Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2

Udara di kota itu seperti kaca yang baru retak—dingin, rapuh, dan menunggu waktu untuk pecah sepenuhnya.

Langit berwarna abu-abu, tapi di ufuk utara ada guratan cahaya hijau muda yang menari pelan.

Fenomena langka, katanya.

Indah, katanya.

Tapi aku tahu lebih baik dari siapa pun: itu bukan cahaya surga, melainkan sinyal kehancuran.

Hari itu, Seoul seperti monster yang memakan dirinya sendiri.

Di pusat kota, ribuan warga memenuhi jalanan utama. Mereka mengenakan jaket tebal, masker, dan sarung tangan sobek. Di tangan mereka ada spanduk bertuliskan:

“Keadilan untuk rakyat!”

“Kami lapar!”

“Turunkan para penguasa korup!”

Suara klakson, sirene, dan teriakan bercampur menjadi satu simfoni kebrutalan yang ritmis.

Bau asap gas air mata menyesak di dada.

Orang-orang melempar batu, polisi membalas dengan tameng dan tongkat.

Jeritan menggema, disusul suara kaca pecah dari toko-toko yang dijarah.

Hujan es tipis turun dari langit—bukan salju, tapi serpihan es kecil seperti pecahan kaca.

Langit seolah ingin memperingatkan: musim ini bukan musim biasa.

Tapi tak seorang pun mau mendengarkan.

Di atas gedung yang sama, ratusan meter dari kerusuhan itu, kalangan atas tertawa.

Lampu-lampu kristal berkilau di aula hotel bintang lima. Musik jazz lembut mengalun.

Para pejabat, investor, dan sosialita menenggak sampanye seolah dunia di bawah sana hanyalah hiburan televisi.

“Kau lihat? Rakyat makin liar. Tapi pasar saham malah naik,” kata seorang pria tua dengan jas abu-abu mahal.

“Biarkan saja. Chaos menciptakan peluang,” jawab temannya sambil tersenyum.

Mereka bersulang, mengabaikan bau gas air mata yang samar tercium lewat ventilasi udara.

Di pojok ruangan, seorang reporter wanita dari majalah ekonomi mengamati mereka dengan getir.

Ia tahu apa yang sedang terjadi—pemerintah menimbun sumber pangan.

Sebagian besar pasokan biji-bijian sudah diambil alih oleh perusahaan-perusahaan besar.

Dan harga daging melonjak hingga lima kali lipat hanya dalam seminggu.

Namun tak seorang pun di ruangan itu peduli.

Mereka menari di ambang kehancuran dengan langkah yang indah dan memuakkan.

Sementara itu, di bawah tanah distrik Mapo, dunia yang lain berdetak pelan.

Lorong-lorong lembap penuh graffiti.

Lampu neon merah muda berkelip di atas pintu logam bertuliskan “CLUB JINRO”.

Di balik pintu itu, asap rokok dan aroma alkohol memenuhi udara.

Mafia duduk mengelilingi meja bundar. Di tengahnya, koper hitam terbuka menampilkan batangan logam perak—bukan uang, bukan emas, tapi bahan bakar sintetis hasil penyulingan ilegal.

Komoditas baru di pasar gelap, lebih berharga daripada berlian.

“Tiga drum untuk tiap geng. Jangan sampai bocor ke polisi,” kata pemimpin mereka dengan suara berat.

“Polisi?” Lelaki di sebelahnya terkekeh. “Sebagian dari mereka kerja buat kita.”

Tawa mereka keras, tapi di luar klub, seorang anak kecil yang kelaparan memandangi sisa makanan di tong sampah.

Kontras yang sempurna—tiga dunia, tiga lapisan neraka, semuanya di kota yang sama.

Dan di antara semuanya… aku hanya seorang pegawai kecil bernama Ji-Hoon, berjalan pulang di malam yang terlalu dingin.

Langkahku menapak di trotoar yang basah, sementara aurora hijau di langit perlahan makin jelas.

Cahaya itu menari lembut, membias di genangan air, menciptakan pemandangan yang hampir menenangkan.

Hampir.

Orang-orang berhenti di pinggir jalan, menatap ke langit sambil bersorak.

Beberapa mengeluarkan ponsel dan merekam, tertawa, berkomentar, bahkan berciuman di bawah cahaya aneh itu.

“Cantik banget, ya.”

“Katanya ini aurora! Jarang banget muncul di sini.”

“Mungkin ini tanda keberuntungan.”

Keberuntungan? Aku ingin tertawa.

Aku tahu betul apa yang akan datang setelahnya.

Musim dingin abadi. Kelaparan. Kematian.

Mereka hanya belum tahu bahwa malam ini adalah malam terakhir dunia yang mereka kenal.

Ponselku bergetar di saku.

Nama di layar membuatku terdiam beberapa detik.

Hae-Rin.

Suara yang dulu menenangkan kini terasa seperti racun.

“Ji-Hoon! Kau lihat aurora itu? Indah banget, ya?”

“Indah, ya,” jawabku datar.

“Hehehe… ngomong-ngomong, uangku udah habis. Bisa kirim sedikit nggak? Hanya sementara, kok.”

Dunia di sekelilingku terasa sunyi.

Aku memandangi aurora di langit, mengingat bagaimana akhir hidupku dulu: tubuh remuk, darah di lantai, dan wajahnya yang memalingkan pandang.

“Hae-Rin.”

“Hm?”

“Kita putus.”

“Eh? Apa—”

“Mulai sekarang, aku tak ingin dengar suaramu lagi.”

Klik.

Aku memutus sambungan tanpa ragu.

Sekali ini, aku tidak akan mengulang kesalahan yang sama.

“Aku akan bertahan. Dengan caraku.”

Beberapa jam kemudian, aku menuruni tangga toko kelontong 24 jam yang nyaris tutup.

Setiap rak hampir kosong.

Aku membeli apapun yang tersisa: makanan kaleng, senter, korek, baterai, dan sebilah pisau lipat murah.

Karyawan toko menatapku aneh.

“Kau persiapin perang, ya?”

“Kau akan paham nanti,” jawabku pelan.

Di luar, angin bertiup makin kencang.

Udara menusuk seperti jarum.

Aku menenteng dua kantung besar dan menyeberang jalan.

Aurora di atas sana kini tak hanya hijau—ada semburat ungu dan merah, seperti luka yang membelah langit.

Lalu suara itu datang.

Wuuu…

Angin memekik di antara gedung, diikuti suara mesin mobil yang melambat di belakangku.

Cahaya lampu sorot putih menyilaukan mataku.

“Kau! Berhenti di situ!”

Sebuah mobil polisi berhenti di tepi jalan.

Lampu merah-biru berputar pelan, memantul di aspal basah.

Dari balik kaca depan, dua sosok menatapku tajam.

Satu pria tua dengan rahang keras—Sersan Park, mungkin veteran lapangan.

Satunya lagi masih muda, raut wajah polos tapi gugup—Petugas Kim.

Aku bisa merasakan tatapan curiga mereka bahkan sebelum mereka turun.

Dan malam itu, aku adalah satu-satunya orang yang berjalan membawa dua tas besar di tengah jalan kosong.

Ya, mereka pasti mengira aku pencuri, atau lebih buruk—pengedar.

“Hei! Angkat tangan! Tunjukkan isi tasmu!”

Aku mengangkat tangan perlahan.

“Aku cuma bawa makanan. Tidak ada yang ilegal.”

Polisi muda melangkah maju, memegang senjata dengan kedua tangan.

“Buka tasnya perlahan.”

Aku membuka resleting.

Kaleng makanan. Botol air. Selimut.

Dan di bawahnya—sebuah pistol kecil terbungkus kain.

Kilatan logamnya tertangkap cahaya lampu.

Suara napas si polisi muda langsung berubah panik.

“S-Senjata! Dia bersenjata!”

“Tunggu, Kim! Jangan gegabah—”

DOR!

Peluru meledak dari moncong pistol.

Rasa panas menembus bahuku, dan tubuhku terdorong ke belakang.

Suara sirene tiba-tiba menjadi jauh, seperti terendam air.

Aku menatap tangan yang berlumuran darah.

Tidak lagi. Aku tidak akan mati lagi seperti dulu.

Aku… tidak akan menyerah.

Waktu melambat.

Cahaya aurora memantul di genangan air, mengalir ke mataku.

Dunia menjadi biru, dan segala sesuatu bergerak seperti dalam mimpi.

Aku melihat peluru kedua meluncur—terlalu lambat, seperti bisa kusentuh.

Sesuatu di tengkukku berdenyut, menyebar ke seluruh tubuh.

Panas, seperti bara hidup.

“Kekuatan ini…”

Aku melangkah maju.

Sekejap mata—aku sudah di depan mereka.

Polisi muda itu bahkan belum sempat menarik napas.

Satu pukulan, dan tubuhnya terpental menghantam pintu mobil.

Aku mengguncang bahuku yang berdarah, napas berat tapi tubuh terasa ringan.

“Aku hanya ingin hidup,” gumamku.

Polisi tua terjatuh ke aspal, mata melebar ngeri.

“K-Kau apa… manusia?”

Aku menatapnya.

Aurora menari di langit, memantul di pupilku yang kini berpendar biru.

“Aku pun tak tahu.”

Aku berbalik meninggalkan mereka, langkahku berat tapi pasti.

Angin malam meniup serpihan es ke wajahku.

Cahaya aurora di atas sana makin liar, seakan langit pun mengakui bahwa malam ini bukan malam biasa.

Di belakangku, sirene masih terdengar samar.

Tapi aku hanya menatap langit dan bergumam pelan:

“Kali ini… aku akan menyambut kiamat dengan mata terbuka.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel