TERTANGKAP BASAH
(“Nona Nami. Maaf, soal kemarin.”)
Nami tidak marah perkara Samudra yang memberikannya solusi. Wajar Samudra mengatakan hal tersebut, karena jauh di lubuk hatinya pun-Nami ingin keluar dari lingkungan kerja itu. Namun masalahnya adalah Nami tidak yakin akan menemukan kerjaan pengganti yang gajinya setara bahkan lebih besar dari pekerjaannya sekarang.
Meminta tolong pada teman-temannya yang kaya? Sudah pasti bisa. Hanya saja, Nami segan untuk melakukan itu. Nami selama ini geram dengan mereka yang mendapatkan pekerjaan, karena orang dalam. Lantas jika dirinya meminta pekerjaan pada teman-temannya, bukankah itu sama saja menjilat ludah sendiri?
(“Mas Dirga nggak ngelakuin kesalahan sama sekali, kok. Harusnya saya berterima kasih, karena diperhatikan idola sendiri. Hehe.”)
(“Thank u, ya, Mas?”)
Tidak salah sedikit bercanda agar Samudra tidak terlalu merasa bersalah.
Ting!
Nami kira itu notifikasi balasan pesannya tadi. Rupanya ada yang berkicau di grup chat Tupai Lapuk. Nami lekas membuka room chat tersebut, karena antusias dengan obrolan para lelaki yang menjadi idola satu negara.
JUNOT
(“Siapa yang makan roti coklatku?”)
BIMA
(“Kak Arson sama Kak Ari.”)
ARASSO
(“Mang, jangan fitnah! Aku dari kemarin di lokasi syuting sampe elek ini.”)
ARI
(“Tau, nih! Fitnah itu lebih kejam daripada jilatin plastik donat yang nempel seresnya.”)
ARASSO
(“Buahahahahaha. Masih ingat aja kamu sama aibnya Umang.”)
Jangan kira Nami tidak ikut tertawa membaca obrolan mereka. Justru Nami sudah memegangi perutnya membayangkan Bima alias Umang menjilati plastik donat.
BIMA
(“Kata Kak Samudra, kita nggak boleh menyisakan makanan. Kak Samudra aja makan sosis sonis, juga diurut kemasannya sampai bagian sosisnya nggak nyisa di kemasannya yang baunya aneh itu.”)
Fakta konyol macam apa itu?
Benar ternyata. Artis juga manusia. Tapi sumpah Samudra memiliki kebiasaan seperti itu?
(“HAHAHAHAHA. YA, TUHAN! LUCU BANGET JILATIN PLASTIK. SETUJU! KEMASAN SOSIS MERK ITU EMANG BAUNYA ANEH!”)
Nah, kan! Nami akhirnya tanpa sadar menarikan jari-jarinya di keyword ponsel Samudra untuk membalas kekonyolan para member Squirrel Crush lainnya.
JUNOT
(“Kak?”)
ARI
(“Happy banget, ya? Tumben. Ada apaan di Milan sana sampai bikin kakak ngetik capslock dan haha-hahanya banyak banget?”)
ARASSO
(“Hmmm, bener, nih! Terakhir kali Kak Samudra ngetik begitu gara-gara Umang ngirim foto bisulnya.”)
BIMA
(“Nasib-nasib jadi yang termuda di grup.”)
Oh, tidak!
Nami lupa jika ciri khas Samudra saat berbalas chat adalah dengan ketikan ganteng yang berbahasa formal. Bukan ketikan jamet menyerempet alay seperti dirinya.
Nami memilih untuk melipir saja. Daripada nanti ketahuan identitasnya. Maka Nami yang penasaran pun, bertanya dengan kembali mengirim pesan pada Samudra. Tak apa, walau tak langsung dibalas pikirnya.
(“Mas, Squirrel Crush sekarang udah nggak tinggal di asrama lagi, kan?”)
Samudra membalas sekitar satu jam kemudian. Nami membuka balasan tersebut setelah dirinya istirahat makan siang.
(“Fyuh, saya sempat kepikiran kalau tindakan saya kemarin membuat nona marah. Sekali lagi maaf, Nona. Saya tidak bermaksud memaksa.”)
(“Iya. Semua anggota Squirrel Crush sangat bersyukur sudah memiliki tempat tinggal masing-masing sekarang. Berkat kalian, para Mellifluous yang terus mendukung semua karya kami. Kami akhirnya bisa mencicipi rezeki Tuhan.”)
Oooow!
Nami memegangi dadanya seketika. Untuk seseorang yang suka menerima ucapan-ucapan manis seperti Nami, rasa terima kasih Samudra tadi bagaikan oase di padang pasir.
(“Iya, Mas. Kami pokoknya berusaha jadi sayap Squirrel Crush biar terbang melesat. Terus berkarya bikin lagu-lagu yang bagus, ya, Mas?”)
(“Anu, Mas. Tadi Junot di grup chat Tupai Lapuk nanyain soal rotinya yang hilang. Makanya saya nanya soal tempat tinggal kalian. Hehe.”)
(“Seru banget baca obrolan mereka. Receh dan lucu. Moodbooster banget.”)
Nami jadi merasa bersalah dengan Samudra. Jujur saja, selama ponselnya yang tertukar ini-dirinya yang kerap memiliki kepanikan saat mendengar notifikasi pesan grup chat kantor, lumayan mereda. Itu semua tentu tidak lepas dari jasanya Samudra yang memilih untuk mengirimkan inti-inti perintah dari rekan-rekan kerjanya ketimbang mengirim screenshot chat atau langsung meneruskannya.
Setidaknya membuat Nami tidak harus membaca kalimat menyakitkan.
(“Maaf, mereka sedikit berisik. Nona boleh membisukan notikasi jika terganggu.”)
(“Iya, Nona. Jadi rumah Junot memang paling sering dikunjungi oleh Arson, Ari, dan Bima. Makanya isi kulkas Junot sering kerampokan.”)
Oh, begitu!
Nami sangat senang mendengar kabar gembira yang mungkin bagi orang lain biasa saja. Namanya juga penggemar. Mengetahui idolanya melakukan hal sesepele apapun, akan tetap ditanggapi dengan antusias.
(“Nggak terganggu sama sekali, Mas. Saya senang rasanya notif ponsel rame sama hal-hal lucu. Justru saya minta maaf sama mas, karena pasti ponsel saya isinya kebanyakan hal-hal nggak ngenakkin dari rekan kerja dan mama saya.”)
Nami tidak yakin sampai mana Samudra mengetahui tentang mamanya. Namun, Nami berharap mamanya tidak mengirim pesan aneh-aneh apalagi sampai menelepon menumpahkan caci maki.
(“Nona suka bikin fanfiction?”)
Balasan yang Nami dapat bukan tentang Samudra yang terganggu dengan pesan-pesan dari rekan kerja dan mamanya Nami. Akan tetapi, mengapa Samudra membahas soal fanfiction? Jangan-jangan … Oh, tidak!
(“M-maksudnya?”)
Nami harus berpura-pura. Ia tidak akan mengakui untuk hal yang satu itu. Apa jangan-jangan Samudra membuka aplikasi menulisnya?
Jangan sampai.
(“Maaf, Nona. Saya tidak sengaja menemukan ini. Saya tertawa tadi membacanya. Ternyata Nona berbakat menulis. Diksinya menarik dan mudah dipahami. Apa sudah mencoba mengirimkan ke penerbit? Jika tertarik, saya punya kontak seseorang yang mungkin bisa menjadi koneksi.”)
Apa?! Nami menutupi wajahnya. Padahal Samudra tidak ada di depan wajahnya. Mengapa Samudra harus membaca cerita halunya yang isinya cuma kebucinan hakiki?
(“Mas Dirga, maaf banget! Saya maaf banget sama novel nggak jelas yang udah saya bikin iseng. Itu bukan untuk dikomersilkan, kok. Saya cuma bikin untuk sarana hiburan. Maaf banget, karena udah bikin Mas Dirga jadi tokoh utamanya di sana. Jangan dipikirin, Mas.”)
Tidak sampai disana rasa malu Nami. Melainkan juga semua tokoh utama perempuan di novel bergenre fanfictionnya adalah dirinya sendiri. Apapun tema kisahnya, dirinya dan Samudra lah yang menjadi tokoh utama.
Astaga, memalukan sekali!
(“Oh, tidak dikomersilkan? Ini jual PDF, apa maksudnya?”)
Fatal. Nami lupa jika dirinya sudah pernah menjual satu karyanya yang paling banyak diminati pembaca. Nami menjualnya tidak dalam bentuk buku cetak. Melainkan mengirimkannya ke email pembeli dalam bentuk file PDF.
(“Mas Dirga, saya siap dituntut agensi atas tuduhan mengkomersilkan Squirrel Crush tanpa izin dalam bentuk novel. Saya siap membayar ganti rugi, denda, ataupun yang lainnya. Asal jangan dipolisikan, Mas. Saya mohon, karena nanti nggak ada yang biayain mama saya kalau saya dipenjara. Saya minta keringanan dicicil juga semisal harus membayar sejumlah uang. Sekali lagi, maaf, Mas. Saya nggak akan mengulanginya lagi.”)
Nami menyesal sekarang. Ceroboh sekali memang dirinya. Ponsel tidak dikunci. Semua folder dibiarkan bebas akses. Tidak salah Mas Dirga alias Samudra bisa membukanya begitu saja.
(“Mas Dirga, jangan diviralkan. Please! Nanti saya dipecat.”)
