat katanya ada pencurian di supermarket seberang jalan.”
Aku mengangguk. “Baik, terima kasih sudah mengingatkan.”
Ia berbalik hendak pergi, langkahnya ringan dan lembut. Tapi sebelum pintu tertutup, aku menatap punggungnya. Ada sesuatu yang samar terasa…
“Dingin, tapi menenangkan.”
Naluri itu muncul begitu saja.
Aku menutup pintu perlahan.
Beberapa menit kemudian, aku duduk di tepi ranjang. Pikiran masih terngiang pada perkataannya.
Supermarket di seberang jalan.
Tempat yang dulu sering kukunjungi sebelum dunia ini berubah.
Aku mengenakan kembali jubahku, menutupi pistol di pinggang, dan keluar diam-diam melalui jendela. Kekuatan itu memang memudar, tapi tubuhku masih lebih ringan dari biasanya—seolah udara malam mendorongku bergerak.
Sisi lain kota — Supermarket “Juno Mart”.
Wanita berambut pendek duduk di ruang kasir, wajahnya lelah. Di depannya, layar CCTV menampilkan rekaman yang aneh.
Dirinya sendiri baru saja mengalami hari paling buruk dalam hidupnya.
“Pertama, dirampok. Kedua, ditakut-takuti sama pria berjubah aneh. Sekarang apa lagi?”
Ia mengusap wajahnya kasar. Dalam rekaman CCTV, terlihat bayangan putih kebiruan melintas secepat cahaya, mengambil beberapa barang, lalu menghilang begitu saja.
Tiga kali.
“Psycho sialan… ini pasti orang yang sama!” gumamnya.
Tepat saat ia berkata begitu, printer struk di sebelahnya berderak pelan. Satu lembar kertas keluar.
Tulisan tangan yang bergetar terpampang di sana:
“Pergilah. Bersembunyilah. Jangan keluar malam ini.”
Wanita itu membeku. “Apa-apaan ini? Catatan ancaman lagi?”
Ia menatap langit-langit, frustasi. “Hari paling sial dalam hidupku. Pertama perampok, sekarang psikopat!”
Namun belum sempat ia menenangkan diri, pintu kaca supermarket bergetar pelan.
Lonceng kecil di atas pintu berdenting.
Dua pria masuk—berjaket hitam, wajah ditutupi masker. Perampok yang sama.
“Kau pikir kami pergi begitu aja? Uang di brankas masih ada, kan?”
Wanita itu hendak menekan alarm, tapi sebelum jarinya menyentuh tombol, udara di sekeliling tiba-tiba berubah. Suhu turun drastis. Napasnya mulai terlihat seperti kabut.
“Apa… yang terjadi…?”
Salah satu perampok melirik ke luar kaca. “Bro… itu apa?”
Di luar, salju turun—meski ramalan cuaca tak menyebutkan apa pun. Di balik tirai putih itu, terlihat sosok tinggi berkulit seputih tulang, matanya merah menyala. Tubuhnya ramping, bergerak menyeret kaki seperti mayat yang lupa mati.
Monster.
Makhluk itu menatap ke dalam. Pintu kaca retak oleh embusan napasnya.
Lalu—Braak!
Kaca pecah, dan monster itu menerobos masuk.
Perampok pertama menodong pistol, tapi dalam sepersekian detik makhluk itu sudah mencengkeram wajahnya.
“Wajah yang buruk. Tidak enak dimakan.”
Suara itu lirih dan berat. Lalu dengan satu gerakan, ia mencabut wajah perampok itu seperti topeng kertas, dan menelannya mentah-mentah.
Wanita kasir menjerit. Ia menunduk di balik meja, tangan gemetar, merekam semua kejadian lewat ponsel.
“Tidak… tidak mungkin ini nyata…”
Suhu turun lebih rendah. Es menutupi lantai supermarket. Dunia mulai membeku.
Apocalypse telah dimulai.
Di tempat lain, di dalam mobil polisi yang berhenti di tepi jalan, seorang polisi senior menatap layar ponselnya. Seorang junior di sebelahnya menunjukkan video pendek dari media sosial—rekaman CCTV supermarket yang viral.
“Itu... makhluk apa?”
Sebelum sempat dijawab, layar ponsel bergetar. Sebuah peringatan darurat muncul dari pemerintah:
“Sinyal Bahaya Nasional — makhluk tak dikenal menyerang warga. Tetap di dalam rumah dan hindari kontak langsung.”
Polisi senior itu menatap layar lama.
“Makhluk tak dikenal... jadi ini bukan manusia.”
Ia menatap langit malam yang kini dipenuhi aurora samar.
“Apakah ini… awalnya?”
Sementara itu, aku berjalan perlahan menuju bangunan besar dengan logo kusam di atasnya: Biro Keamanan dan Logistik Negara.
Pintu otomatis terbuka dengan suara mendesing rendah.
Ruang dalamnya kosong.
Aku berdiri di ambang pintu, menatap langit yang kini berwarna biru keperakan. Dingin menusuk tulang, tapi pikiranku anehnya tenang.
“Jadi akhirnya dimulai.”
Aku menarik napas panjang, dan melangkah masuk.
